Gejala apa ini sebenarnya ketika pejabat kerap meralat pernyataannya yang kadung tayang dan dipublikasikan di media massa?
Atau kenapa dengan gampangnya pejabat bilang saltik (salah tik, tipo), atau mengatakan awak media salah kutip pernyataannya?
Mengapa juga pejabat kadang cepat menyalahkan dan menuduh publik atau warganet sok tahu, dan tidak lebih dulu melakukan klarifikasi, tapi langsung mengkonsumsi informasi dan tidak disaring dulu?
Yang agak membuat tanda tanya dan tak habis pikir, kok bisa, ketika produk hukum pun, seperti RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cipker) yang begitu pentingnya bagi hajat hidup orang banyak, dibilang saltik juga. (Sumber)Â
Fenomena seperti ini tampak sepele dan dianggap sederhana. Padahal efeknya luar biasa, kompleks, dan tidak sesederhana yang dibayangkan.
Bisa menimbulkan kesalahpahaman publik, kegaduhan, pro-kontra, polemik berkepanjangan, kontroversi, dan bisa menjadi masalah hukum.
Tidak itu saja, publik akhirnya menilai bahwa pemerintah atau pejabat yang bersangkutan bekerja tidak kompeten, tidak profesional, dan tidak kredibel.
Jangan salahkan publik jika kemudian tidak lagi menaruh kepercayaan pada pemerintah, atau pejabat. Gara-gara pejabat saltik.
Betul, pejabat juga manusia. Bisa salah. Wajar. Bukan malaikat. Tapi, kalau salah melulu, berarti bukan kedua-duanya (bukan manusia, apalagi malaikat). Lebih-lebih kerjanya plinplan, plintat-plintut, dan tidak kredibel.
Apa yang terjadi pada surat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan terkait kawasan Monas untuk lintasan balap Formula E yang sudah disampaikan kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno, bahwa dikatakan sudah mengantongi surat rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), adalah contoh bagaimana seorang pejabat bekerja.
Lantas dibantah oleh Kepala Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta, menegaskan bahwa ia tidak pernah mengeluarkan surat rekomendasi untuk itu.