Mohon tunggu...
Muh Zadit
Muh Zadit Mohon Tunggu... Penulis - Blogger SEO Copywriting
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyiar kreatif dalam pemasaran online, menjangkau audiens luas secara organik, dengan konten sosial media, jurnalistik & SEO blogging, untuk mendominasi pencarian Google, membangun brand awareness, memikat pembaca potensial.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gentrifikasi: Ketika Kota Menginvasi Desa

16 September 2023   06:30 Diperbarui: 16 September 2023   06:47 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai, teman-teman! Siapa di sini yang pernah dengar tentang gentrifikasi? Jadi, ceritanya begini, beberapa tahun belakangan ini, kita sering denger bahwa orang-orang dari kota besar berbondong-bondong pindah ke desa. 

Tapi apa yang terjadi setelah mereka datang? Bener nggak sih, hal ini bisa bikin desa jadi tempat yang beda dari dulu?

Di balik panorama pedesaan yang tampak damai, ada sebuah cerita menarik yang menggambarkan gentrifikasi: kedatangan penduduk kota ke sebuah desa kecil. Bagaimana perubahan ini memengaruhi ekonomi, budaya, dan sosial di desa tersebut? 

Ikuti petualangan kami ke Sukamaju, sebuah desa yang penuh warna, dan temukan bagaimana gentrifikasi bisa menjadi peluang dan tantangan sekaligus. Selamat datang di dunia yang berubah dengan bijak!

Pada suatu hari di desa kecil bernama Sukamaju, perubahan mulai terasa. Desa ini dulu adalah tempat yang tenang dan penuh kehangatan. Penduduknya saling mengenal, toko kelontong lokal menjadi tempat curhat sehari-hari, dan bahasa Jawa adalah bahasa yang mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari.

Namun, suatu ketika, berita menyebar bahwa sejumlah keluarga dari kota besar ingin pindah ke Sukamaju. Mereka tertarik dengan keindahan alam dan harganya yang lebih terjangkau. Dengan cepat, harga properti mulai melonjak, dan beberapa rumah yang tadinya kosong pun kini bercahaya dengan kehadiran pendatang baru.

Ini adalah awal dari apa yang kita kenal sebagai gentrifikasi. Meskipun pengusaha lokal merasa gembira dengan peluang bisnis baru, ada juga yang cemas. Pak Slamet, pemilik toko kelontong yang telah bertahun-tahun melayani penduduk setia, merasa persaingannya semakin berat dengan kedatangan supermarket ranting dari kota.

Di sisi lain, munculnya pendatang kota membawa warna baru dalam budaya desa. Mereka membawa kegemaran dan hobi mereka, seperti seni lukis dan musik jazz. Dulu, rumah-rumah sederhana di Sukamaju kini menjadi galeri seni yang menarik perhatian pengunjung dari luar. Sementara bahasa Jawa masih digunakan di rumah, dalam komunitas yang lebih luas, bahasa Indonesia dan bahkan bahasa Inggris menjadi lebih umum.

Kisah Sukamaju ini mencerminkan banyak perubahan yang terjadi ketika gentrifikasi datang. Bagaimana kita bisa menyikapinya dengan bijak? Penduduk desa berdiskusi dan mencari solusi bersama. Mereka mendukung Pak Slamet dengan terus berbelanja di tokonya. Mereka juga mengadakan festival seni tahunan yang menggabungkan seni tradisional dengan seni modern, menjaga keseimbangan antara kedua budaya.

Dalam cerita ini, gentrifikasi adalah tentang bagaimana perubahan bisa membawa tantangan, tetapi juga peluang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun