Mohon tunggu...
Muhammad L Aldila
Muhammad L Aldila Mohon Tunggu... Pengacara - Meester in de Rechten

merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Tukang komentar isu-isu hukum, politik dan kebijakan publik. Tulisan saya lainnya bisa akses ke https://muhmdaldi.weebly.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mempertanyakan BREXIT dalam Konteks Kemanusiaan

13 Juli 2016   04:41 Diperbarui: 13 Juli 2016   05:03 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak 23 juni 2016 lalu, seluruh surat kabar di seluruh antero dunia serempak memberitakan satu topik besar yang diprediksi akan mengubah peta geopolitik, geoekonomi dan geostrategi dunia: Brexit (Britain-Exit atau British-Exit). Sebuah istilah yang menggambarkan kondisi hengkangnya United Kingdom dari blok Uni Eropa (UE) yang beranggotakan 28 Negara anggota.Sebelum membahas lebih dalam mengenai Brexit, Ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu perbedaan dari (a) Britain/United Kingdom, (b) Great Britain dan (c) England agar tidak terjadi salah kaprah dalam menetapkan: siapa sebenarnya yang menyatakan keluar dari Uni Eropa (UE). Great Britain atau “Inggris Raya” meliputi Inggris, Wales dan Skotlandia. 

Sementara ada pula penyebutan United Kin gdom (UK) sebagai akronim dari United Kingdom of Great Britain and Northen Ireland atau “Persatuan Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara”. Penyebutan UK sering disederhanakan menjadi hanya Britain. Yang patut untuk diketahui, bahwa UK Berbeda level dengan Great Britain, UK berada satu tingkat lebih luas daripada Great Britain. 

Sebab UK meliputi Inggris, Wales, Skotlandia dan ditambah Irlandia Utara. UK memiliki bentuk pemerintahan monarki konstitusional dengan dipimpin oleh kepala negara Ratu Elizabeth II sementara kepala pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri David Cameron.

Menerjemahkan Britain menjadi 'hanya' inggris mungkin benar. Tapi tidak jika anda sulit membedakan antara Great Britain (inggris raya) dengan England (inggris). Inggris tidak sama dengan Inggris Raya meski sama secara tekstual. Inggris adalah bagian dari Inggris Raya. Ia sekaligus pusat kekuasaan dari Inggris Raya, UK, British Overseas Territories dan Commonwealth of Nations. Ini persis seperti ketika kita menyebut pulau sumatera sebagai bagian dari Indonesia atau jakarta sebagai kota pusat pemerintahan berada. 

Adapula istilah lain yang tak kalah populer, yakni British. Sejak akhir abad ke-20, British diyakini hidup sebagai suatu karakter/identitas yang lekat akan jiwa patriotisme dan nasionalisme bangsa Inggris. Beberapa ahli berpendapat, bahwa British hidup sebagai identitas nasional dan semestinya kurang tepat jika disebut sejajar dengan sebutan entitas negara layaknya Jerman atau Prancis. Kurang lebih ia persis seperti kita menyebut 'ketimuran' sebagai karakter, identitas atau ciri yang bersemayam dalam pribadi seorang warga negara Indonesia. 

Namun, ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa British sebenarnya merupakan persamaan kata dari British Island atau Kepulauan Inggris. Dari penjelasan mengenai UK, England dan Great Britain diatas, dapat disimpulkan bahwa pada kasus Brexit ini, yang menyatakan keluar dari keanggotaan UE adalah UK. Sebuah negara kesatuan yang berdaulat penuh.

perbedaan england/britain, great britain dan united kingdom
perbedaan england/britain, great britain dan united kingdom
Sejarah mencatat, trah Kerajaan Inggris memiliki pengaruh kekuasaan yang begitu mencengkram kuat di atas bumi. Ia diyakini berada diatas tingkatan level negara adidaya. Terlebih oleh adanya ratu sebagai simbol yang konstan, kekal dan terus menjabat. Selain memimpin UK, Ratu Elizabeth II juga memimpin dua aliansi besar yang tersebar diatas muka bumi. Pertama, British Overseas Territories;  dan kedua, Commonwealth of Nations. 

British Overseas Territories atau “Wilayah Seberang Laut Britania” merupakan empat belas wilayah yang bukan merupakan bagian yang berdekatan secara fisik dari UK (bekas pengaruh jajahan UK atau “Imperium Britania”) tetapi berada dibawah kedaulatan yurisdiksi UK. Salah satu dari ke-14 wilayah yurisdiksi dibawah ampuan UK adalah Gibraltar. 

Untuk diketahui, tiga 'Wilayah Seberang Laut Britania' yaitu Shetland Island, Orkney Island dan Gibraltar termasuk kedalam wilayah yang melaksanakan referendum Brexit [1]. Gibraltar terletak di pintu masuk laut mediterania yang dijadikan pangkalan permanen militer Pasukan Angkatan Laut oleh inggris sejak 1990. Ini memungkinkan Inggris untuk mengontrol jalur perdagangan Atlantik dari dan ke Mediterania. Sementara Commonwealth of Nations atau "negara persemakmuran", yakni persatuan organisasi non-politik yang bersifat sukarela dimana organisasi beranggotakan 53 negara-negara bekas jajahan dan non-jajahan Inggris. 

Kedua anggotanya sendiri merupakan tetangga langsung kita, Malaysia dan Singapura.  Dari pemaparan singkat diatas, artinya kita sepakat bahwa Ratu Elizabeth II merupakan suatu simbol kekuasaan yang berbahaya. Sedikit saja ada pergerakan politik atas keinginannya, Maka secara otomatis pergerakan geostrategi dan geopolitik dunia juga akan berubah. Itu juga sekaligus tanda bahwa ia mulai menerapkan strategi yang tidak pernah bisa diprediksi oleh siapapun. Dan Brexit, merupakan salah satu 'mainan' terbarunya. 

BREXIT

Kini, kondisi UK persis dengan kondisi Pilpres 2014 dan atau kondisi Pilgub Jakarta yang terpecah dalam dua kubu: lover atau hater. Bedanya UK terpecah kedalam dua kubu Remain “tetap” dan kubu Leave “meninggalkan” terkait status keanggotaannya dalam UE. Uni Eropa (sebelumnya bernama Masyarakat Ekonomi Eropa) didirikan pertama kali pada 1973 dengan motto “unity in diversity” oleh Perancis, Italia, Belanda, Belgium, Luksemburg dan Jerman yang tujuan awalnya ialah untuk mengakhiri konflik berkepanjangan perang dunia II. 

Namun selama 20 tahun terakhir pasca perang dunia II berakhir, UE perlahan berubah menjadi entitas kesatuan negara-negara yang fokus pada kemitraan ekonomi (produknya meliputi pasar tunggal atau single market dan atau penggunaan mata uang tunggal “euro” atau single currency) dan juga fokus pada kemitraan politik antar negara. 

UE fokus di persoalan kerjasama ekonomi, lingkungan, transportasi, hak konsumen, hingga –yang belakangan terhangat, adalah persoalan kebijakan imigran. UK masuk kedalam blok UE pada 1973. Bersama Prancis dan Jerman, UK masuk kedalam 3 negara penopang ekonomi terbesar UE atau dalam kata lain termasuk sebagai negara penyumbang iuran pajak terbesar untuk UE.

european-commission-578562593e23bd880cad4a0f.png
european-commission-578562593e23bd880cad4a0f.png
David Baker dan Pauline Schnapper dalam penelitiannya berjudul Britain and The Crisis of The European Union (2015) [2] menyebutkan bahwa friksi ini telah lama berlangsung pada perbincangan bawah tanah karena disebabkan oleh lima poin: (a) permasalahan politik ekonomi antara UK dengan UE; (b) Euroscepticism; (c) permasalahan ketenagakerjaan (terkait pengangguran dan imigran); (d) krisis demokrasi dalam internal UK; dan (e) krisis kepercayaan politik UK terhadap UE.

Baker dan Schnapper menyajikan tesis, bahwa baik UK dan UE sama-sama sedang dilanda krisis politik, ekonomi dan sosial yang saling terkait satu sama lainnya. Dalam kasus UK dibidang ekonomi misalnya, lambatnya pemulihan keadaan ekonomi yang dipicu merosotnya nilai mata uang Poundsterling ke titik terendah sejak 2009 [3telah membuat keadaan ekonomi UK terseok-seok dan membuat kesenjangan kaya dan miskin semakin melebar [4]. Pada oktober 2014, Social Mobility and Child Poverty Commission UK melaporkan bahwa UK berada di ambang bahaya karena kesenjangan kaya dan miskin dikhawatirkan menjadi kondisi yang permanen.

Sebanyak lima juta pekerja diprediksi akan terperangkap pada kondisi gaji yang rendah. Gelombang pengangguran besar-besaran bagi para pemuda UK juga diprediksi akan berlangsung dengan cepat. Laporan juga memprediksi akan terjadi penurunan kepemilikan rumah selama 20 tahun kedepan. Komisi juga memprediksi kenaikan angka kemiskinan selama satu dasawarsa terakhir untuk pertama kalinya [5]. Kenyataan ini juga dibenturkan dengan kewajiban UK untuk membayar iuran pajak dalam jumlah yang besar kepada UE [lihat gambar 4] sementara keadaan ekonomi UK sedang mengalami defisit.

Sebagian warga UK mengatakan, krisis tersebut disebabkan oleh blundernya kebijakan UE yang mengambil kebijakan 'buka pintu' bagi para eksodus imigran dari Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika dan Asia. Ekses tersebut dianggap telah menyebabkan memanasnya persaingan tenaga kerja dalam negeri, menggerogoti finansial UK, mengancam stabilitas keamanan dalam negeri –menyusul aksi teror yang banyak dilakukan oleh imigran di sebagian negara Eropa, serta membuat UK terasing di negeri sendiri. 

Memanasnya situasi di UK ini kemudian memicu merebaknya gerakan-gerakan untuk menentang UE. Pertama, menguatnya gerakan “Euroscepticism” atau gerakan keraguan terhadap sebagian kebijakan UE. Gerakan ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1994, namun sejak 2015 gerakan ini mulai kuat menjangkiti pada pertarungan pemilu UK. Gerakan ini juga sekaligus penanda dimulainya perenggangan hubungan antara UK dengan UE. Kemudian gerakan kedua yang lebih kontroversial, yakni muncul gerakan lanjutan dengan sekala besar yang disebut gerakan Anti-UEropa atau “Anti-Europanism”[6]. Pada gerakan kedua, muncul wacana extreme yaitu keluar dari keanggotaan UE.

Tanpa action dalam panggung politik, maka sebuah gerakan dipastikan akan berakhir sebagai onggokan wacana. Mewabahnya isu Euroscepticism dikalangan masyarakat UK ditangkap dan diolah dengan baik oleh United Kingdom Independence Party (UKIP) atau Partai Kemerdekaan UK. 

UKIP merupakan partai berpaham Liberal/Libertarianisme dan berideologikan ekstrem kanan/kanan jauh (nasionalisme otoriter). Dibawah kepemimpinan tangan dingin Nigel Farage sejak 2009, melalui strategi kampanye Euroscepticism (anti-imigran & anti uni eropa) sebagai isu tunggal, partai berhasil menorehkan catatan prestasi yang mengejutkan. 

Misalnya, dalam Pilkada inggris tahun 2013 serta pemilihan legislatif tingkat UE tahun 2014 dimana UKIP memperoleh pangsa pasar suara terbanyak. UKIP juga berhasil mencatatkan rekor pada pemilihan umum UK di bulan Mei 2015 dengan memperoleh suara terbesar ketiga dan berhasil mendapat satu kursi di DPR tingkat UK atau House of Commons. 

Ini menunjukkan bahwa isu Euroscepticism yang sebelumnya sporadis berhasil dirakit menjadi selongsong kekuatan sentral untuk menebas rival politiknya, Partai Liberal Demokrat, Partai Buruh dan Partai Konservatif. Serta, juga dapat digunakan sebagai kaliber mematikan dalam mengeksekusi misi politiknya terhadap Uni Eropa: Brexit.

kampanye partai kemerdekaan UK yang provokatif
kampanye partai kemerdekaan UK yang provokatif
David Cameron. Ketua partai konservatif, tokoh 'remain' sekaligus calon perdana menteri petahana UK -pada masa pemilu saat itu- sempat meradang. Sebab menjelang pemilihan umum yang akan digelar pada mei 2015, terjadi pergolakan internal hebat dalam partai yang ia ketuai. Secara mengejutkan salah satu teman satu partainya sekaligus walikota london, Johnson Boris tiba-tiba menyatakan dukungan pada kampanye 'leave' pada februari 2015 [7atau tepat tiga bulan sebelum masa pemilihan berlangsung. 

Gejolak yang tak terelakkan tersebut telah menyebabkan terjadinya 'matahari kembar' di tubuh partai konservatif. Betapa tidak, Cameron yang merupakan tokoh 'remain' harus melawan rekan dalam tubuh partainya sendiri. Sejak saat itu, keadaan politik UK mulai naik ke titik nadir tertinggi. Saking mencekamnya situasi demikian hingga membuat media UK, The Guardian menamakan keadaan ini sebagai suatu 'hambatan politik yang sangat serius' bagi David Cameron, sang Perdana Menteri UK [8].

Hilangnya dukungan dari rekan separtai tentu merupakan pukulan telak bagi David Cameron. Beruntung pada sisa masa kampanye hingga pemilu diselenggarakan (7/5/2015) janji Cameron bahwa pemerintahnya akan mewakili semua kepentingan di UK ditepati. Janjinya ditepati dengan mengutus Philip Hammond selaku Sekretaris Negara untuk luar negeri dan urusan persemakmuran UK pada tanggal 28 Mei 2015 silam untuk mengirimkan usulan wacana referendum kepada House of Commons UK dan House of Lords UK. 

Usulan referendum kemudian disetujui oleh House of Lords pada 14 Desember 2015 dan pada 17 Desember 2015 usulan tersebut juga disetujui oleh Ratu Elizabeth II. Hasilnya, pada 20 Februari 2016 Cameron mengumumkan bahwa referendum akan berlangsung pada Kamis 23 Juni 2016.

Referendum memang dibenarkan menurut hukum Uni Eropa. Dalam Ayat 1 Pasal 50 Treaty Lisbon 2007 atau perjanjian Lisbon [9telah mengatur: “Any Member State may decide to withdraw from the Union in accordance with its own constitutional requirements” atau terjemahan bebasnya: setiap negara anggota dapat memutuskan untuk menarik diri dari persatuan sesuai dengan persyaratan konstitusional sendiri. 

Klausa “persyaratan konstitusional sendiri” dimaksud merujuk pada syarat-syarat internal yang ditetapkan sendiri oleh suatu negara anggota. Misalnya UK yang merasa sudah tidak sepaham dengan UE, tidak lagi mendapat keuntungan jika berada dalam UE, dsb, dsb. Jika sudah, negara anggota berhak menentukan sikap secara serius. Apakah ia akan meneruskan keanggotaannya dalam UE atau keluar. Bentuk 'penentuan sikap' tersebutlah yang disebut sebagai referendum.

Ayat 2 Pasal 50 Perjanjian Lisbon [10] menyebutkan bahwa UE akan 'memberikan izin' kepada UK untuk melakukan referendum dalam satu kondisi: jika mayoritas European Council dan European Parliament sepakat atas usulan UK. Tentunya setelah melalui proses musyawarah untuk mufakat yang melelahkan. Kesepakatan tersebut selanjutnya akan diundangkan oleh DPR UE atau European Parliament dengan nama European Union Referendum Act atau Undang-undang Referendum UE yang berlaku sebagai peraturan pelaksana bagi negara anggota yang akan melakukan referendum. Dalam kasus ini, DPR UE mengundangkan European Union Referendum Act 2015 sebagai dasar hukum UK untuk melaksanakan Referendum [11].

Mendidihnya situasi UK saat itu sebenarnya mengingatkan kita bahwa Indonesia sebetulnya familiar dengan 'referendum'. B.J Habibie, saat menjabat sebagai Presiden RI pada 1999 pernah menawarkan inovasi politik tersebut kepada Timor-Timor. Meskipun langkahnya merupakan langkah yang kontra-populer dan beresiko mengalami komplikasi multidimensi di masa mendatang, namun ia tetap teguh dengan pilihannya. Sebab jika dikaji dari segi ilmiah. 

Utamanya melalui sisi Hukum demokrasi dan konstitusi, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan usulan referendum kepada suatu entitas wilayah yang sedang dilanda krisis identitas. Karena prinsip self-determination (hak komunitas untuk menentukan nasibnya sendiri) sesungguhnya telah berlaku sebagai sokoguru bagi peradaban demokrasi modern. Indonesia yang menyatakan diri merdeka dari belenggu penjajah pada 17 Agustus 1945 misalnya, merupakan bukti nyata atas tesis tersebut meski tidak didahului oleh proses referendum.

 KONKLUSI

Perdebatan tentang Brexit yang pada awalnya didominasi masalah ekonomi, seperti keengganan tunduk pada aturan pajak Uni Eropa dan kemudian bergeser ke persoalan identitas dan imigran merupakan persoalan bersama skala dunia yang superserius. Brexit penting bukan hanya karena menyangkut pajak, pekerjaan, maupun bukan hanya karena dalam kapasitas menjaga identitas dan tradisi dari serbuan imigran dan invasi budaya asing. Tapi Brexit penting untuk dicermati sebab ia mulai tumbuh dan mekar sebagai ikon 'ketidakpedulian' manusia terhadap kondisi manusia lainnya.

kuburan di atas laut | source: BBC.co.id
kuburan di atas laut | source: BBC.co.id
Foto menyayat hati diatas merupakan gambar yang dimuat ulang oleh situs berita BBC pada 23 Juni 2016 [12]Untuk diketahui, foto tersebut merupakan sebuah monumen 'sementara' di lepas pantai Turki yang dibuat untuk mengenang sekitar 4.000 orang pengungsi Suriah yang meninggal dalam perjalanan putus asa mereka mencari tempat aman di Eropa. 

Batu nisan 'sementara' tersebut dibuat dari 200 bongkah styrofoam, dihias dengan meyakinkan hingga mirip batu asli berbahan marmer. Ia merupakan wahana manipulatif kesedihan yang tak bisa tenggelam. Ia juga sekaligus lambang ingatan yang tak akan pudar, betapapun pahitnya.

Namun pada sisi lain, gambaran ini memiliki kekuatan lain dengan tingkat kengerian yang luar biasa. Bahwa perang, betapapun terpaksanya untuk dilakukan merupakan takdir paling buruk yang harus dihadapi oleh seorang manusia. Perang tidak hanya merenggut nyawa, namun juga mematikan harapan, nalar dan masa depan seorang manusia. 

Perang yang hingga kini masih terjadi di belahan bumi lain tentu menyisakan lubang-lubang kepedihan yang teramat dalam dan sukar untuk dihilangkan. Pengungsi, adalah salah satu contoh nyata betapa perang telah membuat sang tuan rumah terusir di rumah sendiri. Dan sikap para pendukung Brexit yang bersiap mengisolasi diri, menolak kedatangan tamu yang 'terusir' dari rumahnya sendiri itu bagi saya tidak lebih dari tindakan yang sangat pengecut.

Pada akhirnya, Brexit bukan hanya berkutat pada persoalan ekonomi maupun politik. Tapi lebih mendasar dan lebih mendasar lagi, ialah tentang kepedulian terhadap kemanusiaan. Bagi saya Brexit mendandakan ketidakdewasaan bangsa inggris dalam menyikapi perubahan dunia. Di era serba keterbukaan ini, menutup diri dengan dalih isu imigran padahal di bagian bumi yang lain sedang terjadi pertumpahan darah adalah tindakan yang sungguh sangat berdosa. 

Apalagi jika saja efek domino dari wabah 'exit Uni Eropa' ini mulai menjangkiti negara lain untuk segera mengisolasi diri, kemudian secara bersama-sama menyatakan penolakan terhadap pengungsi perang dan konflik. Maka pada saat itulah artinya mereka sebenarnya sedang menyatakan diri melawan perubahan zaman. Sebab nalar kemanusiaan dan pedulian mereka terhadap manusia lain telah bungkam kemudian membusuk dan mati seiring perkembangan waktu. Dan mereka artinya sedang bersiap-siap tergilas oleh roda zaman.

Lalu, apa kita juga akan ikut bungkam? Lihat tanda tanya itu.
Jurang antara ketidakpedulian dan rasa kemanusiaan yang memuncak.

Referensi dan Pustaka:
[1] http://www.bbc.com/news/politics/eu_referendum/results
[2] David Baker, Pauline Schnapper; Britain and The Crisis of The European Union; United Kingdom. Palgrave Macmillan: 2015
[3] https://www.theguardian.com/business/live/2016/feb/22/pound-falls-city-gets-brexit-jitters-business-live
[4] David Baker, Pauline Schnapper; Britain and The Crisis of The European Union; United Kingdom. Palgrave Macmillan: 2015 Hal. 4
[5] https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/364980/Summary_State_of_the_Nation_2014.pdf
[6] lihat negara penganut anti-eropa di https://en.wikipedia.org/wiki/Euroscepticism
[7] http://www.theguardian.com/politics/2016/feb/21/boris-johnson-joins-campaign-to-leave-eu
[8] http://www.theguardian.com/politics/2016/feb/22/pm-takes-battle-to-mps-after-johnson-joins-campaign-to-leave-eu
[9]http://www.lisbon-treaty.org/wcm/the-lisbon-treaty/treaty-on-European-union-and-comments/title-6-final-provisions/137-article-50.html
[10] ibid;
[11] http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2015/36/pdfs/ukpga_20150036_en.pdf
[12] http://www.bbc.com/indonesia/vert_cul/2016/06/160608_vert_cul_flotila

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun