Pembelajaran jarak jauh sudah seperti menjadi hantu yang siap menakut-nakuti dinamika pendidikan kita, mulai dari efektifitasnya hingga permasalahan paket data, ehhh belum kemalasan siswa. Di dalam tulisan ini saya mungkin akan tajamkan kritik kepada guru dan dinas pendidikan negara.Â
Mungkin judul di atas kelihatan skeptis sekali yah, saya saja awalnya agak takut untuk mengangkat tema ini, tapi saya tau, ini bukan tulisan untuk menghina dan semacamnya. Tulisan ini murni kekhawatiran saya yang mewakili beberapa siswa di indonesia, karena pertanyaan "masih perlukah guru?" adalah sebuah kritik menggunakan analisis a posteriori saya, ditambah juga analisis empiris kawan-kawan saya.Â
Sebelumnya, saya akan menjelaskan apa itu guru dan fungsinya. Menurut wikipedia, guru adalah seseorang yang mengajarkan suatu ilmu, ini yang kita sering salah pahami (menganggap guru hanya di sekolah saja), karena sebenarnya guru tak hanya ada pada sistem formal sahaja, disini saya akan membagi definisi guru itu meliputi dua hal.Â
Yakni guru formal dan guru moral-intelektual, berikut definisinya menurut saya: Guru formal, seperti yang sudah kita ketahui bersama, guru formal adalah guru yang mengajar di sebuah institusi pendidikan baik negri mau-pun swasta, contoh : Guru Pkn, Guru matematika, Guru Ipa dan sebagainya. Guru moral-intelektual, keberadaannya ada dimana saja, karena ia adalah orang yang mengajarkan suatu ilmu kepada kita dimana-pun dan kapan-pun, contoh : Orang tua, Orang yang kita ajak diskusi untuk menambah wawasan, Orang yang mengisi seminar dan sebagainya.Â
Namun, guru formal bukan berarti tak termasuk guru moral-intelektual, bisa saja ia masuk selama didalam hatinya apa yang ia ajarkan tak hanya meliputi kurikulum legal-formal, tapi juga berisi substansi dari asas moral-intelektual, karena kadang esensi dari sebuah kurikulum formal bertentangan dengan apa yang disebut akademisi sebagai intelektual.Â
Pasti pembaca sedang bertanya-tanya tentang apa maksud dari judul saya, paragraf diatas hanyalah sebuah muqodimah agar tak terjadi kesalah-pahaman di pikiran pembaca, bahwa sebenarnya saya masih menjaga adab terhadap para guru yang mengajar saya, justru karena saya perhatian maka saya kritisi esensi substantif-nya.Â
Di masa pandemi ini, ummat manusia di seluruh dunia sama-sama telah memasuki era digital teknologi, berdampak pada mudahnya mendapatkan informasi (walau simpang siur keberadaannya) dan mudahnya melakukan pekerjaan sehari-hari. Apalagi belajar, banyak sekali aplikasi digital yang memberikan fitur estetis dan mudah dipahami, bahkan aplikasi itu mengandung setidaknya mulai pelajaran Smp hingga Sma dan Smk, nahh disini kritik saya, jikalau banyak sekali aplikasi sedemikian rupa, apakah guru masih dapat mempertahankan fungsinya? Bukankah ini seperti persaingan antara guru dan era digital?.Â
 Memang ada guru yang justru bisa memanfaatkan digitalisasi ini (walau tak banyak), itu adalah guru yang saya apresiasi, yang saya kritik adalah guru yang hanya memberikan materi berupa PPT dan menyuruh murid memahaminya secara pribadi (tak dijelaskan). Kalau memang seperti ini sistem formal kita, siap-siap saja bangsa ini menerima dekadensi moral dan intelektual yang berkepanjangan, karena guru semakin kesini semakin kehilangan fungsinya.Â
Bedasarkan analisis empiris saya pribadi, di sekolah saya, guru sudah hampir kehilangan esensinya sebagai pengajar akademik, semua tempelan moral dan intelektual sudah berubah menjadi embel-embel formal. Saya tak mengkritik guru sebagai personal, yang saya kritik adalah guru sebagai fungsi akademik. Kalau memang aplikasi ruang guru, zenius, quipper dan sebagainya, lebih berpengaruh untuk intelektualitas bangsa, bubarkan sekolah!!! formalkan mereka!!!, karena sekolah sudah kehilangan nilainya sebagai institusi untuk mencerdasan bangsa.Â
Saya tau betul, mendikbud saat ini adalah seorang ahli dalam digitalisasi, apalagi kalau dilihat latar belakangnya, mungkin beliau juga sudah menyadari hal ini, tapi agak-agaknya beliau akan sungkan untuk mengkritik seperti saya. Saya sendiri sebagai bagian daripada bangsa ini, tentunya saya tak hanya mengkritisi, di paragraf terakhir saya akan memberikan solusi mutakhir untuk menyelesaikan problematika ini.Â
Seperti yang saya katakan di paragraf-paragraf sebelumnya, bila problematika ini dibiarkan, maka bangsa akan mengalami dekadensi moral dan intelektual berkepanjangan, berikut solusi saya :Â