Banyak berita yang terkait pemilu presiden (PILPRES) belakangan ini terfokus pada kampanye. Banyak berita tentang kampanye hitam baik melalui media resmi maupun yang informal seperti media sosial justru membuat media tabloid gelap atau website abal-abal makin populer. Masyarakat seolah lupa atau tidak waspada akan kecurangan sistematis pemilu yang telah, sedang dan akan terjadi.
Tulisan ini rencananya di-publikasi sebulan lalu, tetapi tidak sengaja terhapus oleh web system error sebelumnya. Sekarang diketik ulang dengan tambahan berita terbaru. Berita langsung dari pengamatan persiapan dan pelaksanaan di tempat pemungutan suara (TPS) menggambarkan situasi yang sebenarnya sampai saat terakhir sebelum publikasi.
Hanya dua pasang calon yang berkompetisi dalam PILPRES membuat berita-berita yang muncul cenderung saling serang atau saling menyalahkan. Padahal dalam situasi ini selalu ada pihak-pihak yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Siapakah atau dari kelompok mana saja yang berpotensi melakukan itu?
[caption id="attachment_346998" align="aligncenter" width="700" caption="Pemilu Jujur berawal dari DPT"][/caption]
Pertama-tama, masalah percaloan di Indonesia sepertinya sudah mewabah. Mulai dari urusan sederhana di kantor kelurahan, tempat penjualan tiket, berbagai tempat pelayanan publik, kantor polisi bahkan kantor swastapun, ada calonya sekalipun ada spanduk tertulis huruf besar "Jangan pakai jasa calo" atau sejenisnya. Terakhir berita percaloan yang menghebohkan melibatkan petinggi hukum Indonesia. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, AM, sudah dijatuhi hukuman seumur hidup terkait percaloan perkara pilkada baru-baru ini.
Orang-orang yang terlibat tidak hanya dari pihak berkepentingan dalam perkara, tetapi orang-orang yang mencari kekayaan / kekuasaan dengan jalan pintas. Mereka sepertinya menunggu momen seperti ini. Ada penjual ada pembeli, calo mencari penawar tertinggi (melalui uang, kedudukan, status sosial, konsesi tertentu), tidak perduli apa vis misi capres. Percaloan ini tetap ada selama tidak ada usaha sistematis untuk mencegahnya dari berbagai pihak.
Yang berkepentingan, seperti anggota tim sukses / tim pemenangan, bisa saja silau dengan cara-cara yang tidak terpuji bahkan ikut mendorong pihak lain menciptakan kecurangan sistematis. Bentuknya bisa macam-macam tergantung kesempatan dan kelemahan mekanisme yang ada dari pihak penyelenggara (KPU dan Bawaslu), birokrasi pemerintah yang terlibat dalam proses pemilu, internal struktur tim pemenangan dsb.
Masalah kelemahan ini, tampak dengan jelas sejak pendaftaran calon pemilih. KPU bersama Bawaslu belum mampu memperbaiki sistem agar data daftar pemilih tetap (DPT) yang disiapkan untuk setiap kelurahan, setiap TPS cukup akurat pada saat pemilu. KPU menyadari kelemahan ini sehingga memberi keleluasaan pemilih untuk datang memilih walau tidak tercantum di DPT. Ini kelemahan yang rawan disalahgunakan menjadi kecurangan sistematis.
Walau sudah ada masukan perbaikan dari warga yang namanya tidak tercantum, setelah PILEG sampai PILPRES tidak ada perbaikan yang signifikan di DPT. Masih banyak orang yang sudah memberi pemutakhiran data jauh-jauh hari melalui form A.A.1-KPU, tetap tidak tercantum di DPT saat PILEG maupun PILPRES.
Adakah mekanisme yang mumpuni untuk mengecek keberadaan form-form yang sudah terisi dan siapakah yang mengawasi dan memastikan keakuratan data itu untuk pemutakhiran data KPU? Fakta di lapangan sebetulnya tidak sulit untuk mengecek dengan cara membandingkan data di DPT versus data di setiap kelurahan/ kecamatan. Di sinilah sumber kecurangan sistematis dapat terjadi. Oknum-oknum birokrasi dari berbagai level dapat memanfaatkan kelemahan ini untuk kepentingan pribadi ataupun untuk kepentingan tim sukses tertentu. Keterlibatan mereka dalam hal ini bisa karena pertimbangan sederhana, yaitu menguntungkan oknum ybs dalam berbagai bentuk.
Selanjutnya, dalam penyebaran surat suara di TPS maupun pengaturan pelaksanaan merupakan titik kelemahan lain. Ada TPS yang kekurangan surat karena data DPT memang tidak akurat jika dibiarkan maka akan merugikan pihak tertentu. Sebaliknya TPS yang kelebihan surat suara banyak, berpotensi dimanipulasi dengan berbagai cara. Kelemahan ini dapat diatasi melalui koordinasi yang sekarang dipermudah oleh kemajuan teklnologi komunikasi (handphone), namun tampaknya belum optimal.
Waktu pelaksanaan bisa jadi hambatan untuk TPS yang jumlah bilik suaranya tidak seimbang dengan antrian yang ada sampai batas waktu yang ditentukan. Pada PILEG yang lalu dan juga kejadian di Hongkong, sebagian orang yang telah hadir di TPS tidak dapat menggunakan haknya karena kelemahan pengaturan pelaksanaan pemilu. Lagi-lagi ini kelemahan yang dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk kepentingan pribadi maupun untuk tim sukses tertentu.
Ada banyak modus kecurangan sistematis yang memanfaatkan kelemahan pemilu. Bahkan kecurangan yang canggih seperti yang dilakukan tim sukses Richard Nixon dapat terjadi. Kecurangan sistematis pada tahun 1970an tersebut terungkap melalui reportase skandal watergate oleh Washington Post, sehingga Richard Nixon terpaksa mengundurkan diri dari jabatan presiden Amerika Serikat pada tanggal 9 Agustus 1974. Ini sesuatu yang harus dihindarkan tapi bukan yang mustahil.
Dengan menyadari kelemahan yang ada, maka harus ada upaya yang sistematis untuk mengatasinya. Mudah-mudahan tidak sia-sia harapan seluruh rakyat Indonesia untuk melaksanakan pemilu utamanya PILPRES berkualitas dan jujur !
9 JULI 2014 PILPRES INDONESIA
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI