Ada beberapa pengertian konsumsi menurut para ahli. Menurut Hanato dan Sukarto T.J., konsumsi adalah bagian dari penghasilan yang dipergunakan membeli barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Albert C. Mayers mengatakan bahwa konsumsi adalah penggunaan barang dan jasa yang berlangsung dan terakhir untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.Â
Adapun menurut ilmu ekonomi, konsumsi adalah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya menjaga kelangsungan hidup.
Dalam hal perilaku konsumen, islam menekankan konsep dasar bahwa manusia cenderung memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas dalam ekonomi islam bahwa setiap pelaku ekonomi ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya dalam konsumsi.
Dalam Al-Qur'an, kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfaat atau manafi', yang berarti kebaikan yang berkaitan dengan material, fisik, dan psikologis. Dengan demikian, maslahah mengandung pengertian kemanfaatan duniawi dan akhirat.
Maslahah merupakan sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Enam elemen kebutuhan dasar manusia adalah agama, kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl).
Adapun ekonomi islam berpandangan bahwa antara benda yang satu dan benda yang lainnya bukan merupakan substitusi sempurna. Ada benda-benda ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga benda-benda tersebut lebih diutamakan dibandingkan dengan pilihan konsumsi lainnya. Disamping itu, prioritas pemenuhan kebutuhan didasarkan pada tingkat kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menunjang kehidupan yang islami.
Preferensi konsumsi dan pemenuhan kebutuhan manusia memiliki pola berikut.
Mengutamakan akhirat daripada dunia
Pada tataran paling dasar, seorang konsumen muslim akan dihadapkan pada pilihan antara mengonsumsi benda ekonomi yang bersifat duniawi dan benda yang bersifat ibadah. Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi untuk duniawi sehingga keduanya bukan merupakan substitusi sempurna. Konsumsi untuk ibadah pada hakikatnya adalah konsumsi untuk masa depan, sedangkan konsumsi duniawi adalah konsumsi untuk masa sekarang. Semakin besar konsumsi untuk ibadah, semakin tinggi falah yang dicapai. Dengan semakin tingginya falah, seorang mukmin akan memperoleh utilitas yang lebih tinggi nilainya daripada utilitas yang diperolehnya dari dunia. Sebaliknya, semakin besar konsumsi untuk duniawi, semakin rendah falah yang dicapainya.
Konsisten dalam prioritas pemenuhan kebutuhan
Kebutuhan manusia dalam konsumsi memiliki tingkat urgensi yang berbeda, tetapi terdapat prioritas diantara satu dengan lainnya yang menunjukkan tingkat kemnfaatan dalam pemenuhannya. Asy-Syathibi membagi prioritas kemaslahatan tersebut pada tiga tingkatan, yaitu maslahah dharuriyyah, maslahah hajiyyah, dan maslahah tahsiniyyah. Maslahah dharuriyyah adalah kebutuhan yang harus segera dipenuhi agar kehidupan manusia tidak terganggu. Maslahah hajiyyah adalah kebutuhan yang jika dipenuhi akan meningkatkan nilai tambah. Adapaun maslahah tahsiniyyah adalah kebutuhan yang jika terpenuhi akan menimbulkan kepuasan.