"Bagaimana Mungkin Sekolah Mengajarkan Kejujuran Bila Yang Dilakukannya Adalah Kebohongan"
Saat saya sedang di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekitar 3 tahun lalu, saya mendapati brosur promosi suatu sekolah SMK yang amat bagus, melihat brosur promosi yang sedemikian rupa saya tentu merasa tertarik tuk melanjutkan sekolah di sana.
 Sebelum masuk sekolah tersebut, saya mendapat testimoni dari kawan saya yang kawannya bersekolah di sana, katanya sekolah SMK tersebut tak sebagus promosinya, saya mencoba khusnudzhon atau positif thinking dan tak memperdulikan perkataan teman saya, toh tak mungkin sekolah yang latar belakangnya adalah persyarikatan Islam berani berbohong dalam promosinya.
 Setelah saya putuskan tuk bersekolah di sana, lalu melakukan pendaftaran hingga masuk ke sekolah SMK tersebut, lambat laun saya heran dan merasakan banyak kejanggalan-kejanggalan dalam sekolah baru saya, banyak hal yang tak sesuai dengan promosi yang saya baca. Karena saya merasa ditipu oleh sekolah dan tak ingin ada korban selanjutnya, selama hampir 3 tahun ini saya memutuskan tuk mengungkap tipu daya yang mereka sebarkan pada calon murid-muridnya.
 Apalagi baru saja sekolah saya mengadakan seminar atau kajian bertemakan "Bijak Menggunakan Sosial Media" yang mengungkit bahaya hoax dan semacamnya. Apakah sekolah tidak berkaca diri? Bukankah mereka juga menebar hoax lewat promosi? Di sini jelas penting rasanya tuk menganalisis informasi yang ada sekecil apapun bentuknya.
Membaca Kebohongan Dalam Promosi Sekolahan
 Umberto Eco mengatakan bahwa bahasa adalah alat tuk berbohong, hal demikian dijustifikasi oleh Jaques Lacan melalui pernyataannya :
"Tak ada kebenaran semenjak memasuki kesadaran"
Tak ada kebenaran karena manusia selalu terjerat oleh bahasa yang membohonginya, makna bisa diselewengkan kemana-mana sehingga kebenaran kabur keberadaannya.
 Kebohongan dapat diciptakan melalui informasi yang diselewengkan dalam suatu fenomena sehingga menggeser makna yang ada, semisal fenomena promosi sekolah yang dalam brosurnya dicantumkan gambar gedung megah dan guru-guru cendekia dengan tulisan menggoda "86% alumni langsung kerja" namun pada kenyataannya tak demikian, guru-gurunya memiliki kapasitas di bawah rata-rata, gedung megah yang dicantumkan belum selesai dalam tahap pembangunan dan persentase alumni lolos kerja tak sedemikian banyaknya.
Di sini sekolah menciptakan kebohongan melalui permainan bahasa (virtual-tekstual), dengan menggunakan gambar gedung megah dan narasi-narasi hiperbola yang dapat menimbulkan citra dalam bayangan manusia (antusias tuk daftar masuk sekolah tersebut). Mengapa sekolah rela sampai melakukan kebohongan demi promosinya? Hal ini dapat dibaca melalui kepentingan yang ada pada sistem sekolah.
Manipulasi Informasi Demi Kejar Target Kapitalisasi
Salah satu kasus kepentingan sekolah (di luar pendidikan) dapat dibaca melalui mantan kepala sekolah saya adalah orang yang cukup terpandang karena keahlian beliau dalam memanipulasi dan mengendalikan informasi, dalam salah satu seminarnya beliau mengatakan bahwa "Kepala sekolah sukses adalah mereka yang sekolahnya banyak muridnya" sontak saya kaget mendengar pernyataan beliau ini, terkesan betul seolah-olah eksistensi dari kepala sekolah adalah subjek yang mencari murid di sekolahnya sebanyak-banyaknya bagaimanapun caranya.