Dalam kurun waktu hampir empat bulan terakhir ini, sejak Indonesia positif corona, saya menulis senarai esai di Kompasiana, sebagai respons atas realitas dan isu-isu yang terjadi, dan sempat viral di lini masa pada masa pandemi Covid-19, yang mewabah mendunia itu.
Hampir seluruh, setidaknya lebih dari dua ratusan, negara di dunia terpapar virus corona ini. Termasuk negara kita, Indonesia yang sampai saat ini masih terus tak pernah menyerah (ingat, bukan terserah) berusaha dengan kerja keras, dan (mestinya) cerdas menabuh genderang perang bersatu melawan "musuh" tak kasat mata, namun nyata korbannya di depan mata ini.
Berdasarkan data sebaran yang dilansir situs Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, update terakhir per tanggal 01-07-2020, menunjukkan bahwa di tingkat global (dunia) yang terpapar Covid-19 sebanyak 216 negara, terkonfirmasi 10.268.839 orang, dan yang meninggal 506.046 orang.
Esai-esai saya ini lebih banyak memotret dan merekam realitas dan isu-isu yang muncul di lini masa dari sikap keberagamaan dan sosial kita dalam keadaan kahar pandemi Covid-19.
Dari hal-hal sederhana, soal-soal ringan, sampai merembet ke hal-hal kompleks, soal-soal yang menjelimet, filosofis-teologis, agak berat, dan bisa jadi kontroversial.
Esai-esai itu mungkin lebih banyak bersifat informatif, dan memang dengan niat ikut mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Agama di tengah pandemi.
Kementerian Agama yang nota bene institusi negara yang berada di garda depan yang memiliki tugas melaksanakan amanat negara dalam pembangunan pelayanan agama dan keagamaan, mengawal moderasi beragama, kerukunan, dan moralitas bangsa selama ini.
Khususnya dalam menghadapi wabah pandemi Covid-19, Kementerian Agama pun tetap luar biasa aktif dan responsif bekerja keras, cerdas, dan cepat dengan penuh "Ikhlas Beramal"--motto Kementerian Agama--melakukan kebijakan-kebijakan dalam ikut berperan aktif bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Tapi walaupun begitu, tidak menutup ruang untuk saya menyelipkan analisa, dan pemikiran subyektif saya--berharap obyektif--dalam melihat persoalan secara kontekstual dengan merujuk sumber-sumber bacaan otoritatif, dan pemikiran yang bisa dipercaya, sebagai bingkai referensi (frame of reference).
Maka jika ada pemikiran saya yang berbeda, dan ada yang tidak sepakat, adalah wajar, dan hitung-hitung menambah khazanah pemikiran tentang agama, keislaman, sosial, dan budaya. Bukankah, berbeda itu sunatullah?