Seringkali sebagai mahasiswa studi agama atau perbandingan agama, kami, disindir dan terasa disudutkan oleh yang kurang mafhum pada persoalan sensitif, agama salah satunya. "Kamu belajar perbandingan agama, ya, lah buat apa? Agama kok dibanding-bandingkan segala?"
Memang dari segi istilah nama jurusan "Perbandingan Agama" agak kontroversial di telinga. Karena, kesannya perbandingan atau comparative (seringkali) mengacu pada mana hal yang baik, lebih baik, dan terbaik. Atau mana yang buruk, lebih buruk, dan paling buruk. Maka tak heran jika dikaitkan pada isu agama orang awam akan berpikir seolah "agama mana yang paling baik dan paling buruk?". Tapi benarkah seperti itu maksud dari istilah perbandingan agama?
Dengan senang hati, saya jawab tentu saja tidak begitu kawan. Sebelum menaruh prasangka pada apa yang kita tidak tahu, kita harus cari tahu dulu asal muasal dari mana Ilmu Perbandingan Agama dan peristilahannya muncul.Â
Istilah itu muncul melalui proses panjang yang dipelopori oleh Max Muller, sebagai bapak studi agama, yakni: Religionswissenschaft [re.li.gi.on.swi.sen.khaf]. Istilah Ilmu Agama (Religionswissenschaft) yang hadir pada abad 19 tidak sama dengan kajian Teologi atau Filsafat Agama.Â
Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu yang mempelajari AGAMA sebagai sebuah sistem keyakinan, peribadatan, dan kelembagaan agama secara ilmiah dengan pendekatan holistik. Makna perbandingan di sana bukan berarti membandingkan aspek "agama yang benar" atau "agama yang salah". Jadi maksud perbandingan disana mengacu pada berbagai teori yang digunakan untuk melihat atau mengkaji fenomena agama dengan pendekatan yang tidak satu (multi-approach).
Singkatnya seperti ini, agama itu kan adalah aspek cair yang mampu menembus banyak dimensi, bisa politik, budaya, media, sosial, gaya hidup, psikologi dan perorangan sebagai manusia. Lalu apa pengertian agama dari sudut pandang studi agama?
Nah, di sini masalahnya. Sebab tidak ada definisi tunggal yang komprehensif tentang agama itu apa (Elisabeth Nottingham), maka studi agama atau perbandingan agama hanya mendeskripsikan fenomena agama dengan beragam pendekatan. Jadi secara keilmuan, studi agama tak mampu berdiri sendiri. Ilmu humaniora lain pun kami pelajari seperti sosiologi, psikologi, antropologi, fenomenologi, cultural studies, filsafat, sejarah, pokoknya hampir semua yang menyangkut dengan agama kita kaji dibangku kuliah.
Adapun Joachim Wach bilang yang dideskripsikan oleh ilmu agama itu ada pada level "Manifestasi Pengalaman Keagamaan". Emang Levelnya apa aja?Â
Level 1: Inti Agama itu ialah mengakui akan Eksistensi Yang Maha Angung (Tuhan) [Hans Kung].
Level 2: Pengakuan akan hadirnya Tuhan akan melahirkan sebuah pengalaman keagamaan (Religious Experience) bagi tiap insan.
Level 3: Religious Experience yang dirasakan tiap orang itu akan hadir dalam beragam bentuk (manifestasi) bisa dalam ekspresi, ide, perbuatan, simbol, dan sebagainya.
Level 4: Hasil manifestasi yang beragam itu diolah dan dikategorikan oleh ilmuwan studi agama. Misal, Joachim Wach yang mengklasifikasi agama itu hadir dalam tiga bentuk: pikiran (idea), perbuatan (action), dan fellowship. Atau tujuh dimensi dari Ninian Smart, dan sebagainya.
Level 5: Memberikan contoh atau melihat fenomena berdasarkan klasifikasi yang ada.Â
Jadi makna perbandingan yang diasumsikan orang-orang tentu keliru, yaa. Intinya Ilmu Perbandingan Agama (Religionswissenschaft)Â semata-mata hanya mencoba memahami lebih dalam agama-agama serta fenomena-fenomenanya secara saintifik, serta mensintesis hasil pemahaman itu pada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Mengkaji agama apa adanya, bukan bagaimana agama seharusnya.Â