Dari tesis diatas, dapat diartikulasikan bahwa ini merupakan kondisi yang tidak terhindarkan lagi. Indonesia suka tidak suka telah dihadapkan dengan munculnya proyeksi menakutkan jangka panjang demokrasi yang lebih liberal, oligarki yang lebih tidak terkendali, negara kesejahteraan (welfare state) yang jauh dari kata efektif, dan prospek-prospek buruk lainnya.
Meskipun begitu, kita harus pahami satu hal bahwa oligarki hanya kuat pada kondisi-kondisi tertentu. Kemiskinan dan keawaman (apatis) politik masyarakat merupakan salah satu faktor disamping faktor lain yang mempengaruhi tumbuh kembangnya oligarki. Jika dua hal tersebut terus terpatri dalam benak masyarakat maka dapat dipastikan para politisi oligarki akan terus memproduksi kekayaan dan hegemoninya melalui demokrasi yang prosedural tanpa memperdulikan substansinya.
Mengutip pendapat Max Weber, sebenarnya kita memiliki dua jenis politisi. pertama mereka yang memilih politik demi suatu cita-cita atau dalam bahasa populer menjadi politisi demi idealisme; mereka hidup untuk politik, (they live for politics). dan Kedua, mereka yang memilih politik sebagai karier dari satu tingkat ke tingkat lebih tinggi. Mereka boleh dibilang sebagai politisi yang hidup dari politik, (they live from politics). Untuk jenis kedua ini, Politik lebih menjadi ladang tempat menanamkan kepentingan, dan mengambil keuntungan. [6]
Yang perlu untuk digarisbawahi adalah: oligarki tidak akan tumbuh dan berkembang pesat dalam masyarakat sipil (civil society) yang kuat dan aturan hukum yang efektif dan konsisten. Karena (jika) masyarakat sipil paham bahaya dari oligarki dan begitupun juga dukungan dari rigidnya aturan hukum positif, maka dapat dipastikan petaka oligarki ini akan musnah dengan sendirinya dari ibu pertiwi.
Untuk menutup tulisan ini, mari kita cermati kembali apa yang pernah dikatakan oleh Marcus Cicero didepan altar tribun sambil kita kaitkan dengan konteks tulisan ini: “ikan membusuk mulai dari kepala hingga ekor. Sehingga tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan memotong dan membuang kepala ikan terlebih dahulu”.
“mari gulingkan generasi petaka oligarki ini dan ganti mereka dengan generasi kita!. Generasi pembaharu bangsa!” - Aldi, 1/9/2015
****
*penulis merupakan mahasiswa semester terakhir di FH UNS dan sedang mengambil skripsi mengenai anomali bantuan keuangan kepada partai politik. Sebagian opini dan data dari tulisan ini bersumber dari pengalamannya bertugas di Komisi III DPR-RI. Selain aktif di berbagai organisasi, ia juga aktif sebagai pegiat anti-korupsi di Pusat Studi Transparansi Publik dan Anti Korupso (PUSTAPAKO) UNS. Ia juga aktif menulis di beberapa surat kabar.
REFERENSI
[1] Vedi R Hadiz, dinamika kekuasaaan ekonomi politik indonesia pasca-soeharto, associate professor pada departemen of sociologi, national university of singapore (NUS)
[2] penulis menelusuri definisi borjuasi melalui Kamus besar bahasa indonesia versi daring & ensiklopedia bebas wikipedia berbahasa indonesia pada 31/08/2015
[3] Ahmad Fedullah; Oligarki di indonesia: Predatory Capitalism. http://www.kompasiana.com/ahmadfedullah/oligarki-di-indonesia_54f93d74a3331176178b488e