Mohon tunggu...
Muhri
Muhri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kultur Berbuat Tanpa Menghujat (Catatan Piknik Puisi IV)

19 Maret 2017   08:32 Diperbarui: 19 Maret 2017   18:00 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam Minggu 19 Maret 2017. Pukul 20.00 acaranya. Begitu kata Andi Moe di telepon. Sorenya. Sekitar waktu yang ditentukan saya sampai. Meski hujan di jalan. Junok basah, Burneh gerimis. Acara di SMK PGRI 1 Bangkalan. Jangan mengharap kemewahan di acara seni. Begitu yang terpandang di mata. Peserta yang hadir cukup banyak. Untuk ukuran forum seni tentunya. Lebih dari 25 mendekati 50. Saya tidak menghitung pastinya. Undangan dari lokal Bangkalan dan sekitarnya saya, Rozzaky (adik saya), dan Kholil dari sampang. Oh, iya acara Piknik Puisi ke IV. Tuan rumah adalah komunitas Bawah Arus. Terlihat di banner acara. Sayang hujan mencegah acara seperti yang diharapkan. Acara darurat masuk ruangan.

Di mulai dari tari, khas Madura. Setidaknya mata awam saya melihat dari kostum yang dipakai. Selebihnya saya punya masalah dengan tari. Apalagi penari perempuan. Tak enak hati melihatnya. Apalagi duduk paling depan. Masalah lama. Selanjutnya pembacaan puisi. Kali ini dimulai dari Rozakky, Kholil, kemudian entah siapa dan siapa. Aku tak kenal semuanya. Kemudian Fauzi dengan monolognya. Lalu musikalisasi puisi oleh R. Timur Budi Raja bersama dua teman yang kembali tidak saya kenal. Yah, apresiator lokal. Maklum. Ada dua hal yang saya catat. Saya kurang piknik. Itu pertama. Kedua, ada totalitas dalam penampilan mereka.

Selanjutnya acara diskusi. Ahmad Faishal jadi “Petugas”, dalam bahasa pembawa acara. Acong nama yang saya kenal. Kesannya tidak siap. Tapi begitulah gaya Acong. Simplifikasi dalam istilahku. Seperti ada semacam kegalauan dalam dunia yang digeluti. Semacam ketidakpercayaan. Sebuah keraguan tentang eksistensi dan wajar. Entah benar atau tidak. Ada apatisme. Sebuah problematik yang menunggu penyelesaian. Irelevansi antara realitas dan harapan. Dimulai dengan apologi mengenai keluarga dan idealisme yang di ujung tanduk. Anehnya, nyambung dengan puisi "Ironi Buku Baju dan Susu". Puisi Rozzaky yang menggambarkan Ironi antara membeli buku bagi seorang penulis, man of letter, membeli baju bagi istri, yang harus mengalah pada membeli susu untuk anak. Sebuah pertanyaan muncul dalam kepalaku. Apakah ini bentuk pernyataan “gantung sarung tinju” atau “gantung sepatu”. Pangsiun (pensiun) dalam bahasa orang tua di Langkap, desa saya. Ada juga kata “sudah menjadi tua”, tuntutan kum, dan sebagainya. Semoga saya salah.

2-58cddf094ef9fdc2188b5f8a.jpg
2-58cddf094ef9fdc2188b5f8a.jpg

Yang jelas apapun hasilnya mereka telah berbuat. Tak perlu menghujat. Sedang aku sibuk dalam misi membangun jembatan. Jembatan yang menghubungkan antara penciptaan, karya, pembaca dalam arti luas, dan unsur sosial yang berkait. Sebuah kultur yang membangun. Berbuat tanpa menghujat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun