Pelajar, Sekolah dan Pornografi : Narsisme Moral dan Marjinalisasi Seksual
Para sosiolog modern mengatakan :
"Modernitas telah melenyapkan batas-batas, seperti lenyapnya batas antara tontonan dewasa dan tontonan remaja"
Pengekangan dan penabuan seks terlihat amat pekat di dalam lingkungan pendidikan, (mayoritas) sekolah khususnya, guru amatlah menjaga agar tak menyinggung seksualitas karena dianggap melanggar norma, sementara muridnya sudah fasih mencerna objek-objek erotis di sosial media. Sekolah terus membuat bangunan tabu guna mendidik muridnya mengenai norma-norma tubuh, sementara pornografi dengan mudah membuat norma tersebut runtuh.
Perlu dicatat bahwa murid di zaman modern ini bukan hanya hidup dalam dunia faktual, melainkan juga dunia virtual, seperti kata para sosiolog di atas, bahwa tak ada batasan di dalamnya. Di sini guru masih menganggap bahwa dirinya memiliki ruang yang berbeda, padahal nyatanya sama, murid juga bisa menjelajah di dunia gurunya, dunia orang dewasa misalnya.
Namun para guru masih amat naif, mereka terus berusaha mengira bahwa muridnya tak mengetahui apa-apa mengenai seksualitas, oleh karena itu para guru dengan kenaifannya terus berusaha tuk mengkampanyekan moralitas tabu dan hegemoni tubuh. Di sisi lain, banyak sekali skandal seksual di kalangan pelajar, namun karena kenaifannya para guru menolak tuk membahasnya.
Sehingga fantasi seksual muridnya termarjinalkan (tersingkir) dari pendidikan dan justru mendapatkan kebebasan karena hal tersebut tak dimasukkan ke dalam pembahasan.
Sebuah Tragedi dalam Parodi Pedagogi
 elas sekali bahwa fenomena seperti ini adalah sebuah Tragedi, yang mengakibatkan pendidikan di dalam sekolah jelas amat banal moralitasnya. Namun, hal ini sekaligus parodi di panggung pendidikan yang dimainkan para guru dengan kenaifannya, sistem sekolah dengan penabuannya, murid dengan fantasi hasratnya.
Barangkali pornografi adalah akar dari parodi dan tragedi ini, pornografi adalah hal yang ditabukan namun membebaskan, tabu dalam norma (norma sekolah contohnya) tapi bebas dalam menjelajahinya, karena norma itu sendiri yang menolak (karena dianggap tabu) tuk menemani dan mengajari para manusia (pelajar khususnya) yang menyelam di dalamnya.
Ironi sekali bila sudah seperti ini, barangkali apa yang dikatakan Bering dalam awal tulisan ini dapat menjadi renungan kita bersama, bahwa kita semua Cabul namun dalam takaran yang berbeda. Dan sudah tugas pendidikan tuk mendampingi dan mengedukasi muridnya tuk menjelajah di dalam kecabulannya, tentu agama juga amat mumpuni tuk melakukannya (membimbing pemeluknya dalam menghadapi kecabulannya).