Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Otonomi Khusus Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008. UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus.
Tulisan ini memuat tinjauan kritis saya terhadap isi RAPBD. Ada beberapa hal yang menjadi sorotan, yaitu: (1) aspek-aspek legal-formal RAPBD tersebut; (2) aspek-aspek keberpihakan kepada orang asli Papua, pemerataan serta pemberian prioritas kepada daerah-daerah tertinggal di Provinsi Papua.
1. Persoalan Legal-Formal RAPBD Provinsi Papua.
Pasal 34 ayat 7 UU No. 21/2001 menyatakan bahwa “Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5), dan huruf e antara Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal”. Yang dimaksud dalam kutipan tersebut sebagai ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) adalah penerimaan yang berasal dari bagi hasil sumberdaya alam minyak bumi sebesar 70 persen dan gas bumi 70 persen. Di samping itu, yang dimaksud dengan huruf e Pasal 34 ayat 7 UU No. 21/2001 adalah Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan ”
Ada tiga kata kunci (syarat) yang tidak bisa diabaikan dari kutipan Pasal 34 ayat 7 UU No. 21/2001. Pertama, sumber- sumber dana tersebut harus dibagi antar Provinsi Papua, Kabupaten dan Kota. Kedua, pembagian tersebut haruslah diatur secara adil dan berimbang dengan memberikan perhatian khusus kepada daerah-daerah yang tertinggal. Ketiga, Pengaturan secara adil dan berimbang itu haruslah dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus).
Hal yang disebutkan di atas inilah yang merupakan salah satu persoalan legal-fomal serius karena tidak dipenuhi dalam penyusunan RAPBD Provinsi Papua tahun 2002. Undang- undang Nomor 21 tahun 2001 menegaskan bahwa Rancangan Perdasus disusun oleh Eksekutif dan Legislatif, namun sebelum dapat dilaksanakan perlu memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Hingga saat ini MRP belum terbentuk, dan karenanya Perdasus untuk pemanfaatan sumber dana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat 7 belum dapat ditetapkan oleh DPRP dan Eksekutif. Dengan demikian, pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan DPRP mengenai pemanfaatan sumberdana yang berasal dari pendanaan dalam rangka Otsus hanya dapat diartikan sebagai persiapan dan pemantapan rancangan, yang masih harus memperoleh persetujuan dari MRP sebelum dapat digunakan. Apabila keseluruhan atau bagian-bagian dari pemanfaatan sumber dana Otsus tersebut tidak disetujui oleh MRP, maka sudah barang tentu RAPBD perlu diperbaiki kembali.
Saya merasa penting untuk menegaskan hal ini, karena diperoleh kesan yang sangat kuat bahwa pembahasan RAPBD yang sekarang ini berlangsung di DPRP bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan secara paralel sambil menunggu terbentuknya MRP. Setidak-tidaknya format RAPBD tersebut, baik untuk Anggaran Rutin maupun Anggaran Pembangunan, tidak menunjukkan hal tersebut. Kalau pembahasan itu dilanjutkan dengan pengesahan oleh DPRP, maka itu berarti bahwa Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah dilanggar oleh Pemerintah dan DPR Provinsi Papua sendiri.
Selain itu, hasil pemantauan saya menunjukkan, bahwa pembahasan dalam rangka menghasilkan RAPBD ini tidak melibatkan berbagai stakeholder yang seharusnya diikutsertakan dalam rangka menghasilkan suatu RAPBD yang adil dan berimbang, dengan memberikan perhatian pada daerah-daerah terpencil. RAPBD yang adil dan berimbang tentu tidak mungkin dapat disusun oleh instansi teknis Provinsi semata-mata. Pemerintah dan Parlemen Provinsi perlu melibatkan pemerintah dan parlemen Kabupaten/Kota dan berbagai unsur masyarakat yang berkompeten, karena mereka yang sesungguhnya memahami dengan lebih baik apa yang menjadi kebutuhan masyarakat Papua.
Hal lain yang tidak kalah pentingya adalah tidak dimasukkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 dalam konsideran RAPBD. Walaupun mungkin ada pihak yang berkilah bahwa hal tersebut `terlupakan’, tetapi hal ini sebenarnya berimplikasi bahwa sebenarnya masih ada keengganan untuk mendalami dengan sungguh-sungguh isi dan amanat Undang-undang Nomor 21 tahun 2001. Secara legal formal, kealpaan ini adalah suatu persoalan yang serius – karena dengan demikian patut dipertanyakan apa dasar hukum yang digunakan oleh pihak Eksekutif untuk memanfaatkan dana yang berasal dari pendanaan Otsus Papua?
Hal yang terakhir adalah sebutan sumber-sumber keuangan yang digunakan dalam RAPBD. Seyogyanya semua sumber pendanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 disebutkan dalam RAPBD Provinsi Papua tahun 2002. Dengan demikian, rakyat Papua dapat mengetahui dengan jelas seberapa besar kontribusi masing-masing sumber tersebut terhadap RAPBD tahun 2002. Tetapi, hal ini tidak dilakukan. Bahkan, DAK (Dana Alokasi Khusus) sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 dicampuradukkan dengan sumber dana Penerimaan Khusus dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana yang disebut dalam Pasal 34 ayat 3 huruf e Undang-undang tersebut.