Menjelang puasa dan lebaran bagi seluruh umat muslim di dunia merupakan saat-saat yang sangat penuh nilai dan kebahagian. Setidaknya segala kesulitan menjalani kehidupan ini untuk sementara waktu diliburkan saja sehingga kali ini tidak bebas membebani setiap orang. Setiap orang sibuk menyiapkan sambutan untuk bulan Ramadhan dan hari raya Fitri. Semua orang bahagia. Tapi, tentunya jangan sampai perayaan kebahagian semacam ini ternoda dengan ulah para, menurut istilah saya, oknum-oknum tak bertanggungjawab dalam tubuh umat muslim itu sendiri. Jangan sampai persoalan tentang menentukan hari di mana kebahagian itu jatuh menjadi persoalan besar dan dibesar-besarkan. Karena lain cara, metode dan kepercayaan, sebagai konsekuensi hari kebahagiaan itupun boleh ikut berlainan, meski kesepakatanpun bisa dicapai manakala metode yang berbeda itu kebetulan merujuk kepada hari yang sama. Yang satu lebih awal, yang lain lebih akhir, meski substansi dari hari itu sama artinya bagi mereka: merayakan hari kebahagian dan kemenangan. Selama perbedaan itu tidak keluar dari mainstream fikih Islam tidak ada masalah apapun. Sebenarnya kalau semua bisa hidup berdampingan, meski berbeda dalam menentukan hari kemenangan, persoalan ini tidak berpotensi konflik sama sekali, dan dengan begitu semua tetap bisa merayakan hari kebahagiaan itu menurut kesimpulannya masing-masing. Karena itu, segala bentuk kecurigaan, persaingan dan perseteruan dalam menyikapi perbedaan itu harus disingkirkan.
Kecurigaan, persaingan dan perseteruan itu jangan sampai berlanjut pada sikap-sikap yang tidak toleran terhadap perbedaan itu. Intoleransi kalau dibiarkan akan merambah ke mana-mana, dan boleh jadi bisa sampai pada sebuah klaim tentang kepastian surga dan neraka: sebuah klaim yang semestinya adalah hak prerogatif Tuhan. Meski bagi masyarakat agamis garis surga dan neraka pada umat manusia dapat diidentifikasi secara jelas antara ketulusan dan pembangkangan terhadap Tuhan, tapi ketulusan itu sendiri tidak selalu mudah untuk diidentifikasi dalam sebuah garis penyembahan dan peribadatan yang ditujukan kepada Allah. Apa sikap Tuhan kira-kira terhadap mereka yang berpuasa dan berlebaran di hari yang salah dengan penuh ketulusan dan terhadap mereka yang berpuasa dan berlebaran dihari yang tepat tapi dengan penuh kesombongan dan ingin mendapatkan pujian dari orang lain, tidak lillahi ta’ala. Akankah ketulusan itu mengganti kesalahan itu, dan sebaliknya akankah kesombongan itu merusak ketepatan itu? Sekali lagi secara teori, yang pertama boleh dimaafkan, dan yang kedua, boleh ditolak, tapi bagaimanapun juga tidak mudah menentukan ketulusan dan kesombongan itu. Ketulusan adalah suasana hati seseorang, yang tidak ada seorangpun tahu kecuali dirinya, meski boleh jadi pada beberapa kasus kita dapat menangkap indikasinya.
Saya sebenarnya setuju-setuju saja klaim bahwa hari puasa dan hari lebaran yang berbeda dengan kita adalah salah, dan makanya tidak sah. Karena bahwa awal puasa dan hari lebaran Fitri terjadi dua kali dalam setahun jelas tidak dapat dibenarkan. Posisi bulan di awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tidak pernah mengikuti keyakinan seseorang maupun kelompok tertentu, atau bahkan mengikuti semua ragam kenyakinan masyarakat. Posisi bulan tidak pernah peduli dengan apa yang kita perdebatkan. Bulan pada posisi awal dan akhir Ramadhan hanya terjadi sekali setahun. Dengan begitu, hanya salah satu dari sekian perbedaan pendapat itu yang sungguh tepat, tidak semuanya. Jadi, dari silang pendapat yang mungkin terjadi, kemungkinannya adalah kita yang benar dan mereka yang salah, dan atau sebaliknya kita yang salah dan mereka yang benar. Pilihan bahwa pendapat kita dan mereka sama-sama benar tidak rasional. Pilihan bahwa kita dan mereka salah boleh saja terjadi, asalkan ada kemungkinan ketiga. Ketika kemungkinan hanya berkisar pada dua saja, maka kebenaran dan kesalahanpun harus di antara dua pendapat saja. Jadi, sebenarnya memang sudah merupakan tuntutan kaidah logika berpikir bahwa manakala saya berpendapat bahwa lebaran itu, misalnya, jatuh pada hari senin, sudah barang tentu pendapat yang mengatakan bahwa lebaran jatuh bukan pada hari senin tidak dapat dibenarkan secara bersamaan menurut pikiran kita. Dan sudah semestinya pula perilaku ibadah yang tidak berdasarkan pada kebenaran akan dinilai tidak sah. Tapi, di sini kita harus waspada bahwa ketidaksahan perilaku ibadah tadi baru sebatas pikiran kita, bukan pikiran mereka. Karena menurut pikiran mereka, justru perilaku ibadah kita yang tidak sah, karena, masih menurut mereka, ibadah kita tidak sesuai dengan kebenaran yang mereka yakini. Karenanya kita tidak sah menurut mereka.
Nah, kalau sudah begini bagaimana jadinya? Untuk sebagian barangkali isu pluralisme bisa mengobati penyakit ini: saling klaim kebenaran dan ketidaksahan. Kalau dulu pluralisme pada dataran beda agama, kemudian pada beda mazhab dalam satu agama, dan barangkali ke depan pada beda pendapat dalam satu mazhab, mau dianggap bisa menyelesaikan masalah dengan konsepnya yang mengusung “kebenaran untuk semua”, sepertinya solusi yang mau diberikan tidak manusiawi dan sangat menindas. Tidak manusiawi karena kalau saya mengganggap keyakinan saya benar, kenapa keyakinan yang sungguh-sungguh berlawanan dengan saya harus ikut dibenarkan juga. Bukankah posisi bulan hanya tejadi sekali dalam setahun? Kenapa dua pendapat tentang satu posisi bulan harus dianggap sama-sama benar? Menindas karena klaim saya bahwa benar dan yang lain salah harus dicap sebagai sebuah kejahatan sehingga sayapun ketakutan berbicara kebenaran. Bahkan saya sendiri begitu yakin bahwa ada sesuatu yang sering terlewatkan oleh para penganut paham pluralisme sehingga sesuatu terabaikan begitu saja. Sesuatu yang maksud itu adalah bahwa para penggiat pluralisme tentu tidak bisa serta merta menerima pendapat anti pluralisme sebagai kebenaran juga. Kalau mereka mau konsekuen dengan keyakinan mereka, saya kira Anda bisa meneruskan sendiri jalan ceritanya ke arah mana pluralisme akan berakhir secara teori.
Terus bagaimana dengan perbedaan ini? Seperti dikatakan di muka, bagi saya sah-sah saja dengan perbedaan dan klaim-klaim itu. Biarlah perbedaan itu mengalir alami, tidak perlu disikapi sinis, apalagi dimusuhi. Saya sebenarnya berpikir sederhana saja. Saya setuju bahwa memang sebuah klaim kebenaran dan ketidaksahan tidak dapat dihindarkan terhadap pendapat yang berbeda. Tapi, tidak arif dan bijaksana juga kalau keniscayaan bahwa kebenaran itu harus tunggal kalau harus dikorbankan demi meredam kebencian dan permusuhan antar beda keyakinan. Solusi yang barangkali lebih pas untuk diusulkan adalah sikap toleransi. Daripada mau memberangus hak klaim kebenaran keyakinan masing-masing, mengedepankan sikap toleransi dalam menyikapi perbedaan jauh lebih arif dan bijaksana. Toleransi tidak berarti harus mengakui benar untuk pihak yang berseberangan, tidak berarti tutup mulut dari kesalahan orang lain, dan tidak berarti pula menjual kebenaran demi menciptakan kedamaian dalam sebuah masyarakat plural. Toleransi adalah bersikap lapang dada dalam melihat dan menerima perbedaan. Toleransi adalah sikap saling menghormati, saling bertukar pikiran, bukan bertukar tinju, dalam suasana penuh kedamaian. Seandainya kata sepakat tidak dapat dicapai, bukankah sepakat untuk tidak sepakat dan sepakat untuk saling menghormati jauh lebih baik daripada saling memaksakan.
