Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Berawal dari "Sepatu Dahlan", Saya Fan Ulama Bahasa, Khrisna Pabichara

21 Desember 2020   11:35 Diperbarui: 22 Desember 2020   09:05 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah tulisan spontan dan dadakan saya dari keterbatasan dan kedangkalan pengetahuan saya (tanpa mengulik data yang lebih mendalam lagi) tentang persentuhan saya di "dunia lain" dengan Khrisna Pabichara—menulis namanya harus ekstra hati-hati, kalau tidak, bisa-bisa saltik.

Ya, tentang Khrisna Pabichara, seorang ulama—sesuatu yang unik dalam bahasa Indonesia, karena bentuk tunggalnya dalam bahasa Arab adalah "alim"—bahasa atau narabahasa, dan penulis yang sudah berlanglang buana di dunia "persilatan" literasi tanah air yang saya benar-benar kecantol menjadi fan dan pengagumnya. 

Untuk itu, jika nanti ada data atau hal-hal yang terasa kurang sreg, atau mungkin tampak melebih-lebihkan, dan lebih bernuansa memuji—tapi memang ia layak dipuji dan dihujani apresiasi khusus, dus, berkenan mohon dimaklumi dan diluruskan. Namanya juga pemula, dan agak pemalu (mudah-mudahan enggak malu-maluin aja).

Itu semua berangkat dari kekuperan (dibaca: kekurangpergaulan) dan keterbatasan saya tadi tentang kiprahnya di laguh-lagah—jujur, ini salah satu dari sekian banyak sedekah dan amal jariah kosakata yang ia ajarkan dan tebarkan, insya Allah, pahala kebaikannya terus mengalir kepadanya—tradisi literasi selama ini.

Baik. Saya mulai dari sini dulu. Sedari kecil saya memang sudah telanjur suka membaca buku. Buku apa saja. Buku tentang filsafat, agama, budaya—terlebih sastra, bisa puisi, cerpen, atau novel. 

Kenapa saya suka sekali membaca buku? Jawabannya, pasti panjang dan ngalor-ngidul. Yang jelas, kalau diringkas dan disederhanakan jawabannya, kurang lebih, karena saya suka saja. Saya betah dan khusyuk kala membaca buku. 

Selain itu, secara pragmatis, kenapa saya suka membaca buku, saya akui, sedikit banyak, karena saya kerap menyaksikan kebiasaan Bapak saya yang suka sekali membaca buku. Mungkin dari situ, saya tertular virus membaca.

Dulu dan sampai sekarang pun, masih saja, di setiap sudut atau ruang rumah itu, yang saya lihat buku ada di mana-mana. Pabalatak (Bahasa Sunda, artinya semrawut atau acak-acakan). Di meja tamu, meja makan, tempat tidur, cuma tidak di kamar mandi saja, tergelatak begitu saja buku atau kitab-kitab kuning (buku klasik berbahasa Arab). 

Sehabis membaca, kebiasaan buruk Bapak saya membiarkan buku-buku itu tergeletak, tanpa mengembalikannya lagi ke lemari atau rak buku.

Sebuah kebiasaan yang kurang baik sebenarnya, layaknya kebiasaan anak-anak dengan mainannya yang sering membiarkan begitu saja, dan enggan membereskannya lagi sehabis bermain. Ibu saya biasanya yang telaten membereskan dan mengembalikan buku-buku itu ke tempatnya semula.

(Benar saja, jadi panjang plus lebar, dan ngalor-ngidul prolognya. Atau jangan-jangan tulisan ini pun lebih pantas disebut prolog tentang seorang ulama bahasa Khrisna Pabichara).

Pada gilirannya, di kemudian hari saya suka berlama-lama membaca di perpustakaan, senang berkunjung ke toko buku sekadar untuk belanja dan berburu buku. Termasuk, novel "Sepatu Dahlan" karya Khrisna Pabichara yang baru terbit saat itu.

Sepatu Dahlan ini ada dua versi. Versi novel dan komik. Versi novelnya terbit pertama kali di bulan Mei 2012, dan best seller pula. Saya baru sempat beli dua bulan kemudian dari situ, tepatnya 11 Juli 2012. Sedangkan versi komiknya terbit bulan Januari 2013.

Sudah menjadi kebiasaan saya, setiap kali beli buku hampir selalu menuliskan nama saya, tanggal kapan belinya dan harganya, seperti juga tertera di novel Sepatu Dahlan ini./Dokumen pribadi
Sudah menjadi kebiasaan saya, setiap kali beli buku hampir selalu menuliskan nama saya, tanggal kapan belinya dan harganya, seperti juga tertera di novel Sepatu Dahlan ini./Dokumen pribadi
Trilogi novel (Sepatu Dahlan, Surat Dahlan, dan Senyum Dahlan—saya kok cuma punya dua, yang terakhir, Senyum Dahlan belum punya ya, dan saya tidak pernah melihatnya di toko buku. Apa karena saya kuper tadi) ini bercerita tentang perjalanan hidup Dahlan Iskan yang sangat menginspirasi dan menggugah renjana hidup.

Novel fenomenal dan inspiratif karya Khrisna Pabichara ini adalah novel bernas dan bergizi. Bagus, keren, enak dibacanya (yang belum baca, bacalah), tidak membosankan, renyah dan gurih. 

Bukan saja saya yang suka, tapi anak-anak saya pun, atau mereka yang pernah "menyantapnya" suka banget dan bisa ketagihan. Saya dan mereka dijamin lahap menikmatinya sampai habis. Itulah hebatnya, ulama yang satu ini.

Sayang sekali, karena saya cari Surat Dahlan di rak buku saya kok enggak ada. Entah ke mana, saya kehilangan jejak. Bukan raib, dan bukan hanya buku itu, ada beberapa buku yang nasibnya sama, tapi biasanya ada yang menumpang baca tapi tidak dikembalikan ke rak buku. Mungkin tercecer. Saya sudah mengikhlaskannya, karena itu pasti membawa manfaat bagi yang membacanya.

Sebelum novel Sepatu Dahlan dan Surat Dahlan, saya lebih dulu beli buku yang best seller yang bercerita proses transplantasi hati (liver) Dahlan Iskan, "Ganti Hati" yang pertama dan jauh (sekitar 5 tahun lebih, dan buku ini juga raib di rak buku saya) sebelum ia diangkat menjadi direktur utama PLN dan Menteri BUMN saat pemerintahan SBY. 

Karena hampir berbarengan—selang 4 bulan sebelumnya yang terbit pertama kali Januari 2012—dengan terbitnya novel Sepatu Dahlan itu, Dahlan Iskan menulis buku berjudul dengan menyematkan frasa "Ganti Hati" juga, yaitu "Ganti Hati...Tantangan Jadi Menteri" untuk merespons komentar dan tanggapan publik lewat surel terhadap proses transplantasi liver atau hatinya yang sudah berjalan 5 tahun itu. 

Karena ketika Tuhan memberikan kesempatan hidup untuk kedua kalinya kepada Dahlan Iskan sesudah "kematiannya" dengan "ganti hati" itu, tidak sedikit stigma dan klaim negatif berbau SARA dari segelintir orang terhadap Dahlan Iskan. 

Misalnya, muncul komentar yang merisak dan menyakitkan, bagaimana salat Dahlan Iskan sah atau tidak, kira-kira ia ada rasa pengin dugem dan nenggak minuman keras atau tidak, dan seterusnya, gegara ia ganti hati dengan hati (liver) seorang Tiongkok yang tidak jelas dan ditengarai berbeda agama.

Termasuk, Dahlan Iskan harus menjelaskan secara ilmiah, kenapa orang yang meninggal akibat mengidap penyakit liver, wajahnya berubah menghitam, seperti tuduhan orang dan para ustaz yang hobinya marah-marah di mimbar khotbah tanpa nalar dan ilmu terhadap cendikiawan Muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur), Allahu yarham, saat meninggal setelah ganti hati atau liver seperti yang dialami Dahlan Iskan dengan kondisi wajah berubah menghitam dengan label "karena murka Tuhan".

Dahlan Iskan menulis, "Mengapa wajah Cak Nur, juga wajah saya, menghitam? Ya, begitulah memang salah satu perubahan fisik yang dihasilkan oleh liver yang terkena sirosis. Ini berlaku pada siapa saja, yang Islam, yang Kristen,  yang Buddha, yang Hindu, yang Kejawen, yang komunis, dan yang tidak punya aliran apa pun—free thinker," jelasnya dengan sangat menohok. (Ganti Hati..., h. 170)

Maaf, saya selipkan secuil isi buku "Ganti Hati..." itu, tanpa bermaksud mengudarnya lebih banyak lagi. Berkenan, silakan, Anda membacanya sendiri.

Dari situ juga, akhirnya saya membeli buku-buku tentang sosok Dahlan Iskan, yang ditulis beberapa penulis, dan serentak terbit di tahun 2013, misalnya, buku Uniknya Dahlan, Inilah Dahlan Itulah Dahlan, Certwit Dahlan Is Dahlan Can, dan sampai sekarang, hampir selalu update tulisan-tulisan Dahlan Iskan di "DI's Way" yang dirilisnya saban bakda subuh itu. 

Beberapa buku tentang Dahlan Iskan / Dokumen pribadi
Beberapa buku tentang Dahlan Iskan / Dokumen pribadi
Dan, catat, itu semua gegara novel yang luar biasa menginspirasi dan sangat memengaruhi saraf bawah sadar saya selama ini,  "Sepatu Dahlan" itu.

Terima kasih, Daeng Khrisna Pabichara, yang sudah mengantarkan saya bertamasya di dunia belantara dan sabana kata, menikmati tradisi literasi. 

Dan, saya bersyukur dengan bergabung dan berada di rumah besar literasi Kompasiana ini, dan ternyata tidak dinyana, di sini, ada ulama bahasa atau narabahasa kharismatik, dan penulis terkenal, Khrisna Pabichara. 

Jujur, selama ini, dan sampai detik ini pun, saya tidak pernah bertemu muka dengan Daeng (panggilan akrab Khrisna Pabichara) ini, dan saya hanya pernah bersentuhan di "dunia lain" dari kejauhan dalam ruang dan waktu yang sunyi dengan penulis yang mumpuni, cerdas, dan cergas ini.

Khrisna Pabichara adalah seorang penulis yang khusyuk, setia, memiliki renjana yang  luar biasa, dan tidak perlu ada rasa ketaksaan (ambiguitas) lagi tentang integritas dan profesionalitasnya dalam kiprah dan kontribusinya di ranah literasi.

Penulis yang selalu kaya ide dan materi (materi bisa bertautan dengan tulisan atau banyak duitnya, amiiin ya Rabb), humble (ramah dan penuh rendah hati), selalu mau melapangkan dada, dan merentangkan tangan dengan ilmu dan kebisaannya ini kepada siapa pun tanpa pandang bulu.

Dan dalam sunyi tapi pasti saya mengagumi, salut, menaruh hormat, dan belajar banyak kepadanya lewat karya-karyanya yang monumental, seperti novel "Sepatu Dahlan" ini, dan tulisan-tulisannya di Kompasiana yang sangat inspiratif, sekaligus (mestinya) menjadi AU semua. Serius! Sukses terus dan berkah, Daeng Khrisna Pabichara.

Hampura, yang terhormat, Daeng Khrisna Pabichara, bila ade salah-salah kate nyang gak sreg, gak enak di hati, dan kurang sopan. Maklum, pemule. Tabik! []

Notabene: Eh... baru teringat, saya belum punya dan pengin beli novel terbaru karya Daeng Khrisna Pabichara itu: Kita, Kata, dan Cinta (Diva Press, 2019), adakah di toko buku, atau mungkin nomor kontak yang bisa saya hubungi? Salam takzim. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun