Oleh: Muhammad Luthfi Aldila Tanjung, S.H., CCD *
Sampai hari ini (22/10/2020), perdebatan mengenai mana draf Rancangan UU Cipta Kerja (RUUCK) yang bisa dijadikan rujukan analisa secara resmi masih menjadi tanda tanya. Turunnya berbagai elemen masyarakat dalam pelbagai aksi menolak RUUCK di berbagai daerah di Indonesia seolah melegitimasi fakta bahwa ada yang salah pada negeri ini.
Dari versi pertama sejumlah 905 halaman tanggal 5 Oktober, versi kedua 1.052 halaman di tanggal 9 Oktober, versi ketiga 1.035 di tanggal 12 Oktober pagi dan versi keempat 812 halaman pada 12 Oktober malam yang menurut penuturan wakil ketua DPR, Azis Syamsudin dalam konferensi pers (13/10/2020) adalah draf final RUUCK merupakan rentetan drama nirfaedah yang pada akhirnya membawa rakyat dalam pusaran kebingungan. Terkini, per hari ini 22 Oktober bahkan muncul draf terbaru versi 1.187 halaman sebagaimana diakui Mensesneg Pratikno dan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas.
Jujur, ketidakpastian draf mana yang digunakan berhasil membuat saya dan para praktisi hukum lain bingung dalam melakukan riset. Meskipun jika dilihat dari kacamata hukum, secara legalitas RUUCK ini memenuhi semua unsur sebagaimana diatur dalam UU 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UU PPUU) sebab RUUCK dibentuk melalui mekanisme dan prosedur pembentukan suatu UU dimulai dari perencanaan dalam prolegnas (program legislasi nasional), sampai dengan pengesahan pada rapat ditingkat paripurna.
Namun yang perlu digarisbawahi, bagi saya RUUCK ini kehilangan legitimasinya.
Hal ini ditandai dengan meningkatnya gejolak di tengah masyarakat terkait interpretasi terhadap RUUCK sehingga masyarakat kehilangan 'rasa memiliki' terhadap produk hukum a quo. Padahal akomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan UU sesungguhnya sudah tertuang dalam UU PPUU.Â
Dalam bab X pasal 88 terkait penyebarluasan RUU dijelaskan, proses penyebarluasan harus dilakukan sejak penyusunan prolegnas. Hal tersebut untuk memberikan informasi dan masukan dari masyarakat.
Bahkan, dalam bab XI terkait partisipasi masyarakat diatur, masyarakat berhak memberikan masukan, baik lisan maupun tulisan. Tidak cukup hanya itu, RUU semestinya dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat mengingat UU dengan konsep Omnibus Law yang notabenenya menyederhanakan ratusan pasal dari sekian puluh UU menjadi satu UU masih asing di telinga masyarakat awam. Maka menjadi aneh jika pembentukan RUUCK ini disamakan dengan UU lain yang bukan berkonsep Omnibus Law.
Dengan demikian, seharusnya tidak wajar perbedaan persepsi terkait isi RUU tersebut jika mekanisme tadi berjalan dengan baik. Keterlibatan masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembentukan suatu UU. Sebab seluruh produk akan bermuara pada proses kesejahteraan masyarakat. Keberadaan aspirasi masyarakat dalam pembentukan UU akan meningkatkan legitimasi, transparansi, serta responsivitas sehingga UU yang dihasilkan akan melahirkan kebijakan yang akomodatif.
Dan jika masyarakat tidak merasa memiliki UU Cipta Kerja, saya rasa tidak berlebihan kiranya jika menyebut bahwa RUUCK ini sudah kehilangan legitimasinya.
Kondisi ini tentu relevan dengan pertanyaan inti yang akan dijawab dari tulisan saya kali ini, yakni apa dampak dari RUUCK terhadap hidup kita? Dan mengapa para pekerja kerah putih yang notabenenya merupakan pekerja kelas menengah perlu menyadari apa dampak dari RUUCK?
Mari kita bahas.
Dibawah ini adalah sedikit hasil riset saya hanya pada ketentuan yang merugikan pegawai secara langsung menggunakan draf yang diklaim final oleh DPR berjumlah 812 hal dengan UU 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UUK). Untuk memudahkan anda membaca dan membandingkan, saya akan membuat tabel yang berisikan sampel perbedaan dan pendapat saya mengenai isi pasal maupun ayat.
Saya harap anda menjawabnya dengan bijak.
Karena siapapun rentan terdampak RUUCK. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Centrifugal: Bagaimana pemerintah dan DPR bersekutu menciptakan kegaduhan
Pertarungan isu poin-poin dalam draf RUUCK menjadi hiasan lini massa media sosial belakangan ini. Turunnya aksi penolakan di berbagai daerah di Indonesia seolah menggambarkan masyarakat yang terprovokasi oleh draf RUU yang salah. Bahkan, presiden sampai jajaran menterinya berulang kali mengutarakan, jangan mudah termakan isu hoaks RUUCK.
Namun bagi saya, bukan itu titik masalahnya.
Merujuk pada data yang diunggah di situs kemkes.go.id yang diakses pada 22/10/2020 pukul 01:46 WIB, Kasus positif virus corona (Covid-19) di Indonesia bertambah 4.267 orang. Dengan demikian, total telah ada 373.109 kasus positif virus corona di tanah air sejak kasus pertama kali diumumkan pada 2 maret lalu. Maka, siapa yang akan mengelak bahwa setiap hari penambahan kasus positif disertai kasus meninggal mengalami pelonjakan yang sigifikan?
Belum lagi fakta bahwa Indonesia tengah berada pada jurang resesi ekonomi ditandai dengan pertumbuhan minus di dua kuartal berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi terus menurun hingga menyentuh level minus 5 persen lebih. Tak hanya itu, pertumbuhan kredit perbankan juga sangat rendah yakni 0,6 persen year-on-year per Agustus 2020 (data Bank Indonesia). Padahal bank sudah dibantu dengan penempatan dana pemerintah.
Ketidakmampuan pemerintah dalam menangani pandemi disebut-sebut sebagai salah satu penyebab dari memburuknya kondisi ekonomi. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga terjadi akibat pandemi.Â
Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, diperkirakan sekitar 6 juta lebih pekerja kena PHK atau dirumahkan. Jumlah tersebut diprediksi akan terus bertambah selama pandemi. Pasalnya, UMKM di Indonesia terus melakukan pengurangan pegawai. Padahal, selama ini UMKM menjadi tulang punggung perekonomian nasional dan menjadi jaring pengaman saat krisis terjadi. Contohnya pada saat krisis ekonomi 1998.
Artinya, bukankah perekonomian (dapat dikatakan) tengah berada di bibir jurang keruntuhan karena pemerintah yang tidak sanggup mengendalikan pandemi? Lantas mengapa diperlukan UUCK yang notabene-nya bukan merupakan hal yang urgent untuk diundangkan? Apakah empati pemerintah (sebagai inisiator UUCK) dan DPR telah tiada karena mempertontonkan proses pengundangan yang memiliki isu super-sensitif?Â
Dan yang paling ingin saya pertanyakan adalah, apakah dengan ditundanya proses pengundangan UUCK (misalnya 2-3 tahun lagi) menjadikan negara rugi puluhan trilyunan rupiah sehingga kita diharuskan terburu-buru dalam prosesnya? Sebenarnya apa yang menjadi urgensi?
Lalu siapa sebenarnya yang membuat gaduh? Masyarakat? atau pemerintah dan DPR?
Sampai pada sederet pertanyaan tadi saya justru teringat satu adagium ciptaan Cicero yang nampaknya baik pemerintah maupun DPR tengah menggunakan gaya sentrifugal (re: adalah gaya yang menjauhi pusat putaran) pada visi besarnya dalam menginisiasi UUCK (investasi) yang justru menciptakan antiklimaks berupa kegaduhan di tengah pandemi.
'salus populi suprema lex esto' keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi
Pemerintah dan DPR saat ini telah menjauhi pusat putaran (keselamatan rakyat) dan lebih melihat investasi sebagai hukum tertinggi saat ini.
Fatal
Saya bersaksi bahwa saat ini seluruh mata dari masyarakat awam, akademisi, praktisi, professional, dlsb yang menyaksikan proses pembentukan peraturan-perundang-undangan ini memiliki pandangan yang identik, yakni pandangan yang menyatakan bahwa pembentukan ini dilakukan dengan amat sangat tidak berdasar dan sangat meludahi semangat pembentukan perundang-undangan dalam UU 12 2011 tentang pembentukan peraturan-perundangan.
Dimana letak kesalahan fatalnya?
Jawabnya: perubahan substansi
Pada klaster ketenagakerjaan dalam RUUCK, Kompas menemukan 3 pasal yang berubah dari draf awal yang disahkan dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 5 Oktober 2020 (905 halaman) dengan versi terakhir yang diklaim DPR final yakni versi 12 Oktober 2020 (812 halaman) terdiri dari pasal 79, pasal 88A dan pasal 154A (1).
Menambahkan temuan kompas a quo, saya hanya perlu mencantumkan satu temuan 'kecil' yang bagi saya sudah sangat fatal karena terbukti menghapus satu frasa yang sebelumnya banyak ditentang banyak pihak (termasuk saya), yakni pasal 156 ayat 2 khususnya pada frasa 'paling banyak'.
Ini tentu merupakan cara yang tidak lazim di parlemen manapun di seluruh dunia dan cenderung cacat hukum secara formil dalam proses pembentukan sebuah UU, sebab ketika sebuah RUU disahkan melalui rapat tertinggi di tingkat paripurna, maka sudah sepatutnya sebuah draf tidak dirubah secara substansi. Proses labil yang terang benderang ini tentu meludahi UU PPUU yang telah dibentuk secara sakral oleh mereka sendiri.
Padahal, pembentukan UU adalah produk hukum yang bersifat publik. Tetapi mengapa prosesnya bahkan jauh lebih buruk dari produk hukum yang bersifat privat di level terbawah masyarakat?
Terus terang, bagi saya ini betul-betul perbuatan yang sangat pantas untuk digolongkan dalam perbuatan kejahatan. Mengutak-atik titik atau koma saja sudah berbeda maknanya. Apalagi mengubah kata. Terlebih ini dilakukan pasca pengesahan pada rapat Paripurna 5 Oktober 2020.
Bayangkan misalnya, jika anda dan saya sudah menyepakati sebuah perjanjian jual beli, lalu dengan seenak jidat saya mengubah perjanjian tanpa sepengetahuan anda. Apakah anda akan diam?
Maka tentu saja anda sepakat bahwa ini merupakan perbuatan yang sangat fatal.
Namun tentu bukan DPR namanya jika tidak membuat 'kegaduhan' dalam menyelundupkan pasal ilegal. Temuan BBC dalam laporannya bertajuk #BBCIndonesiaMembahas menjelaskan dengan sederhana betapa terpampang jelas rekam jejak DPR dalam menyelundupkan pasal, di antaranya penyelundupan pasal kretek dalam draf RUU Kebudayaan tahun 2015, penambahan pasal dalam UU Penyelenggaraan Pemilu tahun 2007 dan terakhir perubahan ketentuan dalam pasal yang mengatur usia pimpinan KPK pada tahun 2019.
Maka, apa perlu anda para white-collar (re: pekerja-kantoran-yang-tidak-mau-disebut-buruh) akan menggantungkan nasib kepada produk hukum karya mereka dan memilih bungkam pada keadaan?
Silahkan pilih jalan anda. Semoga tulisan saya kali ini bermanfaat.
****************************end***********************************
* Merupakan pria keturunan Minangkabau yang mencintai dunia Hukum. Selain meniti karir Hukum di sektor Perbankan, ia juga tergabung sebagai anggota PAHKI (Perkumpulan Ahli Hukum Kontrak Indonesia).
** Pernyataan sanggahan: Publikasi ini dimaksudkan untuk tujuan informasi dan bukan merupakan saran Hukum. Setiap pandangan yang tertuang merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili organisasi manapun. Setiap penggunaan materi yang terkandung di dalamnya adalah risiko anda sendiri dan penulis dibebaskan dari segala risiko hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H