Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Antara Demo dan Pilkada: Apakah Berita Corona Tak Lagi Berguna?

14 Oktober 2020   14:11 Diperbarui: 21 Oktober 2020   18:16 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Ilustrasi pribadi dan Google

Kita sama-sama dikejutkan oleh rencana pelaksanaan Pilkada yang tetap dilanjutkan ditengah-tengah wabah, padahal semua kegiatan seperti sekolah diundur sedemikian rupa, ini menurut saya sangat mengejutkan jiwa raga bangsa. Apa karena petahana? Atau kampanye yang mulai menghabiskan dana? Topik seperti ini menjadi bahan baru untuk ghibah, pilkada dilanjutkan, sekolah dihentikan, apakah pemerintah lebih memilih pemilihan dibanding kecerdasan?. 

Ditambah lagi demonstrasi yang terjadi baru-baru ini, ribuan, bahkan bisa dibilang jutaan masyarakat baik mahasiswa, pelajar maupun pekerja turun ke jalan, demi menuntut undang-undang yang mengandung penindasan agar segera dibatalkan setelah disahkan. Siapa yang salah? Masyarakat kah? Pemerintah kah? Atau jangan-jangan ada yang menyalahkan Tuhan? Kedua fenomena diatas sudah menjadi bukti bahwa baik masyarakat, aparat maupun pejabat, tak lagi peduli dengan pandemi yang sedang melunjak cepat. 

Dua kejadian besar tersebut dapat dijadikan suatu penolakan akan penyakit yang katanya membahayakan kesehatan, yakni pandemi corona, topik inilah yang akan saya kupas secara filosofis, sosiologis, etis dan saintis pada tulisan saya kali ini. Mengingat pentingnya informasi yang dicerna, masyarakat harus membaca literasi sebanyak yang ia bisa, karena tak baca literasi berpengaruh pada otak yang tak kunjung di isi. 

Pembahasan singkat pada tulisan saya ini akan berupaya menjelaskan, mengapa berita tentang bahayannya virus corona tak lagi berguna karena telah ada demo dan rencana pilkada sebagai suatu fenomena. 

Memasuki dimensi filosofis, mengapa berita bahayannya corona tak lagi berguna? 

Mengutip dari seorang filsuf post-modern bernama Jaques Deridda, beliau mengatakan bahwa tafsiran setiap kata itu temporal (sementara) , berubah mengikuti kondisi kultural-universal setiap manusia. Bila perkataan corona dikaitkan dengan fenomena demo dan rencana pilkada, dimana kedua fenomena ini adalah representasi (wujud) dari kondisi kultural dan nasional hari ini. 

Maka perkataan bahaya-nya wabah corona akan ditafsirkan oleh masyarakat sebagai perkataan bohong, atau informasi yang tak memiliki validasi data, maka hermeneutika (pemaknaan) kata wabah oleh bangsa indonesia tak lagi menakutkan seperti apa yang telah diberitakan oleh media massa. 

Lanjut kedalam dimensi sosiologis. 

Karl R Popper dalam Open Society and It's Enemies, menjelaskan apa yang disebut sebagai rekayasa sosial bongkar pasang (piecemeal social engineering), yaitu sebuah metode untuk merekonstruksi (membangun) sekaligus merekayasa, suatu opini sekaligus perilaku sosial dalam lingkup universal (luas), untuk menganalisis penggunaannya, maka kita harus me-reduksi (bongkar-pahami) secara rasional (akal) apapun kejadian yang telah terjadi. 

Menurut saya, media dengan penguasannya telah menggunakan metode tersebut, sebagai sarana mereka untuk merekayasa opini dan perilaku masyarakat, agar pikirannya menangkap suatu sinyal bahaya, sehingga ia harus taat, hal ini dapat dijadikan sarana hipnotis sebagai rencana bisnis. 

Namun, dengan terjadinya fenomena demo dan rencana pilkada, bangunan opini tersebut otomatis hancur dan gugur seketika, sehingga masyarakat dalam konteks (ruang) corona, tak lagi dapat di hipnotis oleh penguasa. 

 Menyelami sedikit dinamika etis. 

Diterapkannya protokol kesehatan, baik memakai masker, menjaga jarak, menunda berbagai kegiatan, menghindari kerumunan dan semacamnya sebagai suatu kewajiban baru masyarakat, yang telah diatur oleh undang-undang hingga sedemikian rupa, telah menjadi paradigma (teori) etika deontologi (etika peratutan) baru yang harus ditaati secara formal, kalau tidak yah harus di sanksi. 

Apa yang dilakukan pemerintah sebagai rencana terselenggarannya pilkada, telah otomatis melanggar etika deontologis (peraturan) yang telah dijadikan sebagai suatu kebijakan, ini membawa pesan moral kepada masyarakat, bahwa penguasa telah berdusta, disinilah alasan demonstrasi dijadikan Meta-Etis (pandangan moral) masyarakat untuk menghancurkan etika-deontologis pejabat. 

 Gampangnya Seperti : "Pilkada dilaksanakan, sekolah diliburkan, kalau begitu masyarakat juga bisa turun ke jalan". 

 Menungkil sedikit paradigma saintis

 Steven Pinker mengatakan bahwasannya :

"Kesalahan ketersediaan adalah sumber kebodohan umum dalam penalaran manusia"

Maksudnya adalah bahwa kesalahan ketersediaan informasi yang digumamkan oleh media, bisa menjadi sumber kebodohan dalam penalaran manusia, ditambah lagi dopamin adrenalin (kecanduan akan keseruan) lebih mendominasi persepsi kita akan suatu peristiwa atau kejadian, karena neurokorteks (jejaring otak) akan lebih mengikuti berita universal yang seru ketimbang berita aktual yang tak seru. 

Contohnya :

  1. Orang lebih takut naik pesawat ketimbang naik mobil, padahal banyakan korban kecelakaan mobil, itu disebabkan berita jatuhnya pesawat lebih seru dibanding kecelakaan mobil
  2. Orang lebih takut tornado ketimbang asma, padahal asma membunuh lebih banyak
  3. Orang lebih takut corona ketimbang kanker, padahal kanker membunuh lebih banyak tiap tahunnya

Karena itulah media lebih menyukai peliputan informasi yang seru sekaligus negatif, agar pembaca dapat pesimis, orang pesimislah yang lebih penasaran, sehingga media-pun tetap konstan. 

 Demo dan rencana pilkada, telah menjadi optimisme baru masyarakat indonesia, ketimbang pesimisme media dalam informasi perihal corona. 

 Lalu berita corona masih-kah berguna? 

 Pertannyaan ini sudah dapat pembaca jawab didalam hati setelah membaca ulasan singkat saya pribadi. 

 "Jaga pikiran agar menumbuhkan kesehatan badan, perbanyak bacaan agar mengoptimalkan kecerdasan"

 Terimakasih, bila bermanfaat bagikan, menerima sanggahan, kritik maupun saran. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun