Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajar dan Seksisme Pornografi: Tragedi dalam Parodi Pedagogi

24 Juli 2021   19:16 Diperbarui: 24 Juli 2021   19:31 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita Semua Adalah Seorang Cabul Pada Berbagai Tingkatan Yang Berbeda"
(Perv: The Sexual Deviant in All of Us (2013) - Jesse Bering)

Dewasa ini siapa yang tak mengenal pornografi? Barangkali yang menjawab 'saya tak kenal pornografi' sesungguhnya mengenalnya (porno) tapi enggan mengungkapkannya, tapi kalau belum mengenal yah mungkin tak tahu istilahnya tapi tahu isinya. Pornografi adalah salah satu tonggak modernitas seiring berkembangnya dunia teknologi-informasi, tak bisa dipungkiri bahwa hampir semua manusia pernah mengkonsumsi pornografi baik sengaja maupun tak sengaja (terlepas bahwa takaran porno itu beda-beda).

Berkembangnya pornografi tentu sering dipandang sebagai salah satu Ikhwal dekadensi moral (kerusakan moral) hari ini. Pasalnya seks adalah hal yang dianggap masyarakat sebagai hal yang amat menjijikkan, dan tentu sangat tabu bila dibicarakan. Orang yang blak-blakan membicarakan seks dianggap sebagai orang yang tak bermoral, tapi di sisi lain seks bisa menjadi hal paling digemari tapi sekaligus dijauhi, munafik-kah orang seperti ini?.

Penabuan seks yang bersumber dari doktrin agama maupun budaya tak dapat kita salahkan juga, karena penabuan seks itulah yang justru membuat seks semakin sakral dan luar biasa, seperti kata Bataille bahwa seks tanpa pasungan norma akan hambar rasanya, sehingga seks enggan dibicarakan namun sangat diidamkan.

Tapi sebenarnya penabuan (bila terlalu ditabukan) tersebut justru menjadi hal yang menyebabkan dekadensi moral dalam wacana budaya banal adanya, karena keberadaan pornografi sudah jelas menggeser seksualitas lama, yang dulunya ruang-ruang seksualitas itu terbatas, kini menjadi tak terhingga, sehingga wacana erotika juga bergeser adanya.

Penabuan justru menolak hakikat bahwa seksualitas kita tak terbatas medianya, yang mana tak ada batas antara tontonan dewasa dan remaja. Dalam pendidikan misalnya, edukasi mengenai seksualitas masih dianggap amat cabul, sehingga pelajar mengalami disorientasi akan hasratnya sendiri.

Sebelum masuk lebih jauh, mari kita lihat bagaimana polarisasi tersebut terjadi.

Narsisme Tabu dan Hegemoni Tubuh

Penabuan seks seperti kata Foulcault adalah representasi dari hegemoni kekuasaan atas kebebasan manusia, dapat berupa norma maupun budaya. Namun, justru hegemoni tersebutlah yang membuat manusia lari ke media hasrat lainnya, pornografi misalnya, dengan tujuan tuk menemukan hasrat mereka dan hakikat seksualitas yang sebenarnya.

Penabuan tersebut justru dijadikan alat narsisme identitas oleh para pelakunya, orang yang menabukan seks dan menolak secuil-pun pembahasan tentangnya, sejatinya hanya untuk membangun eksistensi suci-nya sekaligus melanggengkan identitas narsistiknya. Saya pribadi menyetujui kalau seks itu ditabukan, namun bukan berarti tak ada pembahasan (seks edukasi misalnya), tabu yang berlebihan justru mengakibatkan kerusakan yang berkepanjangan.

Pelajar, Sekolah dan Pornografi : Narsisme Moral dan Marjinalisasi Seksual

Para sosiolog modern mengatakan :

"Modernitas telah melenyapkan batas-batas, seperti lenyapnya batas antara tontonan dewasa dan tontonan remaja"

Pengekangan dan penabuan seks terlihat amat pekat di dalam lingkungan pendidikan, (mayoritas) sekolah khususnya, guru amatlah menjaga agar tak menyinggung seksualitas karena dianggap melanggar norma, sementara muridnya sudah fasih mencerna objek-objek erotis di sosial media. Sekolah terus membuat bangunan tabu guna mendidik muridnya mengenai norma-norma tubuh, sementara pornografi dengan mudah membuat norma tersebut runtuh.

Perlu dicatat bahwa murid di zaman modern ini bukan hanya hidup dalam dunia faktual, melainkan juga dunia virtual, seperti kata para sosiolog di atas, bahwa tak ada batasan di dalamnya. Di sini guru masih menganggap bahwa dirinya memiliki ruang yang berbeda, padahal nyatanya sama, murid juga bisa menjelajah di dunia gurunya, dunia orang dewasa misalnya.

Namun para guru masih amat naif, mereka terus berusaha mengira bahwa muridnya tak mengetahui apa-apa mengenai seksualitas, oleh karena itu para guru dengan kenaifannya terus berusaha tuk mengkampanyekan moralitas tabu dan hegemoni tubuh. Di sisi lain, banyak sekali skandal seksual di kalangan pelajar, namun karena kenaifannya para guru menolak tuk membahasnya.

Sehingga fantasi seksual muridnya termarjinalkan (tersingkir) dari pendidikan dan justru mendapatkan kebebasan karena hal tersebut tak dimasukkan ke dalam pembahasan.

Sebuah Tragedi dalam Parodi Pedagogi

 elas sekali bahwa fenomena seperti ini adalah sebuah Tragedi, yang mengakibatkan pendidikan di dalam sekolah jelas amat banal moralitasnya. Namun, hal ini sekaligus parodi di panggung pendidikan yang dimainkan para guru dengan kenaifannya, sistem sekolah dengan penabuannya, murid dengan fantasi hasratnya.

Barangkali pornografi adalah akar dari parodi dan tragedi ini, pornografi adalah hal yang ditabukan namun membebaskan, tabu dalam norma (norma sekolah contohnya) tapi bebas dalam menjelajahinya, karena norma itu sendiri yang menolak (karena dianggap tabu) tuk menemani dan mengajari para manusia (pelajar khususnya) yang menyelam di dalamnya.

Ironi sekali bila sudah seperti ini, barangkali apa yang dikatakan Bering dalam awal tulisan ini dapat menjadi renungan kita bersama, bahwa kita semua Cabul namun dalam takaran yang berbeda. Dan sudah tugas pendidikan tuk mendampingi dan mengedukasi muridnya tuk menjelajah di dalam kecabulannya, tentu agama juga amat mumpuni tuk melakukannya (membimbing pemeluknya dalam menghadapi kecabulannya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun