Mohon tunggu...
Muhsin Labib
Muhsin Labib Mohon Tunggu... -

Praktisi Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi terhadap Konstitusi

14 Oktober 2013   21:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:32 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus korupsi ketua lembaga paling terhormat di negeri ini telah menciptakan rontoknya trust, yang merupakan basis utama kontrak sosial.

Korupsi secara “trotoar” adalah pencurian, dan pelakunya adalah pencuri atau maling, perampok. Maling adalah subjek yang melakukan agresi terhadap hak orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dikakukan terhadap objek personal mapun impersonal. Maling dengan objek impersonal dapat dianggap sebagai enemy of the state, karena luasnya area kerusakan (corruption) yang diakibatkannya. Karenya, koruptor bisa dianggap sebagai pelaku perusakan strukural dan teroris ekonomi.

Peristwa moral paling memalukan itu membuat kita curiga terhadap setiap pejabat publik dengan banyak asumsi; 1. yang terbukti korupsi alias sial, 2. yang belum (tidak) terbukti korupsi alias beruntung, 3.yang belum (tidak) sempat korupsi alias menunggu kesempatan korupsi, 4. yang tidak tahu cara korupsi alias korupsi secara moral. Pembagian asumstif ini tidak bersifat ekslkusif sehingga bisa dikembangkan sesuai perspektif masing-masing orang.

Harta dan tahta adalah dua hal yang hingga saat ini dipandang (korelatif) sebagai tema yang cukup menarik untuk diperbincangkan. Mengapa? Ya, karena tahta dan harta sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif, bahkan disepakati bahwa pemegang tahta cenderung sewenang-wenang dan menyalahgunakannya.

Kebenaran adalah nilai kesempurnaan intelektual. Secara primer hanya pikiran yang berhak menyandang predikat benar dan salah. Karenanya, “pikiran itu benar’ atau “ide itu salah”, menjadi ungkapan yang tepat. Sedangkan kebaikan adalah predikat primer bagi sebuah rasa atau sikap psikis. Karenanya, “berani itu baik” dan ‘kikir adalah buruk’ menjadi pernyataan yang tepat. Setiap perbuatan, sebagai aktualisasi dari pikiran atau rasa, dianggap baik atau buruk berdasarkan predikasi sekunder. Artinya, perbuatan ‘mencari tahta’ dan ‘mencari duit’, misalnya, pada mulanya adalah aksi yang bebas dari nilai baik dan buruk.

Semestinya tahta, sebagai akibat ‘mencari kuasa’, dan harta, sebagai akibat ‘mencari harta’, dipandang sebagai bersifat netral dan bebas nilai. Tahta, sebagaimana ketidakberkuasaan, bisa baik dan bisa pula buruk, demikian pula harta dan kemiskinan. Baik dan buruknya sebuah perbuatan sangat ditentukan oleh sejumlah syarat dan faktor, seperti subjek pelaku, tujuan, cara, sarana, bahkan tempat dan waktu. Kemiskinan sebagai lawan artifisial dari harta bisa menjadi baik dan bisa pula menjadi buruk. Kemiskinan yang melahirkan energi negatif, seperti kedengkian, putus asa dan kebencian adalah sesuatu yang buruk. Harta yang melahirkan kedermawanan, rasa syukur dan pengabdian, tentu adalah sesuatu yang baik, dan harus dicari.

Harta dan tahta adalah ujian berat. Bila ia dikendalikan secara benar dan baik, juga dirasakan manfaatnya oleh orang lain yang berada di bawah harta dan tahtanya, maka pemiliknya adalah orang yang baik dan benar. Itu berarti, harta dan tahta telah jatuh ke tangan orang yang tepat. Itulah rezeki yang patut disyukuri sekaligus dinikmati secara proporsional. Kemiskinan juga bisa menjadi rezeki bila ia mampu melahirkan energi positif, seperti tawakal dan semangat bertahan hidup. Karenanya ,koruptor layak dimiskinkan dam semua hartanya disita dan dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat.

Bila seseorang menerjang sebuah aturan dan menghalalkan segala cara untuk mencari tahta, maka perbuatan ‘mencari’ itu adalah buruk dan ‘tahta’ yang didapatnya juga menjadi buruk. Orang-orang yang membantunya meraih tahta demikian pun bisa dianggap sebagai kontributor sebuah perbuatan buruk. Korupsi di MK sulit dianggap sebagai prilaku terpenggal. Tanpa kelonggaran atau bahkan “lampu hijau” (alias isyarat TST), korupsi tidak akan terjadi. Kalaupun sekarang terungkap, maka itu bisa dianggap sebagai “bad time” atau sial.

Korupsi juga bukan jenis kejahatan biasa, karena ia bisa meruntuhkan trust rakyat. Tanpa trust dari rakyat, negara menjadi mandul dan rakyat menjadi liar. Ia harus diperlakukan khusus dan dianggap sebagai kejahatan multidimensional. Penunjukan lembaga pengawas apapun tidak akan efektif, mana kala otonomi moral belum tertanam dalam jiwa setiap individu baik pejabat maupun rakyat. Korupsi adalah musuh utama bersanding dengan ekstremisme.

Pelaku korupsi, berdasarkan hukum Butterfly effect, dapat dianggap sebagai pembunuh missal, penyebab aneka petaka social, seperti penyakit, kelaparan, kemiskinan, kebodohan bahkan segala jenis kejahatan yang secara kausal adalah akibat dari perampasan hak publik.

Korupsi di lembaga yg paling dekat dengan atap langit adalah Mahkamah Konstitisusi, Ketuanya adalah representasi dari konstitusi dan UUD yang merupakan intisari dari mozaik pusaka generasi demi generasi sejak institusi bernama Indonesia dipancang. Korupsi di lembaga demikian hanya bisa dianggap sebagai “korupsi terhadap konstitusi”.

Muhsin Labib
Praktisi Filsafat dan Inspirator Wahana WoS (Wisdom of Success)

(Dimuat dalam Majalah Mingguan Sindo Weekly edisi terbaru dan diedit seperlunya)

Baca Tulisan lainnya :

Takbir : Tabrakan di Udara Malam Lebaran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun