Mohon tunggu...
Muhlis Lamuru
Muhlis Lamuru Mohon Tunggu... Guru - Penting tak Penting

Lahir di sebuah Dusun terpencil di Kab. Bone, Sulawesi-Selatan. Namanya, Dusun Masumpu, Des. Massengrengpu, Kec Lamuru. Dusun tersebut baru dialiri listrik PLN pada pertengahan tahun 1999. Muhlis Lamuru menghabiskan masa kecil di Kampung halaman dan bersekolah di MI 43 Pising (Masumpu) dan SLTP di Kecamatan sebelum hijrah ke Kota Makassar melanjutkan pendidikan menengah. Sejak 2004 hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan Tinggi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dan, tahun 2010 mencoba mengadu nasib n memulai hidup baru di Ibu Kota Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Harga Kakao Rp. 170.000/Kg Belum Setara Rp. 20.000/Kg

15 Mei 2024   14:37 Diperbarui: 15 Mei 2024   16:30 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sekitar seminggu lalu tepatnya tanggal 7 Mei 2024 saya melakukan obrolan ringan dengan kaka saya melalui telponWA. Banyak hal yang menjadi bahan pembicaraan kami, salah satunya tentang harga kakao. Saya diberitahu bahwa saat ini harga kakao sangat tinggi. "Harga coklat mencapai Rp. 170.000/Kg," katanya. Kaka saya juga hanya mendapatkan berita itu dari cerita orang di kampung saya melalui pembicaraan telpon. Dalam pembicaraan dia nampak sangat bersemangat menceritakan tingginya harga coklat itu saat ini. Sebelumnya belum pernah terjadi harga coklat mencapai setinggi itu. Di tahun 2023 pun harga kakao tidak lebih dari Rp. 50.000/Kg.

Dia lanjut bercerita bahwa saat ini orang di kampung yang masih memiliki kebun coklat akan sangat bahagia karena harga jual coklatnya sangat tinggi. Konon, hanya bermodalkan kantongan kecil berisi kakao yang ditenteng, harga jualnya mencapai ratusan ribu rupiah. Maklum, beberapa tahun belakangan ini banyak petani di kampung yang menebang pohon coklat mereka dan beralih menanam jagung. Para petani menilai jagung lebih menjajikan karena harga jualnya yang relatif bagus dan masa panennya relatif singkat. Jagung hanya butuh waktu 3-4 bulan  sejak ditanam untuk dipanen. Ini beda dengan kakao yang memerlukan waktu hingga tiga tahun untuk mulai berbuah.

Saat kaka saya masih lanjut bercerita, saya sedikit berdiam seraya melakukan kalkulasi singkat tentang harga coklat itu. Saat itu saya mencoba merecall memori saya dua dekade-an lalu saat saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Setelah dapat gambaran yang cukup, saya menyelah. Saya merespons kaka saya dan mengatakan bahwa harga coklat yang mencapai Rp. 170.000/Kg itu tidak mahal-mahal amat. Itu masih jauh lebih murah dibanding harga coklat sekitar tahun 2000 yang hanya sekitar Rp. 20.000/Kg. Saya akan menguraikan alasan saya menyebut harga Rp. 170.000 masih lebih lebih rendah dibanding harga Rp. 20.000/Kg.

Sebelum lebih jauh, saya akan bercerita bagaimana saya memahami alur kakao yang akan saya ceritakan. Saat saya masih duduk di sekolah dasar dan lanjutan tingkat pertama, saya selalu ikut menanam pohon coklat di kebun di kampung saya. Saya ingat betul waktu itu. Setiap libur sekolah, pagi-pagi saya dibangunkan oleh emmak saya dan diajak pergi ke kebun untuk menanam coklat. Saya juga bawa bibit coklat ke kebun. Biasanya emmak saya menggali lubang untuk ditanami bibit coklat dan saya menanaminya. Saya juga sering ke kebun untuk menyemprot rumput yang biasanya tumbuh subur karena itu mengganggu pertumbuhan tanaman coklat. Emmak yang menyiapkan air, mencampur pestisida, dan saya tinggal mengangkut tangki dan menyemprotkan air racun itu ke hamparan rumput. Bukan hal baru saya menyemprotkan sebanyak 4-5 tangki sebelum jam istirahat.

Saya juga terbiasa memetik buah kakao. Saya ingat betul masa dan proses memanen coklat sampai siap dijual. Kala itu masa puncak panen kakao pada April-Juni. Biasanya emmak pagi-pagi sudah ke kebun dan memetik buah coklat yang sudah siap panen. Saya menyusulnya di belakang dan mengumpulkan buah kakao yang sudah diturunkan oleh emmak saya. Lalu, kami mengupas kulitnya, hanya bijinya yang diambil. Kala itu tahun 1998 atau saat krisis moneter melanda Indonesia sering dianggap masa jaya petani coklat, buah coklat berkualitas bagus. Teman kami yang masa itu masih anak-anak tahu betul rasa buah coklat itu. Kami sering mencicipi daging buah kakao yang rasanya mirip buah manggis. Ada manis-manisnya gitu. Beda dengan kondisi hari ini, hama tanaman kakao semakin banyak. Akibatnya, buah coklat sering rusak, isinya kering, hitam, tak bisa lagi dicicip.

Proses selanjutnya adalah permentasi. Buah coklat harus disimpan selama dua hari sebelum dijemur atau dikeringkan di bawah terik matahari. Saat sinar matahari bagus, proses pengeringan berlangsung dua tiga hari. Jika cuaca sering hujan, buah coklat harus dikeringkan melalui proses pengasapan. Waktu yang diperlukan lebih lama. Setelah kering, buah kakao dikarungkan dan siap dijual. Pilihannya ada dua, dibawa ke pasar atau pengepul yang datang dan transaksi dilakukan di rumah. Saat itu harga coklat pada kisaran Rp. 15.000 - Rp. 25.000. Saya sempat mengontak teman saya yang saat ini berada di Sorong hanya untuk memastikan harga coklat di masa itu. Dia juga tahu persis kondisi percoklatan karena di tahun 1999 kami tinggal dan satu kos di Makassar atas biaya dari hasil coklat. Saya masuk sekolah lanjutan tingkat atas dan dia kuliah di UIN Makassar.

Kembali ke harga coklat yang Rp.170.000/Kg yang saya nilai masih relatif murah. Saya mencoba membandingkan dengan apa yang saya alami saat saya sekolah di Makassar dan lanjut kuliah S1 karena semua itu dibiayai oleh hasil penjualan kakao. Disini secara spesifik saya mau menceritakan pengalaman pribadi saya membelanjakan uang hasil coklat. Saat harga coklat sekitar Rp. 20.000/Kg, saya ilustrasikan penggunaan uang itu. Singkat kata ketika saya dari Makassar mau kembali ke kampung, saya hanya perlu ongkos Rp. 2.500 sekali jalan atau bolak balik Rp. 5.000. Ini menunjukkan bahwa uang Rp. 20.000 atau 1 Kg coklat bisa digunakan untuk membiayai perjalanan PP sebanyak empat kali. Lalu, saya membandingkan dengan uang Rp. 170.000. Saya bisa gunakan berapa kali perjalanan PP Makassar-Kampung saya. Ternyata, saat ini sewa mobil sekali perjalanan sekitar Rp. 100.000 dan perjalanan PP membutuhkan ongkos sebesar Rp. 200.000. Ini harga 1 Kg coklat tidak cukup untuk membiayai sekali perjalanan PP Makassar kampus.

Mungkin ada pertanyaan kenapa perbandingannya tidak menggunakan emas yang konon harganya lebih stabil. Maaf, saya mencoba menggunakan perbandingan yang pernah alami secara nyata. Saya belum pernah membeli emas. Jadi saya tidak menggunakan perbandingan harga emas. Mungkin ada perbandingan lain yang lebih tepat? Iya, bisa saja ada tetapi jika menggunakan pendekatan pengalaman yang saya alami, maka saya bisa membandingkan misalnya harga indomie saat itu atau harga nasi bungkus saat itu. Singkatnya, penurut pengalaman saya ternyata harga coklat yang saya rasakan sekitar Rp. 20.000/Kg jauh lebih tinggi dibanding harga coklat yang konon sangat tinggi saat ini.

Mataram, 15 Mei 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun