Mohon tunggu...
Muhammad Setiawan Kusmulyono
Muhammad Setiawan Kusmulyono Mohon Tunggu... -

hanya sekedar opini, untuk berbagi, dan siapa tahu bisa menjadi inspirasi..

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menakar Kebijakan Penghapusan Tiket Murah Pesawat. Reaktif atau Solutif?

9 Januari 2015   13:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:30 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tidak tersedia*

*tidak tersedia di situs traveloka.

Jika dilihat di atas, lazim kita menemukan harga tiket seperti yang tersemat dalam label QZ. Murah dan bahkan jauh lebih murah dibandingkan naik kereta api yang membutuhkan waktu tempuh lebih panjang dan tiket yang lebih mahal. Bahkan, harga ke luar negeri jauh lebih murah dibanding ke domestik.

Namun yang perlu diperhatikan, tiket-tiket tersebut pasti dilabeli Promo. Label tiket promo pun tidak serta merta tersedia untuk seluruh kursi, melainkan hanya sebagian kecil kursi. Sisa kursi yang lain? Tentunya harga normal, bahkan mungkin di atas normal bagi yang mendadak harus berangkat di hari itu juga.

Kekhawatiran Kemenhub mengenai harga yang berada di bawah harga standar tentunya tidak perlu dirisaukan, karena sebenarnya harga-harga yang berada di bawah standar tersedia dengan terbatas. Jumlah harga kursi dengan nilai di atas normal pun jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan kursi promo yang disediakan. Tengok saja Hot Seat (kursi berselimut merah) milik AirAsia atau Green Seat (berselimut hijau) milik Citilink. Tidak hanya itu, sudah lazim para maskapai kemudian mengenakan biaya tinggi untuk inflight service, semacam makanan dan sejenisnya serta bagaimana penumpang dapat memilih kursi, semua ada label harga yang berbeda.

Jadi, secara hemat saya, kunci utama adalah Transparansi Alokasi Anggaran dari tiap maskapai, sehingga hal-hal yang menjadi kunci keselamatan tetap diprioritaskan dengan standar tertinggi. Tidak hanya itu, standar keselamatan pun harus juga diterapkan di pengelola lalu lintas udara. Teknologi terbaru dan unggul harus diutamakan. Jangan sampai hanya selalu mengkambing-hitamkan pihak maskapai, dan kemudian para penumpang yang terkena imbasnya.

Dampak Aturan Kemenhub

Dampak aturan Kemenhub tentu berbuntut panjang. Pertama, kebijakan ini secara tidak langsung akan mematikan industri pariwisata. Mengapa bisa? Selama ini saja, komponen biaya tiket sudah menjadi porsi terbesar bagi para pelancong. Apalagi jika harga distandarkan? Makin sulit bagi para pelancong untuk menjangkau wisata-wisata eksotis yang perlu ditempuh dengan burung besi. Akibatnya? Wisata-wisata jarak jauh tentunya tidak akan diminati lagi. Dan pastinya, pendapatan masyarakat setempat akan menurun drastis karena tiadanya wisatawan yang menghabiskan waktunya disana.

Kedua. Tanpa adanya kesempatan wisata, maka relaksasi dari kepenatan rutinitas makin sulit diwujudkan. Jika ini berlarut, produktivitas para manusia kreatif di Indonesia akan terdegradasi. Akibatnya, indeks harapan hidup menurun, tingkat kebahagiaan menurun, dan membuat produktivitas kerja minim tumbuh.

Ketiga, adanya tiket promo selama ini sangat membantu masyarakat untuk mampu mengelola anggarannya dengan baik. Bayangkan saja, dia mampu memperkirakan perjalanan 8 bulan ke depan dan kemudian mengetatkan anggaran hingga hari keberangkatannya tiba. Tanpa adanya tiket promo ini, mereka akan menjadi lebih boros, dan menganggarkan hal-hal dengan tidak disiplin.

Keempat, dampak tiadanya tiket bersaing ini mungkin akan membuat para perusahaan dengan tiket yang umum menjadi lebih terlena. Saat ini saja, salah satu terminal bandara sudah dikuasai dan dapat dengan mudah mengubah jadwal penerbangan maupun jadwal berangkat dari ruang tunggu. Jadi, Kemenhub pun perlu memerhatikan maskapai-maskapai tersebut, tidak hanya pada maskapai LCC.

Bijak Mengambil Kebijakan

Secara pribadi, saya berharap bahwa kebijakan yang diambil bukanlah kebijakan yang reaktif. Kebijakan yang disusun haruslah menjadi kebijakan yang Generatif, kebijakan bijak untuk menghasilkan solusi jitu penebas akar masalah, bukan solusi singkat untuk menciptakan masalah baru.

Hanya ingin mengingatkan bahwa geografi Indonesia adalah geografi kepulauan, dimana penerbangan dan kapal laut menjadi jantung logistik nasional. Jika tol laut belum mampu dihadirkan, dan karcis penerbangan makin mahal, saya khawatir bahwa dunia Indonesia makin terkotak-kotak, dan hubungan antar pulau makin terpisah.

Sesuatu yang murah, belum tentu murahan. Sesuatu yang mahal, belum tentu penuh kualitas. Pendekatan bisnis mampu menghadirkan nilai tambah tinggi dalam tataran efisiensi, asal tetap mengedepankan keamanan sebagai standar utama kehidupan, dan bukan membuat keuntungan sebagai tuhan. Karena nyawa hanya satu.

*hanya sekedar opini, untuk berbagi, dan siapa tahu bisa menjadi inspirasi..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun