"Sebagai Ibu, laut adalah simbol cinta karena apa saja yang datang diolah penuh cinta. Sebagai Ayah, laut adalah wakil keikhlasan sempurna karena menerima apa saja tanpa keserakahan memilih."(Gede Prama)
Libur panjang. Libur berhari-hari. Jauh-jauh hari sudah direncanakan. Rencananya mumpung anak-anak masih pada di rumah, kenapa tidak dimanfaatkan saja waktu luang libur panjang ini dengan jalan-jalan, dan sekalian, pulang kampung. Pasti, asyik.
Anak-anak saya berbulan-bulan di rumah terus saban hari. Lantaran masih dalam pembelajaran jarak jauh. Maka, pas libur panjang ini, saya pengin ngajak mereka jalan-jalan ke luar kota.Â
Hitung- hitung mengusir bosan, menghilangkan suntuk, dan menepis penat, maka, saya pikir, bagus dan ada baiknya juga ngajak mereka santai di pantai.
Berenang di laut, "kolam renang raksasa", menikmati deburan ombak, bermain dan berlarian di atas pasir putih, dan memandang lepas biru toska air laut, dengan sapuan anginnya yang sepoi-sepoi.
Sebenarnya ke pantai Anyer, dibilang bosan, seharusnya bosan. Karena bukan sekali dua kali saya dan anak-anak berwisata ke pantai Anyer. Sudah sering. Sering banget, bahkan.Â
Apalagi saya. Saya lahir di situ. Belajar renang waktu kecil di laut. Mancing di laut. Rumah saja waktu itu persis di bibir pantai.Â
Tapi sayang, dan sejatinya ada hikmahnya juga, sekarang rumah orang tua itu agak menjauh dari pantai, bergeser sekitar dua kilometer ke dataran yang lebih tinggi. Hijrah ke atas bukit ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar.
Makanya, bersyukur saat terjadi tsunami gegara erupsi Gunung Anak Krakatau hampir dua tahun yang lalu (22 Desember 2018), yang menyapu dan meluluhlantakkan kawasan pantai Anyer, Tanjung Lesung, dan pantai Kalianda Lampung Selatan, keluarga saya relatif aman dan selamat. Karena lokasinya di atas bukit atau berada di dataran tinggi itu.
Baca juga: Pantai Anyer Pasca Gunung Anak Krakatau "Murka"Â
Saya, pun anak-anak enggak pernah merasa bosan dengan pantai, pasir putih, ombak, karang, dan biru toska air laut. Justru ada ritual rindu dengan laut.Â
Jadi, ke pantai Anyer itu, saya sebenarnya pulang ke kampung halaman, tempat di mana saya dilahirkan, dan sekalian, anak-anak saya itu temu kangen dengan kakek dan neneknya (baca: Ayah dan Ibu saya).Â
Oleh karena itu, rasanya tidak afdal, ada yang hilang, dan kurang, ketika kebetulan pulang, kalau tidak ke laut. Laut adalah kehidupan yang unik, menarik, penuh misteri, indah memesona, dan sarat makna.
Bertaburan hotel, cottage, villa, penginapan (homestay), pantai terbuka, bermain jet ski, snorkeling, menyelam menikmati indahnya pemandangan bawah laut, terumbu karang, ikan-ikan kecil berwarna-warni, banana boat, dan sebagainya, termasuk wisata kuliner khas laut. Itu semua bisa dinikmati di kawasan wisata pantai Anyer.
Makanya, ada nasihat dari kiai saya saat nyantri dulu, terngiang-ngiang di telinga, dan meresap di relung hati saya, "Anak-anakku, hiduplah kalian di tengah masyarakat nanti seperti ikan yang hidup di laut. Kalian harus mampu melukis dan mewarnai hidup kalian. Jangan larut dan mau diwarnai. Kalian harus punya prinsip dalam hidup."
Lain lagi menurut Gede Prama, penulis dan motivator yang selalu menginspirasi dan luar biasa itu.
"Sebagai Ibu, laut adalah simbol cinta karena apa saja yang datang diolah penuh cinta. Sebagai Ayah, laut adalah wakil keikhlasan sempurna karena menerima apa saja tanpa keserakahan memilih."
Demikian mengutip quote Gede Prama dalam bukunya, "Simponi di dalam Diri: Mengolah Kemarahan Menjadi Keteduhan" (Gramedia, 2009, h. 135).
Itulah kenapa laut menyimpan banyak kenangan, makna, dan sarat pelajaran hidup bagi saya. Selalu merindu laut, dan selalu belajar pada laut.Â
Terakhir kali, dan sebenarnya belum lama ini, sekitar dua bulan yang lalu, saya dan anak-anak jalan-jalan ke pantai Anyer, dan sekalian pulang kampung.
Rencananya libur panjang ini kembali ke sana. Mencairkan rindu yang membeku dengan laut dan santai di pantai. Berenang di "kolam renang raksasa" Anyer. Tabik. []
"Anak-anakku, hiduplah kalian di tengah masyarakat nanti seperti ikan yang hidup di laut. Kalian harus mampu melukis dan mewarnai hidup kalian. Jangan larut dan mau diwarnai. Kalian harus punya prinsip dalam hidup." (KH. Ahmad Rifa'i Arief, pendiri Pondok Pesantren Daar El-Qolam, Tangerang, dan La Tansa, Lebak Banten).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H