Lepas dari unjuk rasa mahasiswa. Saya setuju dengan yang mengatakan bahwa jika Undang-undang (UU) sudah disahkan oleh DPR, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, maka mekanisme hukumnya, adalah menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) lewat judicial review. Tidak perlu maksa-maksa Presiden membuat PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). Walaupun itu salah satu hak dan kewenangan Presiden.
Berkaitan dengan revisi UU KPK ini, secara tegas Presiden Jokowi menyatakan, menolak mengeluarkan PERPPU untuk revisi UU KPK yang baru-baru ini disahkan oleh DPR. Pernyataan Presiden ini pun mungkin saja bisa berubah, dengan mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar dan lebih penting yaitu kepentingan bangsa dan negara.
Termasuk, Presiden menyatakan untuk menunda pengesahan beberapa RUU yang masih polemik dan kontrovesial, antara lain, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan, RUU Kemasyarakatan, etc. sebelum unjuk rasa mahasiswa digelar.
Bahkan, sehari sebelum rapat paripurna DPR, Presiden mengundang Pimpinan DPR untuk bertatap muka dan dengar pendapat di Istana, membicarakan beberapa RUU yang akan disahkan oleh DPR, dan meminta pihak DPR untuk menunda pengesahannya, di antaranya, RUU yang masih bermasalah itu.Â
DPR pun dengan berbagai pertimbangan, akhirnya menunda pengesahan beberapa RUU itu yang dianggap kontrovesial dan masih bermasalah.
Menurut saya, kalau mau aksi unjuk rasa, mestinya pelajari dulu materi yang akan disuarakan. Baca tuntas, pahami benar-benar subtansi dari persoalan yang akan disuarakan, agar tidak kelihatan dan ketahuan bahwa kita sedang mempertontonkan ketidakpahaman dan mempermalukan diri kita sendiri di depan publik.
Aksi unjuk rasa adalah refleksi dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, tentu tidak dilarang dan sangat dilindungi oleh undang-undang sebagai proses demokrasi. Itu semua sah dan hak dari warga negara, sepanjang tidak anarkis, tidak melanggar peraturan dan hak-hak orang lain.
Yang terpenting dari semua itu, bahwa unjuk rasa harus jelas, tidak sekadar ikut-ikutan unjuk rasa, apalagi karena terjangkit sindrom popularitas ala seleberitas, misalnya. Harus paham apa yang ingin disuarakan, ada judulnya dan ke siapa disampaikan. Jangan sampai plonga plongo, ada ketidakpahaman dan salah alamat tentang apa yang ingin disuarakan atau disampaikan.
Unjuk rasa keberatan dan ketidaksetujuan atas rancangan undang-undang, misalnya, tetapi tidak pernah baca, dan tidak paham apa isi rancangan undang-undang itu, adalah ironis dan sangat disayangkan bila itu terjadi.
Bergerak serentak turun ke jalan lakukan aksi unjuk rasa dalam demokrasi adalah sikap politik terpuji dan perlu mendapat apresiasi. Apalagi unjuk rasa itu bernas, paham subtansi apa yang akan disuarakan, tidak beringas dan anarkis, tidak melanggar aturan dan kepentingan orang lain.
Percaya saja pada kinerja DPR, bahwa dalam membuat sebuah undang-undang, pasti melalui proses atau tahapan-tahapan yang sangat panjang dan alot. Tidak ujug-ujug jadi undang-undang begitu saja. Contoh, RKUHP.Â