Ciri khas dari sosok Din Syamsuddin, seorang akademisi, cendikiawan muslim, dan tokoh Muhammadiyah ini, yang saya suka, adalah penampilan, sikap, tutur kata, dan tentu keilmuannya.
Ia tampaknya sangat peduli dan perhatian pada penampilannya di muka umum. Dari sisi fesyen, ia selalu rapi, fesyenebel, modis, dan necis. Rambutnya selalu disisir rapi dan terlihat agak mengkilat, sepertinya efek minyak rambut yang ia gunakan. Walaupun sekarang rambutnya sudah hampir rata memutih.
Ia selalu klimis. Kumis, cambang, dan jenggotnya hampir tak pernah terlihat diberi kesempatan tumbuh panjang. Ia kelihatan sekali begitu telaten membabat dan mencukurnya habis saban hari.
Sikapnya penuh sopan santun. Selalu ramah-tamah, rendah hati, dan jarang sekali terlihat arogan. Penuh perhatian, simpati, dan berempati kepada siapa pun. Ia boleh dibilang termasuk sosok yang kharismatik dan memesona.
Komunikasi dan cara bicaranya yang lemah lembut dan selalu persuasif. Artikulasi kata-katanya jelas. Ia pandai menata kata. Pemilihan kosakatanya yang tepat. Kalimat-kalimatnya yang ia gunakan tertata rapi dan sistematis. Ia sangat fasih ketika mengucapkan kata-kata dan kalimat yang berbahasa Arab.
Setiap kali berbicara, berkomunikasi, dan menyampaikan pesan selalu terasa enak didengar, menarik, dan tidak membosankan. Hampir jarang dan tak pernah terdengar kata-kata kasar dan sarkasme meluncur dari mulutmya. Tutur katanya sopan dan menyejukkan.
Sebagai Guru Besar politik Islam di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cendikiawan muslim, tokoh Muhammadiyah, MUI Pusat, dan berbagai organisasi atau lembaga, baik di tingkat nasional maupun global, wawasannya yang luas dalam pemikiran keislaman, sosial dan politik (Islam), maka adalah wajar, Din Syamsuddin tidak diragukan lagi intelektualitas dan keilmuannya.
Dengan latar belakang Muhammadiyah, sikap keberagamaan dan pemikiran keislaman Din Syamsuddin tampak lebih kepada Islam moderat dan insklusif. Islam keindonesiaan dan Islam berkemajuan yang menjadi visi (bahkan menjadi slogan) Muhammadiyah, sedikit banyak, adalah gagasannya. Tak heran, ia sangat disukai dan diterima di berbagai kalangan.
Sikap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah sering ia lakukan, lebih-lebih pada dekade terakhir ini, di dua periode pemerintahan Presiden Jokowi. Sehingga ia seakan-akan memposisikan dirinya sebagai oposisi, dan berseberangan dengan pemerintahan Presiden Jokowi.
Karena ketokohan, keilmuan dan kiprahnya, baik nasional maupun global tadi, dan sekaligus mungkin sedikit untuk meredam sikap kritis dan berseberangan Din Syamsuddin selama ini, wajar saja kemudian di tahun 2017 jika Presiden Jokowi mengajaknya masuk ke dalam pemerintahannya.
Presiden Jokowi menawarkan jabatan sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP), sekalipun Din Syamsuddin menerimanya agak ogah-ogahan.
Terlihat dari syarat yang ia ajukan pada Presiden Jokowi, walaupun ia mau menerima jabatan utusan khusus itu. Ia meminta peran jabatan utusan khusus ini benar-benar difungsikan, membiarkan dirinya tetap kritis terhadap pemerintah, dan tidak digaji.
Ketika ia menjabat utusan khusus Presiden ini, atas gagasannya, pernah digelar Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendikiawan Muslim se-Dunia, Islam Wasathiyah untuk Peradaban Dunia di Istana Bogor (01/05/2018).
Sebuah pertemuan internasioanl untuk meneguhkan kembali Islam moderat, Islam untuk perdamaian dan peradaban dunia, Islam yang menebarkan kasih sayang dan rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi sarwa semesta). Pertemuan ini dihadiri seratusan ulama dan cendikiawan muslim se-dunia.Â
Namun, entah kenapa, mungkin karena sikap kritisnya, selalu berseberangan dengan sikap pemerintah, dan Din sendiri sebagai tokoh agama ingin tetap netral dan tak berpihak kepada salah satu kubu di pilpres 2019 saat itu, maka ia memiilih untuk mengundurkan diri dari jabatan utusan khusus Presiden ini pada 21 September 2018.
Nyatanya dari situ, Din Syamsuddin semakin bebas dan sering memperlihatkan sikap kritisnya terhadap sikap dan kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi.Â
Bahkan, sikap Din Syamsuddin semakin meradang. Itu ia perlihatkan dengan mendeklarasikan sebuah forum atau ormas bernama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) bersama tokoh-tokoh lain yang diklaim banyak orang sebagai barisan atau koalisi orang sakit hati.
Tentu saja, ia membantahnya dengan menyatakan bahwa KAMI adalah gerakan moral politik dengan terus melakukan kritik terhadap kebijakan dan kerja pemerintah. KAMI bukan untuk menimbulkan instabilitas negara. Tapi jangan-jangan justru karena pemerintahan ini saja yang anti kritik. Begitu bantah Din.
Demonstrasi anarkistis menolak UU Cipta Kerja, kasus penangkapan dan penahanan beberapa aktivis KAMI oleh pihak kepolisian pasca demonstrasi anarkistis itu adalah realitas yang semakin memperuncing keadaan dan membuat kegaduhan yang seakan-akan menggambarkan fenomena kontestasi politik: Pemerintahan Jokowi versus KAMI.
Akhirnya, menurut hemat saya, Din Syamsuddin dan KAMI bukan sekadar gerakan moral politik, tapi sudah benar-benar sebagai gerakan politik. Tidak lebih.
KAMI, dan Din Syamsuddin seolah-olah tengah melakukan adegan foreplay persetubuhan politik dengan penuh sensasi dan fantasi politik menuju klimaks 2024.
Dua aktor utama presidium KAMI, Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo terus diberi ruang dan panggung mengekspresikan peran horornya dalam meraih citra atau politik pencitraan untuk menunculkan opini "playing the victim" dalam rangka memudahkan jalan ke RI 1 atau RI 2.
Dalam negara demokrasi, itu semua sah-sah saja. Negara memberi ruang kebebasan bagi setiap warganya mengekspresikan aspirasi dan kepentingannya. Asal tetap masih dalam koridor hukum dan tidak melanggar konstitusi. Semua ada porsinya.
Hanya saja, melihat drama yang dipentaskan KAMI hari-hari bekakangan ini, saya sebagai penonton melihat penampilan Din Syamsuddin dan KAMI sepertinya masih ada hal-hal yang kurang, dan harus kembali dipoles dan dibenahi secara apik dan elegan, agar tetap mendapat simpati publik.
Jangan mengikuti jejak dan mengulangi gaya politik yang dilakukan koalisi Prabowo Subianto sebagai kubu oposisi di musim kontestasi pilpres kemarin, yang terus membabi buta, menghajar pemerintah dengan kritik yang tidak karuan, dan menyemburkan lumpur kebencian, caci maki, dan banjir hoaks. Akhirnya, muspra dan gagal total (jangan disingkat).
Dan Din Syamsuddin, KAMI pun, sepertinya perlu dandan dan becermin lagi. Asal jangan sampai terjadi buruk muka, cermin dibelah saja. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H