Mohon tunggu...
Muhammad L Aldila
Muhammad L Aldila Mohon Tunggu... Pengacara - Meester in de Rechten

merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Tukang komentar isu-isu hukum, politik dan kebijakan publik. Tulisan saya lainnya bisa akses ke https://muhmdaldi.weebly.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mempertanyakan BREXIT dalam Konteks Kemanusiaan

13 Juli 2016   04:41 Diperbarui: 13 Juli 2016   05:03 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kampanye partai kemerdekaan UK yang provokatif

Kini, kondisi UK persis dengan kondisi Pilpres 2014 dan atau kondisi Pilgub Jakarta yang terpecah dalam dua kubu: lover atau hater. Bedanya UK terpecah kedalam dua kubu Remain “tetap” dan kubu Leave “meninggalkan” terkait status keanggotaannya dalam UE. Uni Eropa (sebelumnya bernama Masyarakat Ekonomi Eropa) didirikan pertama kali pada 1973 dengan motto “unity in diversity” oleh Perancis, Italia, Belanda, Belgium, Luksemburg dan Jerman yang tujuan awalnya ialah untuk mengakhiri konflik berkepanjangan perang dunia II. 

Namun selama 20 tahun terakhir pasca perang dunia II berakhir, UE perlahan berubah menjadi entitas kesatuan negara-negara yang fokus pada kemitraan ekonomi (produknya meliputi pasar tunggal atau single market dan atau penggunaan mata uang tunggal “euro” atau single currency) dan juga fokus pada kemitraan politik antar negara. 

UE fokus di persoalan kerjasama ekonomi, lingkungan, transportasi, hak konsumen, hingga –yang belakangan terhangat, adalah persoalan kebijakan imigran. UK masuk kedalam blok UE pada 1973. Bersama Prancis dan Jerman, UK masuk kedalam 3 negara penopang ekonomi terbesar UE atau dalam kata lain termasuk sebagai negara penyumbang iuran pajak terbesar untuk UE.

european-commission-578562593e23bd880cad4a0f.png
european-commission-578562593e23bd880cad4a0f.png
David Baker dan Pauline Schnapper dalam penelitiannya berjudul Britain and The Crisis of The European Union (2015) [2] menyebutkan bahwa friksi ini telah lama berlangsung pada perbincangan bawah tanah karena disebabkan oleh lima poin: (a) permasalahan politik ekonomi antara UK dengan UE; (b) Euroscepticism; (c) permasalahan ketenagakerjaan (terkait pengangguran dan imigran); (d) krisis demokrasi dalam internal UK; dan (e) krisis kepercayaan politik UK terhadap UE.

Baker dan Schnapper menyajikan tesis, bahwa baik UK dan UE sama-sama sedang dilanda krisis politik, ekonomi dan sosial yang saling terkait satu sama lainnya. Dalam kasus UK dibidang ekonomi misalnya, lambatnya pemulihan keadaan ekonomi yang dipicu merosotnya nilai mata uang Poundsterling ke titik terendah sejak 2009 [3telah membuat keadaan ekonomi UK terseok-seok dan membuat kesenjangan kaya dan miskin semakin melebar [4]. Pada oktober 2014, Social Mobility and Child Poverty Commission UK melaporkan bahwa UK berada di ambang bahaya karena kesenjangan kaya dan miskin dikhawatirkan menjadi kondisi yang permanen.

Sebanyak lima juta pekerja diprediksi akan terperangkap pada kondisi gaji yang rendah. Gelombang pengangguran besar-besaran bagi para pemuda UK juga diprediksi akan berlangsung dengan cepat. Laporan juga memprediksi akan terjadi penurunan kepemilikan rumah selama 20 tahun kedepan. Komisi juga memprediksi kenaikan angka kemiskinan selama satu dasawarsa terakhir untuk pertama kalinya [5]. Kenyataan ini juga dibenturkan dengan kewajiban UK untuk membayar iuran pajak dalam jumlah yang besar kepada UE [lihat gambar 4] sementara keadaan ekonomi UK sedang mengalami defisit.

Sebagian warga UK mengatakan, krisis tersebut disebabkan oleh blundernya kebijakan UE yang mengambil kebijakan 'buka pintu' bagi para eksodus imigran dari Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika dan Asia. Ekses tersebut dianggap telah menyebabkan memanasnya persaingan tenaga kerja dalam negeri, menggerogoti finansial UK, mengancam stabilitas keamanan dalam negeri –menyusul aksi teror yang banyak dilakukan oleh imigran di sebagian negara Eropa, serta membuat UK terasing di negeri sendiri. 

Memanasnya situasi di UK ini kemudian memicu merebaknya gerakan-gerakan untuk menentang UE. Pertama, menguatnya gerakan “Euroscepticism” atau gerakan keraguan terhadap sebagian kebijakan UE. Gerakan ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1994, namun sejak 2015 gerakan ini mulai kuat menjangkiti pada pertarungan pemilu UK. Gerakan ini juga sekaligus penanda dimulainya perenggangan hubungan antara UK dengan UE. Kemudian gerakan kedua yang lebih kontroversial, yakni muncul gerakan lanjutan dengan sekala besar yang disebut gerakan Anti-UEropa atau “Anti-Europanism”[6]. Pada gerakan kedua, muncul wacana extreme yaitu keluar dari keanggotaan UE.

Tanpa action dalam panggung politik, maka sebuah gerakan dipastikan akan berakhir sebagai onggokan wacana. Mewabahnya isu Euroscepticism dikalangan masyarakat UK ditangkap dan diolah dengan baik oleh United Kingdom Independence Party (UKIP) atau Partai Kemerdekaan UK. 

UKIP merupakan partai berpaham Liberal/Libertarianisme dan berideologikan ekstrem kanan/kanan jauh (nasionalisme otoriter). Dibawah kepemimpinan tangan dingin Nigel Farage sejak 2009, melalui strategi kampanye Euroscepticism (anti-imigran & anti uni eropa) sebagai isu tunggal, partai berhasil menorehkan catatan prestasi yang mengejutkan. 

Misalnya, dalam Pilkada inggris tahun 2013 serta pemilihan legislatif tingkat UE tahun 2014 dimana UKIP memperoleh pangsa pasar suara terbanyak. UKIP juga berhasil mencatatkan rekor pada pemilihan umum UK di bulan Mei 2015 dengan memperoleh suara terbesar ketiga dan berhasil mendapat satu kursi di DPR tingkat UK atau House of Commons. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun