Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Sekolah Totaliter: Sebuah Kesalahan Filosofis yang Menjadikan Murid Teler

5 Oktober 2020   13:47 Diperbarui: 20 Oktober 2020   11:06 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak sekolah | ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wsj

Dapat saya katakan bahwa "Kecerdasan bangsa dalam suatu Negara sangat ditentukan oleh kekuatan pendidikannya, karena Bangsa yang cerdas memiliki Pendidikan yang pantas"

Di negara Kita, yaitu negara Indonesia yang tercinta ini, sudah kita ketahui tentang betapa banyaknya pakar Pendidikan yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke, dari banyaknya pakar tersebut, pertanyaannya masih sama, yaitu "Kenapa sih Pendidikan kita hanya itu-itu aja?" atau "Kenapa sih sistem Pendidikan kita sangat tertinggal dengan kebanyakan negara di luar sana?".

Pasti pada kebanyakan dari para pembaca juga akan merasa seperti itu, hebatnya, hal tersebut sudah menjadi aib sekaligus rahasia umum dari sistem Pendidikan kita.

Lalu dengan hal yang darurat demikian, apakah kita tak ingin melakukan apa-apa? topik yang saya pilih ini sendiri adalah suatu permasalahan dari Pendidikan kita, dimana permasalahan itu saya anggap paling Fundamental.

Yang saya tulis kali ini adalah bentuk kekecewaan saya pribadi terhadap sekolah saya, saya sendiri juga menjadi korban dogmatis berkedok pedagogis (pendidikan) di dalamnya, sekaligus menjadi korban halusinasi hipnotis dalam promosi yang dirangkai sebagai hipotesis (pernyataan) .

Tapi saya sama sekali tak menyesal karena sudah bersekolah, karena ini adalah tantangan saya sendiri (juga kawan-kawan yang sedang kecewa) untuk mengkritik, memberi solusi dan mendekonstruksi (mengatur ulang) pedagogi di negri ini, saya sebut yang saya lakukan ialah perjuangan para murid pergerakan melawan kediktatoran dalam Pendidikan.

Di sini mungkin para pembaca ada yang merasa bahwa semangat saya pada tulisan ini hanyalah halusinasi seorang murid saja, saya tak menyalahkan pendapat pembaca yang demikian, karena memang hal yang saya impikan untuk mendekonstruksi metode pedagogi di negri ini terlihat mustahil secara teoretis. 

Saya sudah sadar akan hal itu semenjak saya membaca Descartes ketika berada di bangku SMP, kata Descartes dalam bukunya "Diskursus de la metode", untuk mendekonstruksi suatu system, tak akan berhasil bila hanya memotong dahan atau batangnya, yang akan berhasil ialah bahwa ketika anda mencabut hingga akar-nya.

Sistem Pendidikan kita juga seperti itu, karena sudah terlanjur menjadi pohon ceri, tak dapat kita ubah menjadi pohon mangga kecuali dengan mencabut akar dan mengganti pohonnya, itu yang kita pahami secara teoretis.

Lain jika bicara soal metodis, pohon ceri memang tak bisa dilanjutkan (cangkok) dengan pohon mangga, namun pohon ceri dapat hidup berdampingan dengan pohon mangga, bila pohon mangga kita tanam di sebelahnya, yang akan lebih diminati ialah pohon mangga karena lebih manis, dalam artian menciptakan sekolah atau sistem Pendidikan baru yang mengutamakan substansi moral dan intelektual ketimbang embel-embel formal, seperti apa yang dilakukan Pak Julianto Eka Putra dengan Selamat pagi Indonesia-nya, atau Kang Irfan Amalee dengan Peacesantren-nya.

Tapi tetap, kita tak dapat meninggalkan Pendidikan formal yang semakin ke sini bukan malah menuju kecerdasan, namun malah menuju dekadensi pikiran. 

Ini yang akan saya jadikan sebagai topik Utama tulisan ini, yaitu problematika murid yang hanya ingin mengincar ijazah untuk kerja, bukan mencari ilmu untuk mengetahui dan mengubah dunia (yang saya sebut sebagai murid teler), juga problematika sekolah beserta guru kapitalis juga egosentris yang memberantas para murid kritis (saya sebut sebagai sekolah totaliter), saya akan mengupasnya secara filosofis seperti pada tulisan-tulisan sebelumnya. 

Sumber : Canva
Sumber : Canva
Membahas soal filsafat pendidikan, filsafat Pendidikan menurut B. Othanel Smith ialah filsafat yang menyelidiki hakikat pelaksanaan Pendidikan mulai dari tujuan hingga hasilnya.

Landasan filosofis Pendidikan yang dianut oleh Indonesia ialah apa yang terkandung dalam Pancasila, secara tautologis (hubungan) Pendidikan di Indonesia bertujuan Pancasila, Ber-latar belakang Pancasila, Dengan cara yang pancasilais dan hasilnya ialah pribadi yang pancasilais.

Mungkin itu yang terkandung dalam definisi sekaligus filosofi Pendidikan kita. Namun, kita tak boleh menyeleweng jauh dari landasan historis dan fungsi empiris dari adannya Pendidikan, karena menurut G.W.F Hegel, Roh Absolut dari segala fenomenologi (Kejadian) di alam semesta ini ialah sejarahnya, kalau meninggalkannya, maka ilmu atau ide yang terkandung didalamnya tak lagi bermakna alias mati. 

Kalau menggali landasan historis Pendidikan dari sudut definisi, tentunya sudah sejak manusia pertama Pendidikan telah ada, karena hakikat dari manusia sendiri ialah makhluk sosial, dimana ia tak bisa hidup tanpa sosialisasi, media sosialisasi sendiri ialah komunikasi, menurut Habermas, komunikasi antar pribadi juga bermakna sebagai saling mengajari, ajaran sendiri merupakan asas Utama daripada Pendidikan, begitu kiranya kalua saya ulas secara runtut tautologis (Berkaitan).

Namun, bila kita memahami landasan historis Pendidikan dari segi institusi, mungkin Plato dengan Academia-nya lah yang menjadi Pendidikan institusional pertama. Plato sendiri mengajarkan perihal metode kepada kita, yakni suatu ide yang tertangkap oleh pikiran lebih nyata ketimbang obyek yang dilihat oleh mata. 

Cara berpikir untuk menghasilkan suatu ide-lah yang menjadi tugas Utama Pendidikan menurut Plato, karena itulah landasan filosofis-historis dari Pendidikan institusional atau Pendidikan formal

Jadi penalaran lah yang menjadi asas metodis-historis-pedagogis Pendidikan yang fundamental daripada :

  1. Ontologi Ilmu Pendidikan, Pembahasan mengenai hakikat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan
  2. Epistemologi Ilmu pendidikan, Pembahasan mengenai hakikat objek formal-material ilmu pendidikan
  3. Metodologi Ilmu pendidikan,  Pembahasan tentang cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan
  4. Aksiologi Ilmu pendidikan,  Pembahasan tentang hakikat nilai kegunaan teoretis dan praktis ilmu pendidikan

Memasuki paradigma metafisis dalam ruangan Pendidikan, metafisika ialah suatu cabang filsafat yang menyelidiki suatu yang ada di balik realitas saat ini, apa yang tak dapat dijelaskan secara teoretis oleh sains, akan dijelaskan secara metodis oleh metafisika.

Dalam Pendidikan, Metafisika berperan  penting secara praktis, karena anak-anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan kuat untuk memahami segala sesuatu di sekitarnya, di sinilah akan timbul pertanyaan yang tak dapat dijelaskan secara ilmiah seperti: Kenapa manusia hidup? Siapa yang menghidupkan manusia? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. 

Di sinilah kita memasuki inti dari tulisan saya, yakni bagaimana bisa sekolah yang totaliter, dapat membuat murid teler. Secara filosofis dan historis, sekolah yang totaliter menyalahi dasar fundamental terciptannya Pendidikan institusional seperti apa yang saya uraikan, jadi dapat direduksi secara logis bahwa sekolah yang totaliter hanya memiliki hasrat kapitalis dan politis, walau secara substansial ia mendidik, tapi secara fungsional dan esensial, ia hanya mengangkat asas-asas legal-formal dan mengabaikan eksistensi dari pembangunan moral dan intelektual.

Yang paling menakutkan adalah ketika sekolah totaliter menggunakan paradigma metafisis historis (kisah-kisah lama) untuk memberi substansi dogmatis bahwa murid tak boleh mengkritisi gurunya, kadangkala ia mengutip dari kisah seorang tokoh maupun ulama', isi dogma tersebut ialah bahwa ulama' maupun tokoh-tokoh hebat tak pernah melawan gurunya dan selalu menaatinya, padahal itu tergantung pada pribadi gurunya.

Di sini secara otomatis Murid akan teler karena kehilangan idealisme-nya, dimana idealisme (ide) kata Schoupenhaur ialah dunia dari manusia, sekolah totaliter tersebut berhasil memusnahkan dunia muridnya.

Sekolah demikian-lah yang menghambat tumbuhnya kecerdasan bangsa ini, seharusnya secara konseptual, sistem totaliter tak dapat hidup dalam sistem demokrasi, tapi mungkin benar kata Popper bahwa demokrasi hanyalah sistem biasa yang tak ada efeknya terhadap totalitarianism, juga Zizek yang mengatakan bahwa demokrasi hanyalah sebuah ilusi institusional dan konstitusional.

Pesan saya kepada guru totaliter :

 "Kalau mengajar hanya sebatas mencari gaji, anda tak layak di puji. kalau Anda mengajar demi murid dan menggunakan hati, maka semua murid termasuk saya akan mengingat anda sampai mati"

 Untuk para murid :

 "Kritisi gurumu yang egosentris, hormati gurumu yang tak apatis, lakukan semua itu dengan sopan, tunjukkan bahwa kita berpendidikan"

Silahkan kirim tulisan ini pada sekolahmu, gurumu, orang tuamu dan semua orang yang anda rasa perlu.

Sekian terimakasih telah membaca, bila bermanfaat bagikan, bila dirasa kurang, sangat menerima kritik dan saran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun