Ini cerita tentang rekam jejak medis saya. Cerita ini lebih sekadar curahan hati (curhat) pribadi tentang hal yang kurang menyenangkan. Tetapi anggap saja, saya sedang ingin berbagi kepada para Kompasianer atau pembaca berkaitan dengan apa yang saya alami selama ini. Berharap ada manfaatnya, atau paling tidak, mungkin ada saran dan pencerahan dari Anda, Kompasianer.
Adalah sekitar dasawarsa yang lalu (2010), berawal dari sakit yang luar biasa di sekitar pinggang saya agak ke belakang di atas pinggul.
Awalnya saya pikir, ini sakit biasa saja, paling-paling, masuk angin atau gejala maag. Kalau sudah begitu saya biasanya minum obat maag atau obat tolak angin, bahkan karena masih menganut cara tradisional, pilihannya adalah dikerok untuk mengatasi gejala masuk angin.
Tapi ternyata sakitnya tetap tidak mau pergi. Masih terasa, sakit luar biasa. Kalau dokter bilang, sakitnya itu seperti seorang ibu yang melahirkan secara normal (bayangkan saja bagi ibu-ibu yang pernah melahirkan normal, bukan operasi caesar, seperti itulah sakitnya).
Akhirnya, karena nggak hilang-hilang sakitnya, terpaksa saya ke rumah sakit. Masuk ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Setelah dicek oleh dokter, diprediksi (baru diagnosa awal) oleh dokter bahwa sakit saya diakibatkan batu ginjal. Untuk memastikan itu harus di-rontgen atau di-USG, dan ditangani oleh dokter spesialis urologi.
Sebagai pertolongan pertama, saya diberi semacam obat penghilang rasa sakit (Analgesik, obat untuk meredakan rasa nyeri tanpa mengakibatkan hilangnya kesadaran, KBBI Daring). Selang beberapa menit, benar rasa sakit saya reda. Setelah itu saya boleh pulang dari rumah sakit dengan catatan sebagaimana pesan dokter, saya harus kembali lagi ke rumah sakit pada hari yang ditentukan sesuai jadwal praktik dokter urologi.
Dan di hari berikutnya, sesuai jadwal waktu yang sudah ditentukan untuk kontrol lagi ke rumah sakit, saya langsung ditangani oleh dokter spesialis Urologi. Setelah dicek melalui USG, akhirmya berdasarkan diagnosa dokter bahwa saya divonis sakit diakibatkan batu ginjal.
Setahun lamanya, di samping saya sambil tetap berkutat dengan kesibukan bekerja sebagai ASN di salah satu instansi pemerintah, juga bergelut dengan sakit yang saya derita dan mesti bolak-balik kontrol ke rumah sakit.
Saya melewati hari-hari itu dengan sesekali kambuh sakitnya dan menyerang pinggang saya. Kalau sudah begitu, buru-buru harus diberi obat penghilang sementara rasa sakit. Dan saya disarankan (diizinkan) oleh dokter untuk stok obat penghilang rasa sakit itu dengan membeli sendiri. Agar tidak repot-repot ke rumah sakit.
Belum lagi saya sebentar-sebentar harus bolak-balik Ä·e kamar kecil. Karena sebentar-sebentar kebelet kencing melulu. Orang sering bilang dengan istilah, kencing saya anyang-anyangan (keluarnya air seni terlalu sering, biasanya [tidak selalu] disertai rasa nyeri, KBBI Daring). Karena efek batu ginjal yang sepertinya sudah turun ke saluran kemih saya. Dan membuat urine saya terhambat keluar.
Alhamdulillah, melalui penanganan pengobatan secara medis, juga dibarengi dengan pengobatan secara herbal, yaitu dengan rutin setiap hari minum godokan daun kumis kucing dan daun keci beling (pecah beling), yang diracik sendiri secara telaten oleh istri saya, batu ginjal saya keluar bareng urine. Setelah itu, saya merasa plong dari gangguan sakit gegara batu yang menggerinjal selama ini.
Sejak saat itu, karena saya pikir batu ginjalnya sudah keluar, dan saya merasa tidak ada gangguan sakit sama sekali, makanya saya nggak pernah kontrol lagi, tentu saja. Saya sudah yakin saja, bahwa saya sudah pulih total, dan sudah bersih dari batu yang mengganjal di ginjal saya selama ini.
Namun, di awal tahun baru 2018, saya merasakan sakit lagi. Pinggang saya agak ke belakang di atas pinggul, sakit luar biasa, seperti dulu. Saya langsung menduga gangguan batu ginjal saya muncul lagi.
Saya langsung kontrol ke rumah sakit. Dan saya ketemu lagi dokter spesialis Urologi yang sama, yang menangani saya selama ini. Saya di-USG sebagaimana biasa, ternyata tampak masih ada batu ginjal dengan ukuran kecil sekitar 2 (dua) milimeter, begitu dokter bilang.
kesehatan saya.
Karena ukurannya kecil, dokter menyarankan, ditembak laser saja. Istilah medisnya, tindakan melaui ESWL. Saya mengiyakan saja, manut, demi kebaikan danTanggal 04 Januari 2018 yang lalu, saya kali pertama mendapat tindakan medis bernama ESWL sebagai ikhtiar mengatasi gangguan sakit akibat batu ginjal.
Google bilang, ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah tindakan memecah batu yang ditembakkan dari luar tubuh dengan menggunakan gelombang kejut yang dapat memecahkan batu menjadi pecahan yang halus, sehingga pecahan tersebut dapat keluar bersama dengan air seni.
(Sumber)
Setelah tindakan ESWL itu, saya kontrol. Seperti biasa di-USG, dokter bilang, batunya masih ada. Saya disarankan kontrol rutin tiap seminggu sekali. Tapi saya agak malas harus bulak-balik kontrol.
Setahun kemudian, karena setiap kencing, saya masih merasa terganggu, tanggal 28 Pebruari 2019, saya di-ESWL lagi untuk kali kedua.
Selasa, 12 Maret 2019, dua minggu pasca ESWL, saya kontrol lagi. Dokter spesialis Urologi memeriksa dan melihat ginjal saya dengan bantuan USG. Setelah di-USG, dengan tegas dokter menyatakan, "Bersih, sudah tidak ada batunya lagi!"
Sontak saya berucap, "Alhamdulillah!" Saya bersyukur kepada Allah. Akhirnya, ikhtiar ini berbuah manis. Berhasil. Saya bersujud dan bersyukur.
Beberapa hari kemudian, saat saya kencing, terasa ada sesuatu yang ikut terbawa aliran urine di saluran kemih saya. Saya menduga batu ginjal turun dan ikut mengalir bersama urine. Namun, sayang tidak sampai keluar. Justru batu berhenti di ujung Mr. P, sehingga agak sedikit menyumbat jalan keluarnya urine.
Saya akhirnya konsultasi lagi ke dokter. Jalan satu-satunya, kata dokter, harus dilakukan tindakan medis melalui operasi yang bernama meatotomy.
Kata dokter, karena batunya berukuran agak besar, sudah berada di ujung Mr. P, sulit dihancurkan dan sulit untuk keluar.Â
Sekali lagi, bukan karena saluran kemih saya yang menyempit, tapi karena ukuran batunya agak besar. Jadi agak sedikit menyumbat saluran kemih saya. Saat kencing, urine masih keluar walaupun sedikit terganggu, tentu saja.
Karena penasaran apa itu meatotomy, lantas saya tanya lagi pada Google. Salah satunya, hasilnya seperti ini.
Meatotomy
Tindakan medis ini bertujuan untuk memperlebar saluran uretra. Pelebaran ini bisanya dilakukan pada ujung Mr.P.Â
Selain dilakukan tindakan meatotomy, seorang pasien yang mengalami meatal stenosis biasanya dapat juga dilakukan melalui tindakan meatoplasy.
Kedua metode ini sebenarnya memiliki persamaan yaitu usaha untuk memperlebar saluran pembuangan urine pada ujung Mr. P.
Namun, pada meatoplasty setelah dilakukan pelebaran maka akan diikuti dengan tindakan penjahitan kembali. Sedangkan pada meatotomy setelah dilakukan pelebaran, biasanya sangat jarang akan diikuti dengan tindakan penjahitan kembali. Keadaan tersebut yang menjadi dasar utama perbedaan meatotomy dan meatoplasty.
Tindakan operasi ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Selain itu pasien akan dapat langsung pulang ke rumah setelah tindakan operasi berlangsung.Â
(Sumber)
Ini, sekali lagi, sekadar cerita rekam jejak medis saya dari sakit yang saya rasakan selama ini. Semacam curahan hati (curhat) pribadi.Â
Apakah saya harus di-meatotomy, mengikuti seperti yang disarankan dokter spesialis urologi itu? Bermula dari batu ginjal yang mengganjal, akankah ini berujung di meatotomy?Â
Tapi saya masih berharap, dengan dibarengi cara pengobatan herbal, batu di ujung Mr. P saya, keluar dengan sendirinya, aman dan lancar. Tanpa harus mendapat tindakan meatotomy itu. Masa saya harus "disunat" lagi untuk kedua kalinya, seloroh keluarga saya.
Jika ada saran dari Anda, Kompasianer, dengan senang hati, tentu ini akan menjadi masukan yang sangat berharga, dan saya ucapkan terima kasih. Jaga terus kesehatan dengan banyak minum air putih dan membiasakan gaya hidup sehat. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H