Mohon tunggu...
Muhammad Setiawan Kusmulyono
Muhammad Setiawan Kusmulyono Mohon Tunggu... -

hanya sekedar opini, untuk berbagi, dan siapa tahu bisa menjadi inspirasi..

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menakar Kebijakan Penghapusan Tiket Murah Pesawat. Reaktif atau Solutif?

9 Januari 2015   13:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:30 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publik, termasuk saya di dalamnya, terhenyak (terkejut), dengan fakta-fakta yang sungguh miris mengiris kenyataan dunia penerbangan di Indonesia. Berbagai informasi baru yang mencengangkan (mengagetkan) muncul selepas berita duka yangmenimpa AirAsia. Tengok saja laman-laman online yang menampilkan pernyataan-pernyataan jajaran plat merah, mulai dari Kementerian Perhubungan, BMKG, AirNav, dan sebagainya.

Fakta-fakta ini yang kemudian membuat saya secara pribadi juga bingung. Masa pesawat mau disamakan seperti bajaj, yaitu ”Hanya Tuhan dan Pilot (Sopir Bajaj) saja yang Tahu kemana dia Belok”. Fakta ini begitu nyata karena hingga hari ke-11 (Rabu, 7 Januari 2015), badan pesawat belum dapat ditemukan. Korban dan serpihan pun ditemukan pada hari ketiga pasca bencana. Itupun, mungkin berkat bantuan Tangan Tuhan yang mendengar keikhlasan doa keluarga dan sahabat, bukan karena alat canggih yang dimiliki negara.

Lalu kepada siapa kita harus bergantung? Fakta tersebut menandakan, bahwa sekali kita lepas landas dengan si burung besi, maka hilanglah radar atas diri kita. Wong, ELT yang dimiliki pesawat saja tidak berfungsi, dan ternyata-nya, tidak ada cadangan alat pemancar sinyal lain jika ada sesuatu yang berubah dari flight plan. Jadi, betulkan? Bahwa hanya Tuhan dan Pilot (mungkin Kopilot juga) yang tahu kemana Pesawat akan Belok.Dan hal ini, tidak berlaku untuk AirAsia saja, melainkan banyak kasus lainnya, termasuk misteri entah-kemana-nya si MH-70.

Sayang Sejuta Sayang

Sayang sejuta sayang makin dilayangkan pada pemilik otoritas penerbangan. Tanpa merujuk kepada akar masalah, kebijakan-kebijakan langsung diambil dalam masa yang dapat dikatakan penuh emosi ini, baik emosi positif untuk mencoba agar jangan tiada terulang lagi kejadian ini, serta emosi buruk untuk menunjukkan kehadiran pemerintah dalam setiap situasi.

Salah satu kebijakan reaktif yang saya cermati adalah rencana Menhub untuk membatasi harga tiket murah pada level 40%. Silakan kunjungi berbagai situs berita untuk mengkonfirmasi fakta tersebut. Alasannya adalah agar maskapai memiliki bantalan modal yang cukup untuk mengelola standar keamanan dalam penerbangan yang dilakukan. Karena nomor satu dalam dunia penerbangan, adalah keselamatan (yang ini saya setuju).

Namun, dalam pendekatan bisnis, tentunya ini menjadi suatu hal yang tidak kompetitif. Bukan berarti jadinya saing-saingan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini akan memanjakan maskapai-maskapai yang berbiaya sedang, yang selama ini ini, bahkan dengan tarif normal, melayani konsumen penerbangan layaknya penumpang bus di terminal AKAP (antar kota antar provinsi). Silakan lihat kembali berbagai berita delay-batal-dan bahkan jadwal penerbangan yang terbang lebih cepat dari jam seharusnya.

Untuk mempermudah perbandingan, maka saya menggunakan perbandingan harga tiket dari 3 maskapai, mulai dari yang berbiaya rendah (Low Cost Carrier), berbiaya sedang, dan penerbangan layanan penuh (full-service). Perbandingan akan menggunakan model pemesanan H-2, H-7, dan H-60 sebelum keberangkatan. Karena ini adalah fakta dan memang tersedia informasinya di website, dan tidak ada tujuan negatif, maka nama maskapai tidak akan disamarkan. Data diambil dari situs traveloka.com.

DOMESTIK

Harga Tiket Jakarta (CGK) – Surabaya (SUB), tidak PP

Penerbangan di Weekend, Jam tidak diperhitungkan

(dilihat terakhir pada 7 Januari 2015 sebelum pukul 07.00)

Maskapai

H-2

H-7

H-60

H-365

QZ

381.300

381.300

381.300

533.900

JT

440.600

473.400

538.300

440.600

GA

696.800

696.800

696.800

Tidak tersedia*

LUAR NEGERI

Harga Tiket Jakarta (CGK) – Singapura (SIN), tidak PP

Penerbangan di Weekend, Jam tidak diperhitungkan

(dilihat terakhir pada 7 Januari 2015 sebelum pukul 07.00)

Maskapai

H-2

H-7

H-60

H-365

QZ

238.822

238.822

543.434

679.916

JT

459.928

459.928

459.928

459.928

GA

3.136.764

3.136.764

1.017.208

Tidak tersedia*

*tidak tersedia di situs traveloka.

Jika dilihat di atas, lazim kita menemukan harga tiket seperti yang tersemat dalam label QZ. Murah dan bahkan jauh lebih murah dibandingkan naik kereta api yang membutuhkan waktu tempuh lebih panjang dan tiket yang lebih mahal. Bahkan, harga ke luar negeri jauh lebih murah dibanding ke domestik.

Namun yang perlu diperhatikan, tiket-tiket tersebut pasti dilabeli Promo. Label tiket promo pun tidak serta merta tersedia untuk seluruh kursi, melainkan hanya sebagian kecil kursi. Sisa kursi yang lain? Tentunya harga normal, bahkan mungkin di atas normal bagi yang mendadak harus berangkat di hari itu juga.

Kekhawatiran Kemenhub mengenai harga yang berada di bawah harga standar tentunya tidak perlu dirisaukan, karena sebenarnya harga-harga yang berada di bawah standar tersedia dengan terbatas. Jumlah harga kursi dengan nilai di atas normal pun jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan kursi promo yang disediakan. Tengok saja Hot Seat (kursi berselimut merah) milik AirAsia atau Green Seat (berselimut hijau) milik Citilink. Tidak hanya itu, sudah lazim para maskapai kemudian mengenakan biaya tinggi untuk inflight service, semacam makanan dan sejenisnya serta bagaimana penumpang dapat memilih kursi, semua ada label harga yang berbeda.

Jadi, secara hemat saya, kunci utama adalah Transparansi Alokasi Anggaran dari tiap maskapai, sehingga hal-hal yang menjadi kunci keselamatan tetap diprioritaskan dengan standar tertinggi. Tidak hanya itu, standar keselamatan pun harus juga diterapkan di pengelola lalu lintas udara. Teknologi terbaru dan unggul harus diutamakan. Jangan sampai hanya selalu mengkambing-hitamkan pihak maskapai, dan kemudian para penumpang yang terkena imbasnya.

Dampak Aturan Kemenhub

Dampak aturan Kemenhub tentu berbuntut panjang. Pertama, kebijakan ini secara tidak langsung akan mematikan industri pariwisata. Mengapa bisa? Selama ini saja, komponen biaya tiket sudah menjadi porsi terbesar bagi para pelancong. Apalagi jika harga distandarkan? Makin sulit bagi para pelancong untuk menjangkau wisata-wisata eksotis yang perlu ditempuh dengan burung besi. Akibatnya? Wisata-wisata jarak jauh tentunya tidak akan diminati lagi. Dan pastinya, pendapatan masyarakat setempat akan menurun drastis karena tiadanya wisatawan yang menghabiskan waktunya disana.

Kedua. Tanpa adanya kesempatan wisata, maka relaksasi dari kepenatan rutinitas makin sulit diwujudkan. Jika ini berlarut, produktivitas para manusia kreatif di Indonesia akan terdegradasi. Akibatnya, indeks harapan hidup menurun, tingkat kebahagiaan menurun, dan membuat produktivitas kerja minim tumbuh.

Ketiga, adanya tiket promo selama ini sangat membantu masyarakat untuk mampu mengelola anggarannya dengan baik. Bayangkan saja, dia mampu memperkirakan perjalanan 8 bulan ke depan dan kemudian mengetatkan anggaran hingga hari keberangkatannya tiba. Tanpa adanya tiket promo ini, mereka akan menjadi lebih boros, dan menganggarkan hal-hal dengan tidak disiplin.

Keempat, dampak tiadanya tiket bersaing ini mungkin akan membuat para perusahaan dengan tiket yang umum menjadi lebih terlena. Saat ini saja, salah satu terminal bandara sudah dikuasai dan dapat dengan mudah mengubah jadwal penerbangan maupun jadwal berangkat dari ruang tunggu. Jadi, Kemenhub pun perlu memerhatikan maskapai-maskapai tersebut, tidak hanya pada maskapai LCC.

Bijak Mengambil Kebijakan

Secara pribadi, saya berharap bahwa kebijakan yang diambil bukanlah kebijakan yang reaktif. Kebijakan yang disusun haruslah menjadi kebijakan yang Generatif, kebijakan bijak untuk menghasilkan solusi jitu penebas akar masalah, bukan solusi singkat untuk menciptakan masalah baru.

Hanya ingin mengingatkan bahwa geografi Indonesia adalah geografi kepulauan, dimana penerbangan dan kapal laut menjadi jantung logistik nasional. Jika tol laut belum mampu dihadirkan, dan karcis penerbangan makin mahal, saya khawatir bahwa dunia Indonesia makin terkotak-kotak, dan hubungan antar pulau makin terpisah.

Sesuatu yang murah, belum tentu murahan. Sesuatu yang mahal, belum tentu penuh kualitas. Pendekatan bisnis mampu menghadirkan nilai tambah tinggi dalam tataran efisiensi, asal tetap mengedepankan keamanan sebagai standar utama kehidupan, dan bukan membuat keuntungan sebagai tuhan. Karena nyawa hanya satu.

*hanya sekedar opini, untuk berbagi, dan siapa tahu bisa menjadi inspirasi..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun