Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

RUU Cilaka : Demo tak Seharusnya ke Kantor DPRD Kabupaten/Kota, Yang Benar Menuju Kediaman Dapil DPR di Tiap Daerah

11 Oktober 2020   14:00 Diperbarui: 12 Oktober 2020   05:37 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih membahas soal demonstrasi, rupa-rupanya topik inilah yang paling lezat disantap publik pada bulan-bulan Omnibus ini. Dimana-mana telah terjadi demonstrasi yang menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang CELAKA (maksud saya cilaka) oleh Dewan Perwakilan Rakyat, kalau rakyat tak merasa diwakilkan oleh DPR, berarti DPR telah mengalami disfungsi hehe. Oke, lanjut kepada pembahasan kita, agar gak nyeleweng kemana-mana, sebelum memasuki topik utama, saya akan sedikit memberi pengantar untuk arah pemikiran pembaca. 

Demonstrasi adalah sarana bangsa untuk menyalurkan aspirasi, ada yang berlangsung tenang, ada pula yang ricuh dan tidak karuan, yah tergantung bagaimana para demonstran mendapat tanggapan oleh orang-orang kekuasaan. Bila mereka simpati dan peduli, maka rakyat akan senang hati, bila mereka apatis, rakyat-pun anarkis, dari dulu hingga kini yah itu-itu aja lah kejadian demonstrasi ini, variabel efektifitasnya juga tak terlalu banyak konstanta signifikannya. 

Untuk menggali objektifitas penyelesaian dari suatu fenomena (kejadian) dan problematika (permasalahan), kata Descaryes, kita harus mengetahui terlebih dulu asal-usul permasalahannya, saya kasih sebuah Contoh :

Misalkan pada kejadian demonstrasi ini, asal-usul permasalahannya adalah kebijakan RUU Omnibus Law, yang melakukan atau subjeknya ialah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maka yang harus disalahkan adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Setelah mengetahui asal-usul permasalahan, maka kita dapat memilih metode yang digunakan sebagai sarana penyelesaian, saya kasih Contoh pada permasalahan yang sama lagi :

Setelah kita mengetahui akar permasalahan pada kasus Omnibus ini, kita dapat menggunakan beberapa metode sebagai suatu penanganan :

  1. Yudicial Review, yakni metode peninjauan atas kesalahan-kesalahan undang-undang yang dimungkinkan terjadi pada mendatang, atau bertentangan dengan undang-undang dasar 1945
  2. Demonstrasi, yakni metode menyampaikan aspirasi untuk menggugah empati dari orang-orang konstitusi yang bersangkutan. 

Setelah memilih metode, kita dapat menerapkan sekaligus menguji efektifitasnya terhadap penanganan permasalahan, saya kasih Contoh lagi pada permasalahan yang sama :

  1. Penerapan Yudicial Review, efektifitasnya tak terlalu banyak, karena Mahkamah Konstitusi yang menjadi sarana dapat berpihak, ditambah penguasa dapat menentukan alurnya. 
  2. Penerapan Demonstrasi, asalkan metodenya yang digunakan dapat menjamin, maka efektifitasnya dapat menjadi sangat besar untuk menyelesaikan permasalahan.

Saya akan lebih membahas metodologi rakyat,  yaitu demonstrasi pada tulisan kali ini, karena metode Yudicial Review adalah tugas akademisi,  lebih tepatnya sedikit memperbaikinya agar efektifitasnya sebagai penyelesaihan masalah lebih meyakinkan lagi. 

Apa yang dilakukan oleh para demonstran seperti Buruh, Mahasiswa, Pelajar dan Elemen-elemen bangsa lainnya, terutama yang mendemo kantor DPRD di Kabupaten atau Kotanya untuk menyelesaikan problem RUU Cipta Kerja, saya rasa efektifitasnya meragukan, justru dapat menimbulkan kegagalan dalam penalaran. 

"RUU Cipta Kerja ialah produk DPR pusat tingkat Negara, bukan produk DPRD yang membuat Perda"

Jadi untuk apa demonstrasi kepada DPRD Kabupaten atau Kota? Padahal DPRD sama sekali tak terlibat untuk membuat Rancangan Undang-undang tersebut, disinilah kita memasuki topik utama pada tulisan saya. 

Okelah kalau demonstrasi itu bertujuan agar mendapatkan dukungan DPRD daerah, tapi resiko yang ditimbulkannya sangatlah tinggi, misal seperti : Kerusakan fasilitas tanpa banyaknya efektifitas, Kegagalan metodis yang membuat keberhasilan menipis dan semacamnya. Mendingan lakukan metode yang saat ini saya tawarkan, yaitu :

"Datangi kediaman perwakilan Dapil DPR tiap daerah sebagai tempat unjuk rasa, karena merekalah yang merancang undang-undangnya"

Inilah metode yang saya rasa menjadi metode paling efektif, sebagai metode untuk memelekkan empati DPR pusat yang menimbulkan masalah, bukan malah menyerang kantor DPRD yang tak ada hubungan hukumnya. 

 "Kalau tak bisa ke senayan, datangi kediaman orang-orang yang di senayan, jiwanya pasti timbul kesadaran, kita-pun sama-sama tak menimbulkan kerusuhan"

Sekian terimakasih, bila bermanfaat bagikan , menerima kritik dan saran. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun