Puasa, yang dalam bahasa Arab disebut shaum atau shiyam, berarti menahan diri (al-imsak). Yaitu menahan diri dari makan, minum, berhubungan seks dan hal-hal yang membatalkannya sepanjang hari dari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat.
Puasa Ramadan adalah salah satu syariat Islam. Syariah atau syariat berarti jalan. Semakna dengan kata syariah yaitu sirat, sabil, minhaj, tariq, yang kesemuanya berarti jalan. Secara sederhana dapat dipahami bahwa yang namanya jalan adalah suatu yang dilalui untuk mencapai satu titik tujuan.
Karena puasa sebagai jalan bukan tujuan, maka agar tidak sekadar menjadi rutinitas tahunan dalam melaksanakannya atau sekadar mengugurkan kewajiban secara fiqih, sehingga terabaikan pesan dan tujuan yang harus dicapai di balik puasa yang kita lakukan, adalah penting memahami pesan tersembunyi/tersirat (cryptical message) yang notabene merupakan pesan moral dari puasa Ramadan yang kita lakukan selama ini.
Dengan kata lain, kenapa kita harus berpuasa?
Perintah wajib melaksanakan ibadah puasa Ramadan itu difirmankan oleh Allah dalam Alquran Surat Al-Baqarah [2] ayat 183, "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".Â
Logikanya bahwa orang-orang yang tidak beriman tentu tidak diwajibkan untuk berpuasa Ramadan. Tolok ukur berpuasa adalah keimanan, dan tujuannya adalah ketakwaan.
Ketakwaan itu sendiri merupakan refleksi dari keimanan seseorang terhadap yang gaib, menegakkan salat, berbagi dengan sebagian harta yang dimiliknya -- karunia Tuhan kepada sesama, beriman kepada ajaran yang telah Tuhan turunkan kepada Nabi Muhammad saw dan para nabi sebelumnya, dan yakin akan hari akhirat. (Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 1 - 2).
Ketakwaan juga merupakan manifestasi dari kesediaan seseorang untuk berbagi dengan harta yang dimilikinya kepada sesama, baik dalam keadaan lapang (senang) maupun sempit (susah), kemampuan untuk menahan amarah, kesediaan memaafkan (kesalahan) orang lain, selalu berbuat kebajikan dan selalu mengingat Tuhan serta memohon ampunan-Nya atas perbuatan dosa, keji atau aniaya terhadap diri sendiri. (Q.S. Ali Imran [3] ayat 145 -135).
Ketakwaan, yang ketika Nabi saw ditanya oleh para sahabat, yaitu tolok ukurnya di sini (hati) -- Nabi bersabda sambil menunjuk ke hati (at-taqwa ha huna). Bahkan tolok ukur kebajikan dan dosa pun (al-birr wa al-itsm) adalah hati. Kalau hatinya baik maka baik pula seluruh perbuatannya dan sebaliknya. Jadi hati adalah cermin.
Puasa sangat erat kaitannya dengan urusan hati. Dan iman letaknya juga di hati. Makanya puasa harus disertai niat. Niat letaknya dalam hati.