Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Kontradiksi "Ngopi" Hari Ini, Sebuah Kajian Semiologi

7 Januari 2022   04:54 Diperbarui: 8 Januari 2022   18:30 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kedai kopi. (sumber: Teepakarn Khamwaen / Shutterstock.com via kompas.com)

Tentu teori tindak tutur Austin ini masih bisa bertahan bila kata 'ngopi' tak lagi dimaknai 'ngopi' atau 'minum kopi' yang jelas resikonya akan menimbulkan kontradiksi. 

Kontradiksi 'ngopi' ini jelas tak dapat diselesaikan dengan madzhab strukturalisme ala Saussure dkk. Namun kontradiksi ini dapat dipahami dan dicari jalan tengahnya melalui beberapa metode pemahaman.

Dari Perluasan Semantik Menuju Era Post-Dialektik

Pemahaman klasik bahwa 'ngopi' bermakna 'minum kopi' jelas sudah kadaluarsa, 'ngopi' hari ini telah mengalami perluasan semantik atau evolusi makna. Kata 'ngopi' yang awalnya dimaknai 'minum kopi' telah meluas maknanya hingga dapat mewakili kata 'nge-teh', 'nge-mie', 'nge-es', dan lain-lain.

Roland Barthes menjelaskan bahwa tak ada makna tetap dalam bahasa, dengan demikian makna bahasa senantiasa berubah dari masa ke masa, 'ngopi' sebagai suatu kata jelas akan mengalami perubahan makna disadari atau tidak disadari, dengan kata lain 'ngopi yang dulu bukanlah ngopi yang sekarang'.

Fenomena pergantian makna ini yang kemudian menjadi rumpun dialektika bahasa yang menyusun budaya, namun kita sama-sama melihat bahwa gerak laju bahasa mengalami tumpang-tindih makna sehingga terjadi peleburan nilai-nilai budaya. 

Di sinilah kita diantarkan pada era post-dialektis, era ketakjelasan makna yang secara radikal-sruktural bisa disebut sebagai era kemunafikan tanda.

Memahami bahwa tanda tak bersifat ajek rasanya perlu sebagai langkah menghindari perdebatan, seperti meng-iyakan segala minuman yang dipesan saat 'ngopi' bersama teman.

Deteritorialisasi Tanda dan Reteritorialisasi Makna Sebagai Bingkai Budaya

 Kesepakatan akan suatu makna membentuk suatu teritori tanda, yakni semacam wilayah makna (petanda) yang ada di setiap kata (penanda), semisal kata 'makan' yang memiliki teritori tanda yang berbeda dengan kata 'minum'.

Dalam fenomena pergantian makna, ada deteritorialisasi (penghancuran wilayah) tanda yang disepakati kemudian ada reteritorialisasi (pembentukan ulang wilayah) makna, yang kadang deteritorialisasi tak sepenuhnya diiyakan seperti ketakterimaan orang yang diajak 'ngopi' namun memesan yang 'bukan kopi'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun