Oleh : ~Muh Nanda Pratama~
Kompor Politik Indonesia tak pernah kehabisan gas. Terus nyala dan memanas, hingga mendidih berujung demo pada 4 november silam. Saling serang pendapat oleh elit-elit politik seakan ingin menunjukkan lidah mana yang lebih tajam dan di anggap paling benar. Tidak memikirkan apa dampak yang akan terjadi akibat ketajaman lidah mereka.
1 korban meninggal, 164 korban lainnya dirawat di rumah sakit. Sebanyak 130 korban di rawat karena terkena gas air mata (Kompas, 5/11/2016). Bahkan aparat yang menjaga agar demo berjalan sesuai prosedur ikut menjadi korban. “Anggota yang terluka ada delapan, ada dua anggota polri, TNI ada 5, dan satu damkar,” ujar Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Boy Rafli Amar, Jakarta, Sabtu (05/11/2016)
Dalam UU No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum mengemukakan bahwa, kegiatan demonstrasi memang halal dilakukan. Sebab sebagai wujud pemerintah dalam memberikan kebebasan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi. Namun perlu di ingat, dalam UU tersebut terdapat 5 asas yang perlu di junjung tinggi. Salah satunya adalah asas manfaat. Apakah demonstrasi 4 november lalu menghasilkan banyak manfaat? Ataukah sebaliknya?
Istilah yunani mengatakan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan). Dalam konteks demokrasi cenderung berkonotasi “suara mayoritas adalah suara kebenaran”. Apabila keduanya di kaitkan, maka akan di terjemahkan secara keliru bahwa “suara terbanyak adalah suara Tuhan”. Seluruh hal yang di perintahkan Tuhan mutlak adalah kebenaran, namun suara mayoritas sekalipun tidak ada yang bisa menjamin bahwa itu benar.
Banyak kicauan beredar pasca demonstrasi 4 november, berlomba menuduh siapa yang menjadi biang keladi dari rusuhnya para demonstran. Bahkan sebagian besar mengatakan semua itu adalah tanggung jawab pemerintah. Sudut pandang mereka mengarah pada kinerja pemerintah yang lamban, sehingga mereka menyimpulkan semua kerusuhan ini berawal justru di pelopiri oleh pemerintah itu sendiri.
Para demonstran cenderung berfikir mereka adalah benar, mereka merasa mewakili suara berjuta-juta masyarakat Indonesia, sehingga di dukung tuhan. Namun perlu di tekankan kembali, mereka bukanlah suara tuhan. Tuhan tidak menyukai pertumpahan darah, maka mengapa masih berfikir cara yang di lakukan oleh mereka adalah benar di mata tuhan.
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri (Soekarno). Memang cerdas, Presiden pertama kita ternyata telah memperkirakan betapa beratnya perjuangan pasca kemerdekaan. Begitu banyak pergolakan pasca kemerdekaan Indonesia, apabila di lihat berdasarkan kronologi dapat kita ketahui sebagai berikut :
- Berawal dari sejarah orde lama (1950-1965).
Masa dimana pergolakan politik terjadi di pertengahan tahun 1960an. Berawal adanya gerakan G30/SPKI yang membunuh 6 perwira paling senior TNI. Sehingga pada puncaknya presiden pertama Indonesia digantikan setelah 21 tahun menjabat.
- Orde Baru (1966-1998)
Gejolak berawal saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, serta ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah yang terbilang lamban dan korupsi yang merajalela. Saat itu terjadi resistensi yang sangat kuat oleh para mahasiswa. Demo terus terjadi, hingga puncaknya saat tragedi trisakti yang memakan ratusan korban jiwa. Akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri karena tidak mampu menahan kerasnya gejolak saat itu.
- Reformasi (1998- Sekarang)
Setelah presiden Soekarno mundur, jabatan presiden kemudian di pegang oleh wakilnya yaitu BJ Habibie. Jabatan BJ Habibi tidak bertahan lama, lagi-lagi di sebabkan oleh kepentingan politik. Kesalahan terbesarnya di nilai oleh kaum oposisi ketika memperbolehkan di adakannya referendum provinsi Timor Timur (Sekarang Timor leste) sehingga menyebabkan pada tanggal 30 Agustus 1999 lepas dari NKRI. Hal ini menjadikan pihak oposisi terus menjatuhkan BJ Habibie, hingga pada akhirnya pada tahun 1999 laporan pertanggungjawabannya di tolak oleh MPR dan menjadi akhir dari masa jabatan presiden BJ Habibie.