Catatan Sinau Bareng Satuhati, Waspodo!
“Sesakit apapun hatimu, setertindas apapun dirimu, jangan tonjol-tonjolkan kehebatan, kesaktian, kebenaran, dan kebesaran Islam”
Itulah kalimat kutipan di awal artikel yang saya baca, sebuah artikel yang memberikan pembelajaran diri tentang hidup, kebersamaan tanpa mempermasalahkan latar belakang sosial, agama, suku etc. Sebuah artikel yang di tulis oleh Helmi Mustofa di sebuah situs web yang menarik untuk saya ikuti, dan inilah isi dari artikel tersebut, yang bertajuk Sinau Bareng.
Sinau Bareng yang bergulir di Kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema) pada 2 Juni 2017. Untuk apa Sinau Bareng? Untuk melatih kita tetap mampu melihat yang bukan wadag. Apakah itu menyangkut diri, masyarakat, maupun kehidupan bernegara. Sebab kondisi yang kompleks saat ini hanya mampu ditembus dengan kacamata nonmaterial.
Sesudah dua bulan terakhir ini Mbah Nun(Cak Nun) menawarkan ajakan sikap dan penempatan diri : “kebenaranmu ada di dapur, yang kau bawa ke luar adalah kasih sayang, kebenaran adalah bekalmu untuk berbuat baik kepada dan di tengah masyarakat, kini moral yang sama mendapatkan pemetaan lebih lengkap”.
Kutipan di awal tulisan yang disampaikan Mbah Nun di Polinema itu, adalah salah satu pendalaman pemetaan manajemen kebenaran dalam diri itu. Detailnya seperti ini. Kita perlu belajar maqamat atau belajar kontekstualisasi diri dan tidak boleh hanya punya ekspresi dan eksistensi diri. Kita tak boleh salah tempat, salah maqam, dan salah treatment.
Contoh aktualnya, melalui logika kontekstualisasi diri (mungkin bahasa sederhananya: ngepaske posisi diri di tengah banyak orang), Mbah Nun kurang sependapat dengan jargon dalam memeringati Hari Lahir Pancasila “Saya Indonesia, Saya Pancasila.” Kita perlu menjaga perasaan yang bukan atau selain ‘Saya’, karena seakan yang selain ‘Saya’ tidak termasuk Indonesia dan Pancasila. Alternatifnya, saran Mbah Nun, yang lebih merengkuh adalah “Kita Indonesia, Kita Pancasila.” Itu sebabnya, pesan Mbah Nun, seorang presiden tidak boleh mengucap saya, melainkan “kita” : Kita Indonesia, Kita Pancasila.
Demikianlah satu pelajaran penting dari Lapangan Polinema malam itu. Sebuah kelanjutan konstan dari kesungguhan Mbah Nun dalam mendidik publik untuk menata letak kebenaran di dalam diri. Kita jadi tahu bahwa kita benar-benar perlu belajar dalam hal penerimaan bukan penolakan atau penyingkiran pada tingkat subtil.
Kebutuhan itu dirasakan mendesak pada saat keadaan bangsa kita ini dapat digambarkan sebagai berada pada posisi tidak semestinya. Posisi dan koordinat yang diambil banyak pihak dalam berbagai persoalan kerap diambil kurang tepat. Pun Kuda-kuda juga tidak kokoh. Kaki salah berpijak. Tangan salah bergerak. Apa yang seharusnya tidak kita masukkan dalam pikiran pun justru dimasukkan. Demikian keadaan itu dilukiskan Mbah Nun.
Penulis dan ribuan saudara-saudara muda yang memenuhi lapangan Polinema usai shalat taraweh ini belum-belum sudah mendapatkan tambahan “jimat” dari Mbah Nun ketika Sinau Bareng belum lagi genap 20 menit. Mereka, saudara-saudara muda itu, memang pantas mendapatkan hal itu. Pasalnya, dalam keyakinan dan pandangan mata Mbah Nun yang kian gamblang, mereka adalah generasi Al-Maidah 54. Generasi yang didatangkan Allah menggantikan generasi yang saat ini sedang “murtad”. Generasi baru itu digambarkan Allah sebagai dicintai oleh Allah dan kemudian mereka mencintai Allah. Mereka berada dalam gelombang orientasi diri melakukan kesalehan. Mereka memiliki satu ciri dari apa yang disebut sebagai generasi milenial.
Mbah Nun sadar, mereka semua menanggung beban masa depan yang tak ringan sebagai individu, kelompok, maupun warga negara atau rakyat. Meskipun sedari awal sudah dikatakan Mbah Nun bahwa Indonesia sedang diberi ujian sangat besar karena memang “kelasnya adalah bangsa besar” dan nanti akan naik kelas. “Kalau ada yang bermusuhan, kalian jangan ikut memusuhi,” pesan Mbah Nun kepada mereka agar mereka tak mudah terseret situasi yang merupakan salah satu ujian itu.
JANGAN JUGA PANCASILA DIDEWAKAN
Bersambungan dengan penempatan diri mengenai Pancasila, “Kita Indonesia, Kita Pancasila”, pada segmen akhir meneruskan soal Pancasila ini. Tidak seharusnya Pancasila dipertentangkan dengan agama, sebab dibolak-balik secara ke dalam diri umat Islam, Pancasila adalah ciptran al-Qur`an. “Makna ekstra Pancasila itu terletak pada Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa). Sedangkan sila kedua hingga kelima bersifat universal di mana pun belahan dunia,” tegas Mbah Nun. Tetapi, lebih lanjut dipaparkan, Pancasila juga jangan didewa-dewakan. Dalam hal ini, Mbah Nun menjelaskan, “Pancasila itu kita hormati bukan (semata) karena kalimat dan isinya, tetapi karena merupakan lambang harga diri bangsa Indonesia…sebenarnya Pancasila juga sudah kita punyai di dalam diri kita sehingga dengan begitu kita juga tidak boleh merendahkan Pancasila.”
Mbah Nun membawa generasi milenial yang dicintai Allah dan Allah mencintai mereka untuk mendalami Pancasila secara jernih dari berbagai sisi dengan tidak terperosok pada salah satu di antara pihak-pihak atau pemikiran yang bertentangan dan mempertentangkan Pancasila dengan, misalnya, agama.
Pada bagian awal Sinau Bareng ini, menggaris tebali sekali lagi Mbah Nun meminta semua jamaah dan hadirin agar tidak gampang menilai-nilai atau menyimpul-nyimpulkan orang lain. Rumusnya, kata Mbah Nun, jangan membawa-bawa kebenaran di mana-mana. Kebenaran adalah bekal, bukan untuk diomong-omongkan, tetapi kebijaksanaanlah yang kita persembahkan kepada orang lain atau masyarakat.
Pesan-pesan ini paralel adanya dengan pesan-pesan lain Mbah Nun tentang pentingnya bersikap luas jiwa dan hati tepat pada saat interaksi kita sesama muslim maupun sesama manusia banyak diwarnai kesempitan berpikir dan kesempitan persepsi tentang manusia dan agama. Karena itulah, sebuah nomor bertajuk “Sing Jembar Atine” dihadirkan KiaiKanjeng. Pada nomor ini, Bu Anne Rasmussen dari Amerika yang sudah dikenal baik Jamaah ikut bermain dengan duduk di samping Mas Blothong.
Dalam acara tersebut membubuhkan sebait lirik Qasidah Al-Burdah Imam Bushiri dalam lantunan bernada tinggi : “Ya Nafsu La Taqnathi min zallatin ‘adhumat, innal kabairo fil ghufroni kallamami, kurang lebih artinya: Duhai jiwa-jiwa manusia, janganlah berputus asa walau dosa-dosamu bertumpuk, sesungguhnya dosa-dosa besar itu di hadapan ampunan-Nya bagaikan kapas tertiup angin”. Pilihan yang pas. Bait-bait yang merengkuh. Bait-bait Silmi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H