Imam Al-Ghazali (1048-1111 M.), nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta'us Ath-Thusi as-Syafi'i al-Ghazali, merupakan salah seorang ilmuwan sekaligus pula ahli tasawuf yang terkemuka dalam Sejarah Peradaban Islam. Beliau salah seorang ulama yang produktif, banyak kitab-kitab karyanya yang beliau tulis, antara lain: Ihya Ulumuddin, Al-Munqidh min al-Dalal, Minhaj al-'Abidin, Al-Maqsad al-Asna fi Sharah Asma' Allahu al-Husna, Faysal al-Tafriqa bayn al-Islam Wal-Zandaqa, Maqasid al Falasifa, Tahafut al-Falasifa, dan Al-Qistas al-Mustaqim.Â
Imam Al-Ghazali hidup pada saat terjadinya Perang Salib yang pertama (1095-1101 M.), akan tetapi tidak ada satupun dari karya-karyanya yang membahas tentang Perang Salib dan beliaupun tidak terlibat langsung dalam Perang Salib. Hal ini yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini, bagaimana para ahli sejarah memberikan analisapandangan terhadap sikap dan tindakan Imam Al-Ghazali terhadap Perang Salib yang terjadi pada masa beliau masih hidup. Â
Analisa Rofiq Muzakir
 Rofiq Muzakir, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat mengemukakan ada dua alasan, mengapa dalam kitab Ihya 'Ulumuddin dan kitab-kitab lainnya karya Imam Al-Ghazali tidak terdapat pembahasan tentang Jihad dan Perang Salib, yaitu alasan kronologis dan alasan epistemologis.
Pertama, alasan Kronologis.Â
Saat Al Ghazali mengembara dari Baghdad menuju Syam pada tahun 1095-1096/488-490, kota Damaskus dan Yerussalem belum kedatangan tentara Salib, sehingga dua kota tersebut masih dikuasai umat Islam.Â
Dua tahun setelah Al Ghazali kembali ke Baghdad dan Khurasan yakni pada tahun 1098/491, pasukan Salib merebut Yerussalem lewat jalur Antiokhia. Imam Al Ghazali tidak menjumpai Perang Salib ketika tinggal di Syam.Â
Pada saat terjadi peristiwa jatuhnya Antiokhia ke tangan Faranj atau orang-orang Eropa, beliau sudah kembali ke Baghdad dan Khurasan.
Alasan kronologis lainnya tentang mengapa kitab Ihya 'Ulum al-Din karya Imam Al Ghazali tidak memuat bahasan tentang Perang Salib? Sebab, sebelum Perang Salib tahap pertama meletus di wilayah Syam pada tahun 1096/490, kitab Ihya telah selesai ditulis. Kitab ini ditulis saat Al Ghazali mengembara dari Baghdad ke Damaskus, sehingga terbitnya kitab Ihya sebelum pasukan Salib menyerbu wilayah Islam di negeri Syam.
Pada tahun 1096/490, Imam Al Ghazali menulis beberapa kitab seperti Misykat al-Anwar, al Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Al Tibr al Masbuk fi Nasihah al Muluk, dan Al Munqidz min al-Dhalal. Meski deretan kitab karya Al Ghazali ini ditulis setelah Yerussalem dikuasai orang-orang Eropa, namun ia tetap tidak memasukkan bahasan yang menyinggung soal Perang Salib. Menurut Rofiq, tantangan al-Ghazali juga tidak kalah serius, yaitu adanya gangguan stabilitas keamanan dari dalam negeri yang dilakukan oleh golongan Bathiniyyah.
Kelompok Bathiniyyah disinyalir berdiri di belakang Penguasa Fathimiyah ini pengaruhnya amat kuat di kawasan sekitar Baghdad dan Khurasan. Mereka berusaha melemahkan bahkan menghancurkan Kekuasaan Abbasiyah yang menganut paham Sunni. Oleh karena itu, isu besar yang sedang dihadapi Imam Al-Ghazali itu bukan pasukan Salib, melainkan propaganda Fatimiyah sehingga beliau tidak begitu memperhatikan meletusnya Perang Salib di beberapa wilayah Islam.
Di samping menghadapi gangguan golongan Bathiniyyah dari Fathimiyyah, Imam Al Ghazali juga melihat tantangan lain yang juga serius, yaitu dari Dinasti Fathimiyah yang berpaham Syiah Ismailiyah di Mesir. Mereka melakukan teror hingga beberapa Sultan terbunuh seperti Fakhr al Mulk," terang Rofiq.
Kedua, alasan Epistemologis.
Rofiq juga mengajukan alasan epistemologis mengapa karya-karya Imam Al Ghazali luput dari bahasan soal Perang Salib. Menurutnya, bagi Imam Al Ghazali akar masalah dunia Islam itu bukan politik melainkan epistemologi. Oleh karena hal ini, Imam Al-Ghazali banyak sekali menelurkan kitab dari akhlak, tasawuf, politik, filsafat, hingga usul fikih. Karya-karyanya itu disiapkan untuk melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim yang pada saat itu banyak mengalami degradasi.
Sebagai seorang intelektual sekaligus pemuka agama, Imam Al Ghazali memikul tanggungjawab meluruskan akidah dan cara berpikir umat Islam. Kritik-kritiknya yang keras terhadap sejumlah aliran pemikiran juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah yang sedang dihadapi umat Islam. Sehingga menyelesaikan masalah keumatan tidak begitu saja dapat diselesaikan melalui jalur politik, tapi juga harus dilalui dengan solusi yang lebih mendasar yaitu reformasi intelektual dan moral.
 Analisa Dr. Adian Husain
Kebangkitan umat Islam pada masa Perang Salib terbukti tidak lepas dari peran seorang ulama bernama Syekh Ali al-Sulami dan Imam Al-Ghazali.
Posisi Al-Ghazali dalam Perang Salib menjadi jelas, setelah diterbitkannya Kitab Al-Jihad karya Ali al-Sulami, imam di masjid Ummayyah Damaskus, dan tokoh perumus serta penggerak jihad melawan tentara Salib. Dalam naskah kitab yang diringkas Niall Christie, al- Sulami banyak mengutip ucapan Imam al- Syafii dan Al-Ghazali tentang jihad. Di antaranya, Al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh.
Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negara terdekat. Penjelasan Al-Ghazali yang dikutip Ali al-Sulami itu menunjukkan, posisi Al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib sangatlah jelas.
Al-Sulami tidak menyebutkan sumber kutipan ungkapan Al- Ghazali tersebut. Al-Ghazali juga tidak menuliskan kutipan itu dalam Kitab Ihya' Ulumiddin. Adalah sangat mungkin bahwa Ali al-Sulami, yang ketika itu menjadi imam di Masjid Umayyad di Damaskus, menghadiri kuliah Al-Ghazali di Masjid tersebut. Dalam Ihya'-nya, Al-Ghazali menjelaskan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam perspektif Islam. Ia menulis begitu banyak topik, seperti masalah ilmu, ibadah, etika sosial, hal-hal yang merusak (al-muhlikat), dan juga yang menyelamatkan (al-munjiyat).Â
Analisa Dr. Zaki Mubarak
Dr. Zaki Mubarak, seorang Ulama kontemporer dalam bukunya Al Akhlak 'inda Al Ghazali menyatakan penyebab Imam Al Ghazali tidak ikut serta dalam Perang Salib karena Imam Al Ghazali sedang berkonsentrasi dalam ibadahnya, ia tenggelam dalam meditasi dan isolasi dirinya tanpa mengetahui apa yang harus dilakukannya dalam dakwah dan jihadnya.
 Analisa Dr. Umar Faruq
Adapun Dr. Umar Faruq dalam bukunya Abu Hamid Al Ghazali wa At Tashawwuf menyatakan : Sebelumnya, kaum Sufi berkeyakinan bahwa Perang Salib merupakan hukuman bagi umat Islam atas dosa-dosa dan kesalahan yang telah mereka lakukan. Bisa jadi Imam Al Ghazali memiliki keyakinan yang sama seperti ini.
Prof. Ali Muhammad Ash Shallabi, pakar sejarah Islam membantah pernyataan Dr. Umar Faruq tersebut dengan menyatakan bahwa tidak bijak menggeneralisasikan bahwa Sufi tidak ikut serta dalam Jihad, bahkan sebagain besar mereka ikut akif dalam perjuangan melawan kaum Salib. Â
Abdul Qadir Al Jazairi merupakan tokoh besar Sufi yang menjadi pemimpin perjuangan pertama melawan Prancis di Aljazair, begitu juga Ahmad Syarif As Sanusi dan Umar Al Mukhtar yang menjadi gerakan jihad di Libya merupakan tokoh Sufi.Â
Di samping itu kaum Sufi juga berperan aktif pada masa sekarang melawan penajajahan Amerika di Irak. Permasalahan yang sebenarnya adalah bahwa kaum Sufi yang berjihad merupakan pengikut tasawuf Sunni yang berdiri di atas prinsip-prinsip keyakinan dan pemikiran ahlu sunnah seraya memperbanyak ibadah, berdzikir dan zuhud. Â
Akan tetapi tasawuf yang menyimpang dan berdiri di atas penyembahan jenazah dan mensakralkan tokoh-tokoh, melaksanakan bid'ah, merupakan kaki tangan para penjajah.
 Analisa Yusuf Al Qardhawi
Prof. Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya Al Ghazali baina wa naqidihi menyatakan : Bisa jadi sikap diam Imam Al Ghazali semacam ini karena sibuk melakukan reformasi secara intern terlebih dahulu dan bahwa kerusakan dalam negeri itulah yang mendorong terjadinya serangan dari pihak luar. Hal ini sebagaimana yang ditunjukan dalam permulaan surat Al Isra', dimana setiap kali bani Israil melakukan kerusakan di muka bumi, maka musuh-musuh mereka menguasai mereka. Setiap kali mereka baik, maka dikembalikanlah kekuasaan mereka sebelumnya.Â
Visi dan misi terbesar Imam Al Ghazali adalah memperbaiki sikap dan perilaku individu, yang merupakan nukleus masyarakat. Perbaikan individu hanya dapat dilakukan dengan perbaikan hati dan pemikirannya. Dengan strategi ini, maka perbuatannya dan perilakunya akan menjadi baik dan aktivitas kehidupannya secara keseluruhan membaik. Inilah prinsip utama perubahan sosial. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah: "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sutau kaum sehingga mereka merubah keadaan yanga ada pada diri mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd : 11), termasuk di dalamnya reformasi para pemimpin dengan memberikan nasihat dan pengarahan yang baik kepada mereka. Dan Allah Maha Mengetahui sikap diamnya Imam Al Ghazali.Â
Analisa Dr. Majid Irsan Al Kilani
Dr. Majid Irsan Al Kilani dalam bukunya Al Imam Al Ghazali dan Hakadza Zhahara Jil Shalah Ad Din menyatakan : Mengenai masalah jihad, Imam Al Ghazali membahasnya dalam sebuah tema besar Al-Amr bi Al Ma'ruf Wa An-Nahy 'an Al Munkar. Imam Al Ghazali menganggap jihad merupakan salah satu bentuk amar makruf nahi mungkar. Sikap Imam Al Ghazali terhadap jihad memberikan dua pengertian penting.Â
Pertama, pengertian jihad menurut Imam Al Ghazali bukanlah membela dan mempertahankan orang-orang, kelompok, negara ataupun harta benda melainkan mengemban misi untuk amar makruf nahi mungkar. Amar makruf inilah yang merupakan faktor sebenarnya yang mendorong umat Islam untuk tampil dalam panggung dunia. Â
Selama masyarakat pada zaman Imam Al Ghazali enggan mengemban tugas dan kewajiban beramar makruf nahi mungkar sehingga membiarkan kemungkaran mewabah dimana-mana sehingga banyak generasi muslim yang tidak memiliki keperibadian dalam berpakaian, makan, minum dan pernikahan.Â
Sebagaimana yang dikatakan ahli sejarah bernama Abu Syamsah "seruan apapun untuk berperang secara militer tidak akan berguna kecuali didahului dengan perjuangan melawan diri sendiri oleh kaum tersebut dengan segenap kemampuannya hingga mereka bisa merasakan arti penting dan pengorbanan jiwa dan harta benda di jalan Allah.Â
Ke-dua, Imam Al Ghazali benar-benar memahami pengertian jihad yang menyeluruh dan fase-fase yang harus dilalui. Jihad melalui tiga bentuk : jihad pendidikan, jihad sistem, dan jihad militer. Pemahaman yang benar dan penanganan yang baik terdapat ketiga bentuk jihad ini serta menjaganya merupakan salah satu bentuk hikmah dimana Allah menjadikannya sebagai langkah pertama dakwah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik" (QS. An-Nahl :125).Â
Seruan berjihad dalam bentuk pengerahan pasukan militer dan menyerukan kepada masyarakat yang telah mati naluri perjuangannya dimana pemikiran-pemikiran dan kepribadian mereka bermuara di sekitar kematian (tidak memiliki semangat juang beramar makruf nahi mungkar), maka sama halnya menyerukan perang kepada jenazah-jenazah yang sudah terkubur.Â
Pemaparan ini bisa menjadi jawaban terhadap serangan yang dilancarkan kepada Imam Al Ghazali yang dituduh mengasingkan diri dari berbagai permasalahan dunia Islam. Â
Ruang lingkup reformasi Islam Imam Al Ghazali membuktikan dengan jelas bahwa tokoh kenamaan ini lebih memilih permulaan jihad pada bidang pendidikan pada umatnya yang sedang mengalami kemalasan dan enggan untuk berjuang, nilai-nilai kemungkaran telah menyelimuti umat sehingga semakin menjauh dari nilai-nilai ajaran Islam.Â
Strategi Imam Al Ghazali ini dimaksudkan sebagai upaya pendahuluan untuk menyerukan atau mendorong para pemimpin negara dan komandan militer yang bertanggung jawab menggerakan jihad struktural atau sistem dan kemiliteran yang membawa bendera amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah dengan sepenuh jiwa mereka. Â
Imam Al Ghazali juga melancarkan kritikan terhadap para penguasa yang zalim, memerangi kehidupan materialisme yang berlebihan, menyerukan penegakan keadilan sosial dan memerangi berbagai aliran kepercayaan dan pemikiran yang menyimpang.Â
Kesimpulan
 Dari pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Imam Al-Ghazali turut berperan akktif dan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi umat Islam dalam menghadapi Perang Salib. Beliau tidak terjun langsung berjihad ke medan perang, akan tetapi lebih kepada Jihad bil-'Ilmi dan Jihadun-Nafsi dengan tujuan untuk melakukan reformasi mental, sikap dan prilaku umat Islam untuk kepentingan memerangi musuh-musuh Islam dan menata kehidupan yang lebih baik dan benar. Hal ini terbukti dengan banyaknya kitab-kitab karya beliau, antara lain Misykat al-Anwar, al Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Al Tibr al Masbuk fi Nasihah al Muluk, dan Al Munqidz min al-Dhalal, dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H