Mohon tunggu...
Muh Miftakhudin
Muh Miftakhudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hahahihi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradigma Hukum Perdata Islam di Indonesia dan Cakupannya

21 Maret 2023   21:02 Diperbarui: 21 Maret 2023   21:45 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Paradigma Hukum Perdata Islam di Indonesia dan Cakupannya

1. Perlu diketahui bahwasanya kehidupan dalam bermasyarakat tidak luput dengan hukum. Hukum merupakan suatu yang mengikat, wajib dipatuhi, terdapat sanksi bagi yang melanggar, dan bahkan bersifat memaksa. Hukum perdata misalnya, yakni kumpulan peraturan yang menyangkut tentang keperdataan setiap individu yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di mana didalamnya terdapat hal-hal yang menyangkut keperdataan individu, seperti utang piutang, jual beli, dan lain-lain.

 Hukum Perdata Islam di Indonesia merupakan semua hukum yang mengatur hak-hak serta kewajiban perseorangan dalam lingkup Warga Negara Indonesia yang menganut ajaran agama Islam. 

Mengamati presisi dan deskriptif dari penjelasan tersebut, Bangsa Indonesia merupakan suatu negara dengan penduduknya yang mayoritas memeluk agama Islam. Hal ini membuat struktur hukum di Indonesia juga banyak menyinggung mengenai hukum Islam bahkan ada juga yang dikodifikasikan, seperti KHI. Dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia mengatur hal-hal yang menyangkut keperdataan masyarakat Islam di Indonesia seperti perkawinan, waris, zakat, wakaf, dan lain sebagaiannya.

2. Dalam hubungannya mengenai hukum perdata Islam di Indonesia, terdapat poin mengenai perkawinan. Konteks perkawinan ini memuat prinsip-prinsip perkawinan yang terdapat dalam lingkup hukum yang mengaturnya, yakni UU Nomor 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam. Prinsip perkawinan yang termuat dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 terdapat beberapa poin. Pertama, membentuk keluarga yang kekal. Maksudnya pernikahan ini dilaksanakan guna menyatukan kedua insan dalam lingkup pertalian pernikahan dengan harapan mampu menjalani kehidupan bahagia secara bersama-sama. 

Ke dua, sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Ke tiga, monogami terbuka dengan izin pengadilan untuk poligami. Yakni sesorang yang ingin melaksanakan poligami harus memiliki surat persetujuan poligami dari pengadilan. 

Ke empat, batas usia calon mempelai pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. Akan tetapi mengenai batas usia ini kemudian mendapatkan revisi dalam UU Nomor 16 Tahun 2019, yakni masing-masing mempelai pria dan wanita keduanya minimal berusia 19 tahun. Ke lima, putusnya perkawinan dengan putusan pengadilan. Maksudnya, pengadilan menjadi tempat penyelesaian perkara perkawinan yang sah dalam lingkup negara Indonesia. Ke enam, kedudukan suami dan isteri seimbang.

 Prinsip-prinsip mengenai perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Yang mana prinsip tersebut diantaranya :Pertama, adanya persetujuan atau suka rela kedua mempelai. Dimana dalam konteks pernikahan pada dasarnya tidak terdapat unsur paksaan didalamnya. 

Ke dua, larangan kawin karena pertalian nasab, pertalian kerabat semenda, pertalian persusuan. Ke tiga, terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan. Ke empat, tujuan perkawinan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah warrohmah. Ke lima, hak dan kewajiban suami isteri seimbang. Maksudnya, diantara suami dan isteri ini tidak terdapat kesenjangan maupun gap mengenai hak-hak serta kewajiban yang harus terpenuhi diantara keduanya.

3. Dalam pernikahan menurut penulis seyogyanya dituliskan kepada petugas yang mengurusi pencatatan perkawinan. Penulis sangat mempercayai pentingnya pencatatan perkawinan ini dalam lingkup sosiologis, religious, dan yurisdis. Dimana sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan akan begitu memilikibpengarus yang sangat signifikan dalam lingkup maupun poin yang telah penulis cantumkan sebelumnya.

Pengaruh sosiologis mengenai perkawinan yang tidak dicatatkan yakni pelaku perkawinan akan mendapat gunjingan maupun masyarakat tersebut akan mencurigai perkawinan diantara keduanya karena tidak adanya bukti otentik yang mampu ditunjukan. Kehidupan sosial tidak luput dari orang-orang yang mengetahui mengenai pentingnya pencatatan perkawinan sehingga bagi mereka yang melaksanakan perkawinan tidak dicatatkan akan berpotensi tinggi mendapat cemoohan bahkan diasingkan dalam lingkup masyarakat tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun