Mohon tunggu...
Muhammad L Aldila
Muhammad L Aldila Mohon Tunggu... Pengacara - Meester in de Rechten

merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Tukang komentar isu-isu hukum, politik dan kebijakan publik. Tulisan saya lainnya bisa akses ke https://muhmdaldi.weebly.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jalan Darah Soeharto, Sang Bakal Calon Pahlawan Nasional

31 Mei 2016   21:45 Diperbarui: 31 Mei 2016   21:51 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengenai Soeharto, rasanya ada satu hal yang membekas dalam ingatan. Saat 1998 di jakarta, pasca tragedi 12 mei atau tragedi trisakti. Keesokan harinya, rabu tanggal 13 mei saya yang pada saat itu masih duduk di tahun terakhir Taman Kanak-Kanak (TK) nol besar melakukan aktifitas seperti biasa. Berangkat ke TK diantar oleh jemputan saya, dan mulai bermain dalam TK. Keanehan timbul saat kemudian TK dibubarkan secara tiba-tiba. Guru yang sedang mengajar memberitahu pada kami bahwa hari ini TK diliburkan. Tentu pada saat itu saya tidak tahu apa yang terjadi. Yang saya ingat adalah semua orangtua murid tiba-tiba sudah di depan TK menunggu anaknya. Saya memang tidak ingat bagaimana situasi detil saat itu. Tapi, saya masih ingat betul bahwa pagi itu (mungkin sekitar pukul 09.30) orangtua nampak tergesa-gesa sekali menjemput anaknya. Salah satu guru favorit saya yang selalu tersenyum juga pada hari itu nampak cemas. Tidak ada tukang mainan, tukan balon atau penjual layangan di depan TK seperti biasanya. Yang saya tahu, hari itu saya harus segera pulang untuk segera bermain dengan mainan saya di rumah.

Belasan tahun kemudian, barulah saya paham bahwa kejadian aneh pada 13 mei itu adalah hari dimana reaksi rakyat atas tindakan represif aparat mematikan mahasiswa trisakti “meledak”. Para mahasiswa, kelompok peduli masyarakat hingga akademisi mulai menyuarakan tuntutan agar presiden soeharto turun dari jabatannya. Dalam aksi-aksinya pengunjuk rasa ini tidak jarang menghadapi bahaya fisik yang serius, karena aparat keamanan langsung dikerahkan untuk “mengamankan” mereka dengan pentungan hingga senjata api.

Situasi yang kacau ini menimbulkan kemarahan, rasa dikhianati, rasa dijadikan korban dan rasa putus asa yang menohok di kalangan rakyat yang merasa kehilangan pijakan. Yang sangat mengkhawatirkan, bahkan mengerikan, ialah mereka tidak tahu pasti kepada siapa mereka bisa minta tolong, dan lebih penting lagi mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, siapa pecundangnya, dan siapa yang meniupnya.

agi saya, lanskap argumen penolakan atas wacana penolakan penyematan gelar pahlawan ini sesungguhnya lebih kompleks daripada alasan yang baru saja saya utarakan diatas. Alasan diatas hanya sebutir dosa dari melintangnya dosa soharto lain yang harus diungkap lagi dengan lantang. Miftahul Habib [3] memaparkan dengan baik apa saja dosa soeharto yang membuat soeharto tidak layak menyandang gelar pahlawan nasional. Pertamasoeharto mampu membuat indonesia tidak lagi berada pada zona netral dalam perang dingin. Melalui G 30 S 1965, soeharto mampu memanfaatkan peristiwa penculikan jenderal Angkatan Darat sebagai dalih untuk mengkudeta Soekarno sekaligus momen penghabisan seluruh basis pendukung soekarno. Dengan dikudetanya Sokarno, mayoritas pendukungnya yang didominasi golongan kiri perlahan hancur karena pembantaian atas nama pancasila. Pimpinan PKI beserta anggota simpatisan 'dibersihkan'. Genosida ini menjadi pondasi bagi berdirinya rezim Orde Baru yang sepenuhnya disponsori oleh Amerika Serikat. Puncaknya, 12 maret 1967 Soeharto resmi menggantikan Soekarno. Sejak saat itu, Soekarno --sang proklamator sekaligus orator ulung dijadikan tahanan rumah dan dibiarkan sakit hingga meninggal dunia dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Jauh dari hingar bingar seperti kematian Soeharto pada 2008 atau Gus Dur pada 2009.

kedua, Soeharto merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas kesenjangan sosial yang begitu tinggi di indonesia saat ini. Ia telah membuka akses seluas-luasnya terhadap ekspansi perusahaan asing untuk mengeksploitasi SDA indonesia. Eksploitasi ditandai dengan diundangkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA). UU ini merupakan UU pertama dalam rezim orde baru pasca Soeharto dilantik. UU PMA yang sangat ramah terhadap asing itu juga berlaku sebagai pertanda lonceng kematian bagi rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Alih-alih demi pembangunan, indonesia justru jauh dari sikap yang berdikari. Sebab ketergantungan indonesia terhadap asing sudah stadium akut. Akibatnya, secara perlahan tapi pasti indonesia mulai mengintegrasikan diri dalam tatanan dunia yang serba kapitalistik dan perlahan mulai mempatrikan diri dalam tatanan industrialisasi. Anda-anda dan termasuk saya sendiri, merupakan korban serta penonton dari atraksi kapitalis dunia.

KetigaSoeharto adalah orang yang menciptakan ilusi sejarah nasionalisme. Pepatah “sejarah hanya milik pihak yang menang” memang secara absolut kebenarannya. Soeharto menempatkan diri layaknya AS yang menggambarkan diri sebagai the winner atas berbagai perang seperti perang dunia 2, invasi irak, afganistan, dsb, dsb. Karya dan narasi soeharto yang berhasil menciptakan mitos legitimasi kekuasaan sendiri terbukti menggeser alam bawah sadar anak muda yang masih bersih dari dosa. Tentu anda, termasuk saya juga ingat betapa mengerikannya gambaran peristiwa yang dilakukan oleh PKI dan Gerwani kepada para Jenderal AD. Film yang diputar pada tiap malam tanggal 30 September itu menggambarkan dengan detil ketakutan-ketakutan yang seolah-olah terjadi. Menculik, menusuk, menembak di kepala hingga mencongkel mata diperankan apik hingga secara tidak langsung masyarakat –terutama anak-anak dihipnotis oleh narasi yang diciptakan rezim Orde Baru. Belum dengan ditambah dengan penyusunan kurikulum buku sejarah nasional indonesia yang kental akan corak militeristik dan meminggirkan sejumlah golongan (termasuk diantaranya golongan kiri) untuk menyampaikan pesan ideologis yang dianut oleh rezim orde baru. Maka karena itulah, sebaiknya anda tidak heran, jika sebagian besar pemuda kekinian terbukti lebih Ahistoris dan super-apatis terhadap sejarah bangsa yang sebenarnya. Diskusi-diskusi yang memberikan pencerahan terhadap cakrawala pemikiran kini langka. Pemuda lebih menyukai update Path atau Instagram dengan tagarnya masing-masing. Menyibukkan diri sendiri dengan segala hal berbau kekinian. Traveling, online shoping, dsb. Maka kepada para pemuda (tentu dibawah 40 tahun) yang masih mendedikasikan diri dan peduli pada permasalahan bangsa dan sedang berupaya memantaskan diri demi menguntai benang kusut persoalan di indonesia, saya ucapkan rasa hormat saya pada anda. Semoga saja anda yang membaca ini adalah salah satu pemuda langka dari sekian banyak pemuda yang memilih hidup ahistoris dan super-apatis.

keempat, puncak dari semua lanskap argumen penolakan yakni soeharto adalah pelanggar HAM berat. Sebagaimana dikutip oleh Miftahul Habib [4], KontraS telah menghimpun data kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh rezim Orde Baru [5]. Tercatat sedikitnya ada 15 kasus pelanggaran HAM berat dengan korban mencapai lebih dari 1.500.000 jiwa yang telah 'dikondisikan' oleh Soeharto. Dengan keterangan meliputi: meninggal, hilang, luka-luka, ditahan secara sewenang-wenang, disiksa dan menjadi korban kekerasan seksual. Beberapa kasus pelanggaran HAM berat tersebut diantaranya antara lain Penculikan dan penghilangan paksa 97-98, Peristiwa Trisaksi 98, peristiwa 13-15 mei 98, pembantaian massal 65, hingga peristiwa Petrus atau penembakan misterius alias pembunuhan tanpa melalui pengadilan.

Dan kelima, bahwa Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme masih berlaku dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Bagaimanapun juga, Tap MPR ini merupakan produk hukum yang sah dan mengikat berdasarkan UU 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Terlebih, ini hukum. Bukan dagangan pasar yang dapat dikompromi. Ketetapan MPR tersebut menyebutkan tepatnya pada Pasal 4 Tap MPR bahwa Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memerhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.

Tolak!

Kenyataan demi kenyataan diatas senyatanya patut disuarakan kembali dengan lantang. Meski sang the smiling general telah meninggal pada 2008, namun proses hukum tetaplah proses hukum. Perkembangan penegakan hukum atas kelakuannya dan kelakuan kroni-kroninya harus tetap dilidik, disidik, dituntut, disidang, diputus dan dieksekusi demi hukum!

Terlebih, pasca ditetapkannya Tap MPR Nomor XI/MPR/ 1998, kejaksaan agung yang dengan segera menyelidiki dugaan korupsi pengelolaan dana tujuh yayasan sosial dibawah kendali Soeharto, dinastinya dan konco-konconya. Kerugian ditaksir sebesar Rp 1, 7 Triliun dan US$ 419 juta selama 97-98. yayasan terdiri atas Yayasan Supersemar, Dana Abadi Karya Bhakti, Dharmais, Tri Komando Rakyat, Dana Mandiri,Gotong Royong Kemanusiaan dan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Semua yayasan berada dibawah komando Soeharto dan diketuai oleh anak-anak dan orang-orang kepercayaannya [6]. Pada perkembangan kasus pidana ini, sayangnya Jaksa Agung pada mei 2006 telah mengeluarkan surat keterangan penghentian penyidikan pada kasus pidana Soeharto karena alasan Soeharto menderita sakit permanen yang tidak bisa disembuhkan,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun