Mohon tunggu...
Muhammad L Aldila
Muhammad L Aldila Mohon Tunggu... Pengacara - Meester in de Rechten

merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Tukang komentar isu-isu hukum, politik dan kebijakan publik. Tulisan saya lainnya bisa akses ke https://muhmdaldi.weebly.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peta(ka) Oligarki Indonesia

3 September 2015   01:31 Diperbarui: 3 September 2015   01:31 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* oleh: muhammad l aldila

Perkembangan politik amatlah cepat dan mengagetkan. Bahkan terkadang cukup mengerikan. Jokowi yang kini merupakan presiden RI misalnya. Ia adalah kejutan tersendiri di tengah konstelasi politik indonesia yang (masih) dikuasai para oligarki sisa-sisa orde baru. Ini adalah kejutan terbaik yang pernah ada. Karena jokowi berhasil masuk menjadi tokoh nasional baru. Menggantikan tokoh-tokoh lama yang telah lama berkiprah di perpolitikan nasional. Dan dikarenakan ia adalah tokoh baru, otomatis massa pun berharap banyak padanya. Dukungan rakyat atas jokowi pun (awalnya) real. Nyata. Meskipun belakangan dukungan kepadanya berubah menjadi dukungan siluman. Tetapi untungnya, ia diselamatkan oleh rekam jejaknya yang bersih dari dosa politik. Sejak lahir ia memang bukan orang berada, karena ia adalah anak kaum marginal di pinggiran kampungnya. Hidupnya mencerminkan peralihan seorang miskin menjadi seorang yang berada. Di satu sisi jokowi memang merupakan konfigurasi yang unik dari sebuah kejenuhan nasional atas kesemrawutan sistem warisan orde baru. Namun disisi lain, ia merupakan wayang yang tidak memahami bahwa dibelakangnya berdiri para predator oligarki warisan orde baru.

 Orde baru memang terkenal dengan pembungkaman partisipasi politik masyarakat demi dalih pembangunan ekonomi. Menurut rezim ini, stabilitas politik dan keamanan adalah prasyarat utama demi pembangunan ekonomi  (industrialisasi) nasional. Tentu dengan ditopang oleh utang luar negeri dan investasi kapital asing dan domestik. Industrialisasi rezim ini kemudian berdampak besar pada perubahan sosial masyarakat indonesia. Di satu sisi, melahirkan kelas buruh marginal yang miskin. Dan disisi lain industrialisasi juga telah melahirkan kelas baru. Kelas menengah yang bergaji cukup. Selain mereka, celakanya yang sangat menonjol dan berbaaya ialah tumbuh pesatnya para oligarki. [1]

jika meminjam definisi Vedi R Hadiz dalam bukunya yang berjudul “Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto” oligarki merupakan sebuah bentuk borjuasi nasional-domestik yang berpengaruh secara signifikan untuk membentuk dan mengatur kekuasaaan. Kemudian jika mengacu pada definisi yang diartikulasikan oleh kamus besar bahasa indonesia versi daring dan ensiklopedia bebas wikipedia berbahasa indonesia [2], borjuis merupakan kelas sosial atas yang terdiri dari orang-orang berpengaruh yang dicirikan sebagai pemilik modal karena kekuatan, pengaruh dan kekayaannya.

Lebih lanjut jika dikaitkan. Pada zaman orde baru para borjuis ini tentu saja dapat dengan mudah kita kenali sebagai para anggota keluarga soeharto beserta cecunguknya, para petinggi negara dan tak ketinggalan segelintir kapitalis tionghoa. Untuk meneropong posisi oligarki ini, kita bisa melihat dengan menggunakan kerangka teori institusional. Bahwa pada zaman orde baru, oligarki tersentralisasi hanya di pusat. Namun, setelah masa reformasi oligarki telah mengalami proses pencairan desentralisasi ke daerah-daerah [3]. Sederhananya jika sebelum reformasi oligarki berkuasa pada ranah struktur pemerintahan pusat, di era reformasi ini, oligarki justru mencair dan berkembang biak ke bentuk-bentuknya yang baru. Yakni melalui partai politik, pemilu dan parlemen dari pusat hingga pelosok daerah. Sehingga tentu amat sangat menyulitkan kita untuk mendesak adanya 'reformasi' jilid II.


Oligarki Politik dan Demokrasi Indonesia yang Dibegal


Pada dasarnya, teori tentang demokrasi meliputi kekuasaan (kratos) yang berada di tangan rakyat (demos). Dalam segala aspek pembuatan peraturan perundang-undangan, rakyat dan kepentingannya adalah titik yang paling diutamakan. Segala tata politik, ekonomi, dan hukum dibuat sedemikian rupa untuk kepentingan rakyat. Marcus Cicero, salah satu filsuf klasik terbesar pernah menyatakan bahwa kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Begitu juga dengan pendapat filsuf kenamaan abad pertengahan, Thomas Aquinas yang juga menegaskan bahwa tujuan tertinggi dari tata politikm ekonomi dan hukum adalah kebaikan bersama (bonum commune). Sementara tata politik dalam bernegara, sebagaimana dicita-citakan oleh aristoteles ialah untuk mencapai kebahagiaan. Untuk itulah, bahkan aristoteles pernah menyimpulkan dengan tegas bahwa “negara yang cacat ialah negara yang hanya mementingkan kepentingan dan keinginan penguasa politik” [4].

Celakanya, pendapat aristoteles memang benar terjadi adanya. Indonesia (tanpa sadar) memang tengah berada dalam situasi kritis. Karena sudah terbegal secara sistematis nan sadis menjadi oligarki. Pemerintahan, pemilu hingga partai yang diharapkan diisi oleh orang-orang yang mengabdi dan bekerja untuk rakyat telah berubah, diisi oleh sekumpulan elit politik yang memiliki basis kekayaan materiil serta basis kepentingan kapitalisnya sendiri. Buktinya, tengoklah bagaimana elit politik negeri ini mayoritas diisi oleh para pengusaha berkantong tebal. Dengan mudahnya mereka membeli politik (kekuasaan)  dengan kemampuan yang mereka miliki. Belakangan bahkan dapat kita simak betapa bibit oligarki dapat dengan mudahnya lahir. Partai Perindo Hary Tanoesudibyo dan Partai Idaman Rhoma Irama misalnya. Ia merupakan satu contoh konkrit potret bagaimana lahirnya oligarki (di tubuh partai). Ia praktis telah menambah panjang partai-partai yang hadir oleh nafsu politik sesaat. Mirip dengan partai-partai lama yang menjual slogan sesat yakni “baru” dan “perubahan”. Yang membedakan kedua partai ini dari partai lama lainnya hanyalah penyebab partai dilahirkan. Kedua partai ini lahir disebabkan oleh gundah gulananya 'barisan sakit hati' saat pilpres 2014. sehingga itu menyebabkan mereka rela menumpuk dan menggadaikan ketenaran serta kekayaannya berapapun jumlahnya demi mengganti kemaluan mereka di panggung politik. Meskipun entah, nasibnya kedepan seperti apa.

Dalam peta perpolitikan saat ini, melalui partai, model kekuasaan partai yang oligarki (menabikan ketua umum/tokoh partai) bisa menentukan siapa yang akan menjadi pilihan dalam proses demokrasi. Sebut saja ahok, ridwan kamil ataupun risma, mereka merupakan segelintir orang terpilih yang dapat maju dalam proses demokrasi. Jika dibedah lebih jauh, pilihan yang didasarkan pada model kekuasaan partai yang oligarki memang erat kaitannya dengan politik uang. Fenomena ini sejak zaman orde baru memang masih kuat menggurita. Fenomena ini kemudian diperparah dengan hukum yang masih tebang pilih. Figur-figur kuat dan oligarki tidak tunduk pada hukum. Namun, justru hukumlah yang tunduk pada oligarki. Sulitnya megawati dijerat hukum atas kaitannya dalam kasus BLBI, licinnya aburizal jika membicarakan lumpur lapindo serta pajak-pajak bakrie groupnya, dan ratusan pembenaran famili SBY untuk berkelit dari kasus hambalang merupakan deretan fakta betapa hukum masih tunduk pada oligarki.  

Selain itu, Prinsip-prinsip demokrasi nyatanya juga dengan mudah dibredel oleh prinsip untung rugi yang kental kita pahami di dalam sistem kapitalisme. Partai sekarang dikuasai oleh para oligarki yang hartawan. Nasdem oleh surya paloh, golkar oleh aburizal bakrie, gerindra oleh prabowo, perindo oleh hary tanoesudibyo, dan sejumlah pengusaha yang menguasai parlemen (sebagai anggota DPR) hingga 63% [5] merupakan potret nyata bagaimana eratnya oligarki dengan kapitalisme.

Revolusi (dalam) Sosial dan Politik

Patut disadari, penjinakkan terhadap oligarki hanya bisa dilakukan melalui aturan hukum (rule of law). Meskipun harus disadari bahwa demokrasi di indonesia tidak identik dengan rule of law. Indonesia adalah contoh demokrasi tanpa rule of law, sehingga beberapa ahli mengatakan bahwa demokrasi indonesia adalah “criminal democracy”; kondisi ini berbanding terbalik dengan singapura yang menganut “authoritarian legalism”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun