Mohon tunggu...
Muhammad Wildan Dimas Permadi
Muhammad Wildan Dimas Permadi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Muhammad Wildan Dimas Permadi atau dikenal sebagai Wildan merupakan seorang mahasiswa hukum tahun kedua. Ia berpartisipasi di berbagai organisasi internal fakultas dan tingkat universitas. Bahkan, ia pernah bergabung di organisasi daerah setingkat kabupaten. Ia memiliki ketertarikan pada menulis. Ketertarikan ini sudah dimulai semenjak mengenyam bangku di sekolah menengah pertama dengan menciptakan berbagai puisi dengan tema yang beragam. Kemudian, saat menginjak di bangku SMA, ia berpartisipasi di kompetisi karya tulis ilmiah untuk menguji kemampuannya dalam menulis, dan hasilnya ia mendapat predikat top 6 dan top 10 di dua kompetisi yang berbeda penyelenggaraan. Kemampuan menulis selalu diasah oleh Wildan. Keikutsertaannya di salah satu UKM Fakultas yang bergerak di bidang kepenulisan membantu ia dalam meningkatkan keabsahan dalam menulis. Pengalaman menulis selalu ia jadikan tolok ukur kemampuan dan pembelajaran. Seperti pada bulan Oktober 2023, ia berhasil mendapatkan predikat winner dan best paper di andalas law competition 2023. Ia berharap, dengan menulis di platform ini, ia mampu mengasah bakat menulis serta menyebar kebermanfaatan bagi semua informan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perspektif Hukum Humaniter Internasional terhadap Kebijakan Pengungsi Rohingya di Indonesia

11 Januari 2024   11:30 Diperbarui: 11 Januari 2024   11:43 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Problematika pengungsi Rohingya bermula dari Pemerintah Myanmar yang memuat pernyataan  bahwasannya mereka tidak mengakui etnis Rohingya diantara keberadaan 135 etnis lainnya di Myanmar dalam suatu peraturan perundang-undangannya sendiri.  

Hal ini berdasar pada peta sejarah yang diyakini bahwa etnis rohingnya bukanlah suku asli negara tersebut, melainkan pengungsi yang tidak memiliki status legal dalam melakukan imigrasi. Tidak dianggapnya etnis Rohingya dari Undang-undang tersebut, membuat etnis Rohingya mendapatkan ketidakadilan, seperti pembatasan akses Pendidikan, belanja, bahkan bepergian sekalipun. Beranjak dari hal tersebut, konflik mulai muncul ke permukaan yang diawali pembunuhan seorang perempuan suku Rakhine yang akhirnya pergejolakan antara kedua etnis tidak terelakan. 

Para pemuka agama dan masyarakat suku asli Rakhine beramai-ramai membunuh etnis Rohingya. Selepas peristiwa konflik tersebut, Presiden Myamnar pada saat itu, Thein Sein justru memilih untuk melakukan deporatasi kepada etnis Rohingya dari negara yang dipimpinnya dan mengumpulkannya di tempat pengungsian. Dampak dari peristiwa tersebut, sebanyak 140 ribu lebih tidak memiliki status kewarganegaraan, 3 ribu bangunan mengalami kerusakan, serta hampir 60 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Setelah kejadian ini ,mereka terpaksa memutuskan untuk meninggalkan Myanmar dan mencari perlindungan di beberapa negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, dan lainnya.

Menelisik kebijakan pengungsi di Indonesia, pemerintah Indonesia memiliki sejumlah kebijakan yang dituangkan di dalam suatu peraturan presiden nomor 125 tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri dan Undang-undang nomor 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri. Dalam peraturan presiden nomor 125 tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri, tepatnya pada pasal 3 menyatakan bahwa, Penanganan pengungsi dilakukan dengan mematuhi norma-norma internasional yang berlaku umum dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Koordinasi penanganan pengungsi dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, yang mencakup kebijakan perumusan terkait Identifikasi, Tempat penampungan, Keamanan, Pengawasan dalam ranah imigrasi. 

Selain itu, Indonesia juga mengatur pemberian suaka dan perlindungan bagi pengungsi. Hal ini secara eksplisit diterangkan dalam Pasal 26 Undang-undang nomor 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, dijelaskan bahwa pemberian suaka kepada individu asing dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan nasional, dengan mempertimbangkan hukum, kebiasaan, dan praktik internasional. Namun, lain dalam kebijakan internal pemerintahan Indonesia, Indonesia belum melakukan ratifikasi terhadap konvensi wina tahun 1951 mengenai pengungsi dan protokol 1967. Hal ini berbuntut pada implikasi jangka panjang yang intinya belum ada kesiapan dari pemerintah Indonesia untuk melakukan ratifikasi terhadap konvensi tersebut. 

Penting untuk dicatat bahwa, jika Indonesia menjadi pihak dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967, negara tersebut wajib mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Protokol 1967, seperti halnya Pasal 4 (kebebasan beragama), Pasal 17 (hak untuk bekerja dan menerima upah), Pasal 21 (hak untuk memiliki rumah), Pasal 22 (hak untuk mendapatkan pendidikan), dan lainnya. Secara hukum, Indonesia tentunya akan menghadapi kendala dalam melaksanakan beberapa pasal dalam konvensi tersebut, mengiingat Indonesia sebagai negara berkembang yang masih menghadapi tingkat pengangguran yang cukup tinggi. Selanjutnya, Pasal 21 Konvensi 1951 menetapkan kewajiban memberikan tempat tinggal bagi pengungsi. Selain, masih menghadapi tingkat kemiskinan yang signifikan, beberapa daerah di Indonesia juga memerlukan pengembangan infrastruktur yang lebih baik dari pemerintah pusat. Berpijak pada kemungkinan-kemungkian persoalan yang berpotensi kian panjang, hingga saat ini, Indonesia masih belum memutuskan untuk melakukan ratifikasi terhadap konvensi 1951 dan protokol 1967.

Terhitung hingga Desember 2023, pengungsi Rohingya di Indonesia kian meningkat. Sebanyak 1500 lebih pengungsi Rohingya menetap di Indonesia dan tentunya hal ini bisa membuat kondisi yang berkepanjangan di Indonesia, baik dalam hal kuantitas pengungsi yang semakin meningkat, serta kebijakan dan solusi dalam rangka menangani permasalahan tersebut. Dengan kondisi demikian, pemerintah terus berupaya yang terbaik dalam menangani permasalahan pengungsi Rohingya yang tentunya hal ini dalam ranah pemenuhan hak asasi manusia. Beberapa usaha dalam pemutusan kebijakan terhadap pengungsi Rohingya yang telah dilakukan oleh pemerintah, diantaranya, pertama, penguatan koordinasi antara pemerintah daerah, khususnya aceh dan pemerintah pusat. Hal ini didasarkan fakta bahwasannya provinsi aceh menampung jumlah pengungsi Rohingya yang sangat banyak, yakni sejumlah 1000 lebih pengungsi. 

Koordinasi ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang diwakili oleh kementrian politik, hukum, dan hak asasi manusia dengan organisasi regional dan internasional seperti ASEAN dan UNCHR. 

Selain itu, pemerintah Indonesia juga berupaya untuk mengembalikan pengungsi Rohingya ke negara asalanya dengan membuat pemukiman tersentral dengan kriteria tidak terlalu dekat dengan pemukiman masayarakat, tetapi masih dalam ranah akses keterjangkauan kebutuhan dasar dan keamanan. Selanjutnya, mendorong Kementerian Luar Negeri untuk meningkatkan upaya diplomasi dan intervensi secara lebih intensif, terutama melalui partisipasi aktif dalam forum bilateral, regional, dan multilateral, khususnya di dalam forum-forum PBB, guna mengakhiri konflik di Myanmar.

UNCHR atau United Nations High Commissioner for Refugees atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai komisioner tinggi PBB untuk pengungsi tentu berusaha andal dalam menangani pengungsi Rohingya di Indonesia. Perspektif yang positif terhadap kebijakan pengungsi Rohingya di Indonesia diberikan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam rangka Indonesia berhasil menyelamatkan 1.600 pengungsi Rohingya yang tiba melalui perjalanan laut selama berbulan-bulan bahakan melakukan nomaden selama bertahun-tahun dan memberikan perlindungan humanitar kepada mereka. Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951, negara ini tetap menjadi tempat transit bagi pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan dari negara-negara tetangga, seperti Myanmar. 

Dalam hal ini pula, Indonesia juga turut menggaungkan prinsip-prinsip atau kebiasaan yang tertera dalam hukum humaniter internasional. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah merupakan realisasi Responsibility to Protect (R2P) yang mana prinsip tersebut dapat dimaknai sebagai prinsip yang dirancang untuk mencapai prinsip intervensi humanitar dalam berbagai negara, termasuk Indonesia. Meskipun intervensi humanitar tidak telah diberlakukan di Indonesia, ada peluang yang mungkin akan diberikan jika terjadi kejahatan sosial yang serupa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun