Tidak heran kalau orang yang berpuasa mau bersusah payah menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks dan tidak melakukan hal-hal yang membatalkanya di siang hari sampai tiba waktunya yang sudah ditentukan untuk berbuka yakni di saat magrib, itu lantaran iman dan hatinya yakin bahwa Tuhan Maha Tahu dan Maha Melihat.
Karena kalau saja mau dan pasti tidak ada orang lain yang tahu, ia bisa saja makan atau minum misalnya, dan setelah itu ia pura-pura puasa lagi seperti biasa. Tapi justru ia tidak mungkin melakukan itu. Padahal Ia bisa saja membohongi orang-orang di sekitarnya, tapi karena itu tadi ia yakin bahwa Tuhan tidak bisa dibohongi.
Tuhan akan selalu memperhatikan dan mengawasi setiap makhluknya, setiap saat, di mana pun dan kapan pun berada. Tuhan selalu hadir dan maha dekat.Â
Demikian kesadaran dan keinsafan luar biasa dari efek orang berpuasa.
Itulah pula kenapa hanya ibadah puasa -- sedang ibadah-ibadah yang lain seperti salat, zakat atau haji tidak termasuk -- yang disebutkan oleh Tuhan -- dalam hadis qudsi -- hanya untuk Dia (Tuhan), dan Dia saja yang berhak membalasnya atau menilainya. Di sinilah ibadah puasa makanya dikatagorikan sebagai ibadah yang sangat bersifat pribadi. Hanya Tuhan dan yang berpuasa itu sendiri yang tahu bahwa ia berpuasa.
Dengan rasa lapar dan haus, orang yang berpuasa juga diajak untuk menghayati dan menyadari betapa selama ini banyak orang yang merasakan kondisi seperti itu, karena kekurangan dan kelemahan secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya.
Sikap empati dan kasih sayang terhadap sesama, paling tidak, dapat tumbuh dalam diri orang berpuasa. Semangat berbagi dan meletakkan "tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah" dengan ikhlas tanpa pamrih, hatta saat tangan kanan terulur dan terjulur, sebisa mungkin tangan kiri pun tidak tahu sebagai rasa syukur atas karunia Tuhan yang tak terukur yang begitu besar, juga merupakan salah satu pesan penting dari berpuasa.
Kesadaran bahwa kasih sayang kepada makhluk yang berada di bumi itu akan mengundang kasih sayang yang berada di langit, sedikit banyak akan tercermin dari diri orang yang berpuasa.
Inilah yang diinginkan oleh sabda Nabi saw bahwa, "Siapa yang berpuasa Ramadan dengan penuh iman (imanan) dan mengukur diri (ihtisaban), maka akan diampuni dosanya yang lalu". (H.R. Bukhari Muslim).
Iman dan mengukur diri (ihtisab) sama artinya dengan percaya, yakin dan mawas diri atas nilai-nilai penghayatan, kesadaran dan keinsafan orang yang berpuasa Ramadan, antara lain yang telah dijelaskan di atas.
Pada gilirannya, ia menjadi orang yang bersih dari dosa, kembali fitrah bak seorang bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibu. Makanya, setelah usai puasa di bulan Ramadan (bulan ke-9 dalam kalender Islam), orang yang berpuasa akan kembali fitrah atau tepatnya merayakan pesta makan (idulfitri) di bulan Syawal (bulan ke-10 dalam kalender Islam).
Bukankah ini artinya merupakan simbol dari keberadaan manusia saat dikandung dalam rahim ibunya yaitu kurang lebih selama 9 bulan dan 10 hari?
Silaturahim, dalam pengertian menghubungkan diri ke rahim (kasih sayang pada ibu yang melahirkan adalah hal paling utama) dan kasih sayang pada sesama adalah sikap yang melekat pada diri seorang yang telah menyelesaikan ibadah puasanya sebulan penuh di bulan Ramadan.