Tapi, klaim kebenaran juga tidak boleh melewati batas kemampuan akal kita sendiri. Ada batas-batas tertentu di mana hanya Tuhan yang boleh berkomentar. Dalam kaitannya dengan bahasan ini, tentang klaim surga dan neraka termasuk klaim yang hanya boleh keluar dari Sang Maha Pengadil, Allah. Alasannya sederhana saja. Untuk masuk surga dan neraka tidak cukup dengan apakah seseorang itu benar atau salah, sah atau tidak. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, dan hal ini tidak ada yang tahu kecuali Tuhan. Hal-hal yang dimaksud adalah pertama, ketulusan. Ketulusan merupakan sesuatu yang sangat penting kalau mau berbicara tentang siapa yang masuk surga. Seperti dikemukan di depan, kiranya apa sikap Tuhan terhadap ibadah yang keliru tapi dilaksanakan dengan tulus, dan terhadap ibadah yang tepat tapi dilaksanakan dengan kemunafikan (pembangkangan terhadap kebenaran yang disimpan dalam hati). Dalam kajian yang lebih dalam hal ini menarik untuk didiskusikan lebih jauh, tapi sepintas akal kita dapat setuju bahwa ketulusan tentu akan diutamakan di atas ketepatan, tentu dalam hal-ihwal surga dan neraka. Tidak menutup kemungkinan ketulusan dapat menyelamatkan seseorang, meski sekian lama keliru dalam beribadah. Dan sebaliknyapun boleh jadi berlaku. Ketepatan beribadah malah menjadi bumerang manakala dilaksanakan dengan penuh kemunafikan. Dan ketulusan seseorang ini adalah suasana hati yang sampai sekarang masih merupakan misteri bagi kita, dan hanya Dia yang Mahatahu. Meski demikian, tidak boleh lantas kita berpikir pragmatis bahwa kalau begitu cukup tuluskan niat kita, tanpa perlu pedulikan tentang kebenaran itu sendiri. Karena mencari kebenaran tetap saja dituntut oleh akal dan oleh Tuhan sendiri. Dan bagaimanapun juga orang yang benar dan salah tidak akan sama kedudukannya di sisi Allah swt. Kedua, kita saja sebagai manusia sering memaafkan orang lain bila melakukan kesalahan yang tidak disengaja, kesalahan karena minimnya pengetahuan, kesalahan karena tidak pernah tahu yang benar, kesalahan yang telah dicapai setelah pengembaraan kemana-mana mencari kebenaran. Di hadapan kesalahan semacam ini, hati kita luluh, tak berdaya untuk marah dan benci, hati kita lebih memilih kata maaf daripada menghukum. Sebuah usaha untuk selalu mencari kebenaran, meski tidak selalu berhasil, patut untuk dihargai, bukan malah dicurigai. Nah, kalau kita sebagai manusia seperti itu sikap kita, kira-kira apa sikap Tuhan terhadap permasalahan yang sama? Apakah Tuhan akan terus menaruh dendam-Nya terhadap segala upaya pencarian terhadap kebenaran tapi masih gagal di ujung jalan? Semua yakin bahwa Tuhan jauh lebih arif dari kita. Karena hanya Tuhan yang benar-benar tahu apakah seseorang itu telah sungguh-sungguh mencari kebenaran dan lalu gagal di ujung pengembaraannya (kematian), yang lantas layak mendapatkan pengampunan dari-Nya, atau selama ini justru berleha-leha dan memandang remeh tentang persoalan keyakinan benar dan salah, tidak ada upaya apapun, sehinggap pengampunan dari-Nyapun tidak layak, maka klaim surga dan neraka hanya boleh divonis oleh Sang Mahatahu.
Karena itu sebagai sebuah kesimpulan, saya ini mengatakan ini: boleh saja kita mengklaim kebenaran untuk kita dan kesalahan bagi yang berbeda dari kita, lalu klaim ini dilanjutkan dengan klaim bahwa apa yang kita lakukan sah, dan lainnya tidak sah. Sampai di sini oke. Tapi, untuk selanjutnya apakah yang sah itu surga dan tidak sah itu neraka, adalah pertanyaan yang hanya boleh dijawab oleh Tuhan. Karena mungkin sah tapi neraka, mungkin tidak sah tapi surga, mungkin sah tapi surga, dan mungkin tidak sah tapi neraka adalah urusan Tuhan. Karena itu silahkan mereka yang berbeda pendapat saling mengklaim dirinya benar dan yang lainnya salah, tapi untuk urusan yang satu ini: surga dan neraka, jangan mudah dikeluarkan sebuah klaim, kecuali dapat bocoran dari Tuhan. Tambahan lagi, klaim-klaim ini tidak perlu dibumbui dengan tukaran tinju, tapi akan lebih bermanfaat diberi aroma tukaran pikiran saja. Kalaupun tidak sepakat tentang satu hal, ada satu hal yang harus disepakati bersama sebagai umat manusia, yaitu kehidupan saling menghormati dalam konteks perbedaan harus dijunjung tinggi. Kerena hidup berbeda pendapat dengan usaha pemikiran masing-masing jauh lebih baik dari hidup seragam dengan dipaksakan, dan meski harus terus diupayakan bahwa hidup seragam dengan usaha masing-masing, tanpa unsur paksaan, jauh akan lebih baik lagi. Bukankah apabila seluruh para nabi sejak Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad saw. bertemu pada satu masa dan satu masyarakat tidak akan pernah terjadi perselisihan. Pastinya demikian, karena keyakinan dan ketulusan mereka sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H