Pondok pesantren bersikap tidak memihak dan tidak bermain dalam kepentingan politik jangka pendek yang bisa merugikan keberadaan pondok pesantren ke depan dan lebih ke jangka panjang sebagai sebuah institusi atau lembaga pendidikan dan sosial yang lebih luas.
Sebagai sebuah institusi dan lembaga, pondok pesantren memiliki komitmen dan konsisten pada sebuah prinsip yang mulia tadi.Â
Prinsip "Berdiri di atas dan untuk semua golongan" sudah dibuktikan oleh pondok pesantren Gontor, dan pondok-pondok pesantren serupa di tanah air, selama ini.Â
Tidak sedikit pun goyah dan cepat tergoda rayuan politik apa pun. Rayuan gombal politik yang bisa meninabobokan dan terlena dengan keuntungan finansial sesaat dan fatamorgana.
Pondok pesantren, pada satu sisi, membiarkan alumninya bebas menentukan sikap pilihan hidupnya, termasuk sikapnya berpolitik. Pondok pesantren pun tentu tidak bisa mencampurinya. Pada sisi lain, alumninya pun tidak etis dan tidak berhak membawa-bawa almamaternya lebih jauh ke dalam sikap dan pilihan politik praktisnya.Â
Pertemuan kyai atau pemimpin Pondok Pesantren Gontor dengan tokoh-tokoh alumninya baru-baru ini sebagai ajang untuk mendukung salah satu capres yang menjadi viral dan kontroversi di medis sosial adalah realitas bagaimana begitu penting dan strategisnya pondok pesantren memainkan peran dalam pusaran politik pilpres 2019 ini.
Alumni pondok pesantren sebagai kelas menengah santri sudah banyak yang menjadi tokoh nasional. Kiprah dan kontribusinya tidak bisa dilihat sebelah mata.Â
Menyebut KH. Hasyim Asy'ari, Haji Ahmad Dahlan, H. Agus Salim, Mohammad Natsir, Buya HAMKA, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan lainya, adalah tokoh nasional--notabene sebagai kelas menengah santri--yang begitu besar peran dan kontibusinya dalam kehidupan berbangsa, perkembangan sejarah politik dan demokrasi di Indonesia.
Pasca reformasi 1998, kentalnya peran dan kiprah kaum menengah santri, alumni pondok pesantren dalam politik bangsa adalah momen sejarah yang sangat signifikan.
Era reformasi membuka kran kebebasan berekspresi, berpendapat, berserikat dan berpolitik dengan multi partai politik yang sebelummya mampat adalah tonggak sejarah kiprah kaum menengah santri dan pondok pesantren.
Mereka beramai-ramai terjun di dunia politik praktis dan masuk ke dunia birokrasi. Menjadi anggota MPR/DPR, menteri dan kepala daerah sebagai representasi pemimpin politik. Kiprah mereka sangat diperhitungkan dalam ikut membangun kehidupan politik dan demokrasi Indonesia.