Mohon tunggu...
Muhsin Nuralim
Muhsin Nuralim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at UIN Sunan Kalijaga in Religious Studies | English Tutor | Bibliophile

Menulis untuk belajar memahami perspektif lain dan menghargai keberagaman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

"Hidup adalah Sebuah Perjalanan" Katanya, tapi ke Mana?

18 Maret 2021   09:47 Diperbarui: 18 Maret 2021   11:31 2060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalian pernah dengar kan slogan life is a journey, (Hidup itu adalah sebuah perjalanan)? Tapi jika memang hidup ini adalah sebuah perjalanan, sebetulnya kita sedang jalan ke mana?

Apakah setiap langkah yang kita pijak dan waktu yang mengalir hanya sebatas penghantar menuju gerbang kematian? Atau, yasudahlah asal kita bisa hidup bahagia, tenang dan puas di jalan hidup masing-masing?

Terlepas pemaknaan 'perjalan hidup' itu, tentu saban insan memaknainya sesuai kehendak. Pemaknaan hidup yang berbeda ini menjadikan tingkah laku seseorang beragam, salah satunya. Belakangan, makna perjalan hidup ini akhirnya saya temukan lewat kaca mata tasawuf.

Secara definitif, tasawuf memiliki banyak makna seperti suf (barisan), suf (kain wol), hingga ke bahasa Yunani sophos (hikmat). Tidak jelas siapa tokoh yang memberikan nama tasawuf ini sebetulnya. Nama itu (tasawuf) disematkan oleh orang-orang kepada mereka yang hidup sederhana, zuhud, dan terus berusaha membersihkan jalan spiritual mereka untuk sampai pada pengetahuan tentang Tuhan.

Kenapa perjalanan hidup ini rasanya lebih pas dipandang dari sudut pandang tasawuf?

Saat saya berusia sekitar tujuh tahun, sendirian berkaca di depan cermin, tiba-tiba pikiran ini jauh melayang mempertanyakan semesta, langit, bumi, diri sendiri, dan Tuhan. Pada finalnya saya bertanya pada diri "Kenapa harus ada kehidupan di dunia ini?"

Pertanyaan itu lama terkubur dalam pikiran bawah sadar, secara saya sendiri pun merasa takut terhadap pertanyaan yang diajukan itu. Tapi, pada suatu diskusi jawaban tak disangka muncul.

 "Karena Tuhan ingin dikenal, Dia menciptakan kehidupan dan Dia cinta kepada mahluk yang mau mengenal-Nya"

Jleb!!! Seperti ada guncangan; misteri itu akhirnya pecah! Pertanyaan kecil yang hampir membusuk itu perlahan terurai menjadi rangkaian mozaik yang mulai masuk akal. Benang kusut yang mulai tunduk untuk dirapihkan. Alhamdulillah...

Kita coba bayangkan secara sederhana saja, misalkan hanya ada dirimu di dunia ini, sendirian! Siapa yang akan memanggilmu 'Ujang' atau 'Eti' atau 'John' atau 'Joko'? Nama biasanya memang diberi oleh orang lain; anak oleh orangtua, julukan oleh teman dekat. Dan, memang sudah tugas manusia untuk memberikan 'label' tertentu pada setiap hal agar mampu dipahami oleh akalnya.

Tapi bukan berarti Tuhan membutuhkan mahluk. Itu kesimpulan yang sangat keliru tentu saja. Ilustrasi di atas sebagai jembatan untuk kita lebih mudah memahami apa yang terjadi di sini.

Jadi perjalanan hidup dalam konteks tasawuf adalah perjalan ke hadirat Tuhan (thariqot). Karena Tuhan cinta kepada mahluk yang mau mengenal-Nya, maka cara mengenal Tuhan dalam tasawuf ada dua cara.

Pertama, kita sebagai manusia melakukan latihan spiritual (riyadhah) untuk sampai pada stasiun tertentu (maqomat). Maqamat merupakan sebuah jalan spiritual yang diusahakan seorang hamba untuk mendekatan diri kepada Allah SWT secara maksimal. Latihan untuk menaklukan hawa nafsu dari sifat-sifat tercelanya.

Dalam pandangan para sufi [orang yang menempuh jalan menuju Tuhan] sendiri, maqomat memiliki cabang atau tingkat dengan jumlah berbeda. Al-Ghazali mengemukakan ada sepuluh tingkatan maqam seorang sufi, yaitu: Taubat, Sabar, Sukur, Harap, Takut, Zuhd, Cinta, 'Asyaq, Ansu dan Ridha. Sedangkan Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma' menyebutkan enam hal: al-taubah, al-wara', al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.

Kedua, pengetahuan tentang Tuhan itu hadir kepada setiap hamba, sesuai dengan yang Dia kehendaki (ahwal). Kita tak bisa menolak ketika Tuhan telah memberikan pengetahuan atas dzat-Nya. Itu merupakan hak perogatif Tuhan atau sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah (divine flashes), yang biasa disebut "lama'at".

Ketika Tuhan telah 'menampakkan' dzat-Nya pada seorang hamba. Maka sebagian manusia menimbulkan reaksi yang berbeda atas responnya. Ada yang merasakan sensasi penuh kerinduan, penuh pengharapan, penuh ketakutan, penuh kehinaan. Setiap orang memiliki kapasitas yang tidak sama.

Maqomat bersifat diusahakan oleh si penempuh jalan. Beda halnya dengan ahwal yang datang secara spontan. Biasanya pengetahuan terhadap Tuhan dengan jalur maqomat bersifat permanen, sedangkan untuk ahwal pengetahuan itu sewaktu-waktu bisa menguap, hilang (sementara). Garis finish dari kedua jalur perjalanan hidup ini adalah mendapatkan makrifat: Pengetahuan yang paripurna atas Tuhan.

Sudah tugas kita selaku orang beriman untuk mengenal Tuhan semaksimal mungkin. Tidak heran, tatkala bayi hadir menghirup aroma hidup. Ayah langsung berbisik di telinga si bayi dengan Adzan lembutnya, atau pada tradisi islam ilmu yang wajib dimiliki pertama kali adalah ilmu tauhid. Karena akan sangat sia-sia belaka rasanya ketika kita beribadah tapi kita segan dan tak mau mengenal siapa yang sedang kita sembah. Kita tak mau mengenal siapa yang tengah hadir senantiasa di hadapan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun