Tak terasa, hari ini kita telah menempuh ibadah puasa pada hari ke 25 di bulan Ramadan 1441 H, dengan demikian sebentar lagi kita akan mengakhiri ubudiyah di bulan yang sangat mulia.Â
Ramadlan dikenal sebagai bulan yang penuh rahmah, maghfirah, dan pembebasan dari api neraka. Bermodal motivasi yang tinggi, setiap kaum muslim berlomba-lomba untuk menjalankan ibadah puasa sebagai bentuk manifestasi penghambaan pada Allah SWT, melalui ritualitas meninggalkan makan, minum, dan semua perbuatan maksiat.Â
Seakan-akan telah terjadi kompetisi secara massif untuk meraih kebaikan sebanyak-banyaknya. Kaum Muslimin berlomba-lomba untuk mewujudkan puasanya secara istiqomah dan penuh dengan mengharap ridlo dari Allah SWT.Â
Meskpiun, sebagian kaum muslimin juga ada yang lalai dalam memanfaatkan momentum kemuliaan Ramadlan. Tidak sedikit kaum muslimin yang masih larut dalam kealpaan, terjerumus dalam kemaksiatan dan masih bersenyawa dengan hawa nafsu.
Dengan kekuatan daya magnetnya, bulan Ramadlan telah menjadi zona yang sangat efektif dalam proses pembentukan karakter. Salah satu karakter yang dapat dikembangkan adalah karakter kejujuran.
 Sebagai ibadah yang bersifat rahasia, puasa merupakan proses yang dilakukan dengan kesadaran untuk membentuk pola hidup yang selalu konsisten antara niat yang diucapkan, proses yang dilalui dan perilaku yang ditampilkannya.Â
Ada proses bathiniyah yang sulit untuk diukur secara kuantitatif dan kualitatif yang justru sangat erat dengan diterimanya ibadah puasa seseorang. Sebagai Ibadah yang memadukan antara dhahiryah dan batiniyah, kejujuran menjadi kata kunci yang menjadi penghubung antara hamba dan Tuhannya.
 Trilogi Kejujuran
Kejujuran dalam berpuasa sangat penting, karena prosesi berpuasa sejak fajar sidiq hingga datangnya waktu Magrib, hanyalah diketahui oleh dirinya, Tuhannya dan malaikat yang diperintahkan untuk mencatatnya. Ibaratnya terdapat segitiga yang menjadi simpul kejujuran, apakah seorang hamba benar-benar sedang berpuasa atau berpura-pura puasa.
 Bisa jadi, ada sebagian orang yang menikmati makan sahur dan berbuka puasa, namun di tengah-tengahnya ternyata  tidak berpuasa. Padahal, derajat keimanan dan ketakwaan  dihadapan Allah Swt tergantung tingkat kejujuran seseorang dalam menjalani suatu peribadatan.
Dalam meneladani karakter kejujuran, kita berkiblat pada uswah hasanah yang terpancar dari karakter Rasulullah, Muhammad SAW, sosok manusia mulia yang disematkan gelar Al-Amin. Â Oleh penduduk Makkah, Nabi Muhammad diberikan gelar tersebut karena dikenal sebagai seorang laki-laki yang penuh amanah, jujur dan dapat dipercaya.Â