Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Cacat" dalam UU Cipta Kerja, dan Buruknya Komunikasi Politik Pemerintahan Jokowi

23 Oktober 2020   16:46 Diperbarui: 23 Oktober 2020   23:48 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku UU Cipta Kerja/JPNN.com/Karikatur oleh ASHADY

Undang-undang (UU) Cipta Kerja sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 05 Oktober 202o. Sekarang sudah ada di tangan Presiden untuk dibubuhkan nomor, tanggal, tanda tangan, dan menjadi lembaran (hukum) negara.

Ibarat bayi, dari sejak dalam kandungan, proses persalinan, dan kelahirannya pun, UU Cipta Kerja sudah menjadi kontroversi dan ditolak kehadirannya. Penolakan itu memuncak dengan demonstrasi anarkistis (08/10/2020).

Terlepas dari penolakan dan demonstrasi anarkistis itu, UU Cipta Kerja, adalah bayi gemuk (baca: tebal halamannya) yang terlahir sebagai "penyandang disabllitas", atau terlahir dengan cacat bawaan atau cacat hukum. Inilah antara lain yang melahirkan kontroversi itu. Belum konten atau subtansinya.

Ini sempat menjadi perdebatan dan pertanyaan publik berhari-hari sanpai hari ini bisa jadi, tentang berapa halaman UU Cipta Kerja yang sudah resmi dan final setelah disahkan oleh DPR. Ada yang menyebut seribu halaman lebih, 905 halaman, dan terakhir versi DPR adalah 812 halaman.

Saking gemuknya, atau tebalnya UU Cipta Kerja itu, ada yang berseloroh, bagaimana orang tahu atau paham secara utuh UU itu, belum sampai habis baca tuntas saja sudah kecapaian, atau kewalahan. Ada meme orang sampai tertidur pulas baca draf UU Cipta Kerja, saking tebalnya. Atau bisa jadi orang boro-boro mau baca, melihatnya saja sudah malas, karena saking tebalnya itu.

Selain itu, pemerintah menyatakan bahwa bertebaran hoaks dan ada kesalahpahaman publik terhadap UU Cipta Kerja ini. Draf yang menyebar di ruang publik berbeda versi dengan draf pemerintah. Sementara di situs resmi Sekretariat Jenderal DPR juga tidak bisa diakses, atau belum muncul batang hidungnya draf resmi dan final UU Cipta Kerja ini.

Dari situ saja muncul perdebatan sengit, dan seiring muncul demonstrasi anarkistis itu. Lalu, adanya penangkapan dan penahanan beberapa aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) oleh pihak kepolisian. Lengkaplah sudah kontroversi lahirnya UU Cipta Kerja ini.

Akhirnya, kemarin (22/10/2020), sebagaimana dilansir oleh KOMPAS.COM, ketika digelar rapat terbatas secara daring bersama menteri-menterinya tentang persiapan penggunaan vaksin Covid-19, Presiden Jokowi sendiri mengakui bahwa komunikasi politik, atau komunikasi publik pemerintahannya itu sangat buruk.

Presiden Jokowi dalam kesempatan itu, memerintahkan (kembali mengingatkan) menteri-menterinya, agar ke depan soal vaksin Covid-19 ini, harus diantisipasi betul berkaitan dengan komunikasi kepada publik, jangan sampai terulang lagi komunikasi publik yang buruk seperti saat diundangkannya UU Cipta Kerja.

Tentang buruknya komunikasi politik pemerintahan Jokowi, ada saja warganet, bahkan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), yang berseloroh, bagaiamana tidak buruknya komunikasi publik atau komunikasi politik pemerintahan ini, wong saat terjadi demonstrasi anarkistis menolak UU Cipta Kerja saja, Presiden Jokowi itu berada di Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (8/10/2020). 

Kembali ke soal draf UU Cipta Kerja. Ini juga termasuk indikasi buruknya komunikasi publik, komunikasi politik, dan kurangnya koordinasi lintas sektoral dalam kebijakan pemerintah.

Dalam bahasa hukum, UU Cipta Kerja ini adalah cacat hukum. Karena setelah diteroka, ditemukan kata "cacat" masih tercantum dalam UU Cipta Kerja ini, untuk menunjukkan frasa "orang disabilitas" atau "penyandang disabilitas".

Salah satu tangkapan layar draf final UU Cipta Kerja 812 halaman versi DPR yang masih tercantum frasa penyandang cacat/dokpri
Salah satu tangkapan layar draf final UU Cipta Kerja 812 halaman versi DPR yang masih tercantum frasa penyandang cacat/dokpri
Alasannya, karena dengan begitu berarti UU Cipta Kerja ini bertentangan dengan beberapa undang-undang, antara lain, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas), dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang notabene menghapus Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Logika sederhananya, produk hukum yang baru atau undang-undang yang baru itu mestinya tidak bertentangan dengan produk hukum, atau undang-undang yang masih berlaku sebelumnya.

Mungkin ada orang yang berkata bahwa itu soal istilah saja, dan subtansinya (maksudnya) itu sama, penyandang disabiliitas adalah penyandang cacat itu sendiri. Ini namanya orang ngeles.

Istilah dalam bahasa itu sangat prinsip, dan dampaknya sangat besar. Baik itu serara hukum, politik, sosial, budaya, maupun psikologis. Realitasnya, penyandang disabilitas itu sangat keberatan dan tidak mau disebut penyandang cacat. 

Itu sangat merendahkan martabat dan merisak penyandang disabilitas sebagai manusia. Ada pelecehan secara bahasa atau istilah terhadap keberadaan penyandang disabilitas yang berdampak secara hukum, politik, sosial, budaya, dan psikologis.

Penyebutannya saja sudah merendahkan dan merisak begitu, apalagi menyangkut nasib dan hak-hak yang yang mesti dipenuhi. Padahal jelas negara harus menjamin dan melindungi hak-haknya sebagai warga negara. 

Soal perbedaan dan kekurangan pada fisik dan mental itu adalah niscaya, sama halnya dengan sesama orang yang bukan penyandang disabilitas. Ada perbedaan juga dari segi fisik dan mental.

Itulah makanya lahir UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang melarang penggunaan istilah "penyandang cacat" terutama berkaitan dengan bahasa hukum.

Dalam UU itu disebutkan, bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Harus ada kesamaan kesempatan, tidak diskriminasi, perlindungan, pemenuhan hak-haknya, penghormatan, pemberdayaan, aksesibilitas, dan seterusnya, sebagaimana dijelaskan dalam UU Penyandang Disabilitas itu.

Itu semua dilakukan secara hukum, agar ada kepastian hukum. Juga diharapkan masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak penyandang disabilitas. Tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia. 

Terpenuhinya hak-haknya sebagai warga negara yang sama kedudukannya dengan warga negara yang lainnya yang bukan penyandang disabilutas. Memiliki kemandirian, dan tidak sekadar mendapatkan belas kasihan. 

Nah, soal istilah pada frasa "orang cacat" atau "penyandang cacat" yang masih muncul dan tercantum di UU Cipta Kerja, jika ada yang keberatan di kalangan masyarakat, maka bisa dilakukan langkah hukum, yaitu dengan dilakukan legislative review atau dilakukan revisi oleh DPR, atau langkah lain, Presiden mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu).

Jika sudah disahkan, dan menjadi lembaran Negara RI, itu berarti sudah ditandatangani Presiden dan diberi nomor dan tanggal, kemudian misalnya, tetap luput dan masih juga ada istilah "penyandang cacat" dalam UU Cipta Kerja, maka bisa diagendakan sekalian pada saat dilakukan pengajuan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Kabarnya, banyak kalangan masyarakat, atau organisasi masyarakat yang akan melakukan pengajuan judicial rewiew ke MK. Demikian. Tabik. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun