Kedua istilah Bugis tersebut muncul dalam pembicaraan kami di Group WA beberapa hari lalu. Saya mencoba mencari padanan kata yang tepat dalam Bahasa Indonesia, namun saya agak kesulitan menemukannya. Singkatnya, Sokko' Lemma' na Sokko Tojo merupakan dua frase yang dihubungkan oleh kata sambung; Sokko Lemma dan Sokko Tojo. Â Na dalam hal ini adalah kata penghubung yang padanan kata dalam bahasa Indonesia adalah Dan.
Saya coba memberikan penjelasan tentang makna sokko lemma na sokko tojo baik secara literal dan juga konteksnya walau saya juga tidak yakin tentang kesempurnaannya. Sokko lemma terbagi dua kata yaitu sokko dan lemma. Sokko artinya nasi ketan sedangkan lemma artinya pulen.Â
Dalam hal ini beras ketan yang sudah dikukus akan menjadi sokko. Jadi sokko lemma secara literal bisa diartikan nasi ketan pulen. Sementara itu, tojo dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kaku atau keras. Dengan demikian, sokko tojo merupakan kebalikan dari sokko lemma. Sokko tojo adalah nasi ketan yang keras atau kaku.
Biasanya sokko menjadi lemma' atau tojo dipengaruhi oleh kualitas beras ketannya. Ada beras ketan yang berkualitas bagus yang tentunya akan menghasilkan sokko lemma dan ada juga beras ketan yang berkualitas rendah. Beras ketan jenis ini saat dibuat jadi sokko menjadi sokko tojo. Selain itu, sokko yang sudah lama secara alamiah akan menjadi matojo. Jadilah sokko tojo. Untuk membuatnya kembali menjadi sokko lemma, sokko tojo harus dikukus kembali atau dipanaskan.
Dalam tradisi Bugis ungkapan sokko lemma na sokko tojo sangat popular. Biasanya, sokko lemma sering digambarkan sebagai ekspresi kemudahan atau kebahagian. Sokko lemma sering disandingkan dengan santang manu (opor ayam).Â
Pada Sokko lemma na santang manu artinya ibarat nasi ketan pulen dan opor ayam. Perpaduan antara sokko lemma dan santang manu' secara tradional dikenal sebagai makanan favorit yang kelesatannya tiada tara.Â
Jadi secara literal ungkapan ini menggambarkan kelesatan makanan. Namun, dalam konteks non makanan, ungkapan itu menggambarkan suasana kebahagiaan atau kemudahan yang kita peroleh. Pekerjaan yang mudah diselesaikan sering diibaratkan dengan sokko lemma. Biasanya orang lebih memilih pekerjaan yang mudah diselesaikan dibanding pekerjaan yang sulit diselesaikan.
Lain lagi dengan sokko tojo, secara literal sokko tojo artinya nasi ketan yang kaku dan keras. Biasanya orang tidak menyukai sokko tojo. Itulah sebabnya sokko tojo sering kali dikonotasikan sebagai kesulitan. Meski praktis tidak ada orang yang menyukai sokko tojo, namun tidak berarti bahwa sokko tojo hilang ditelan zaman. Selalu saja kita menemukan sokko tojo, bukan hanya karena kualitas berasnya tetapi karena faktor alamiah tadi. Sokko lemma sekalipun bisa menjadi sokko tojo ketika sokko-nya sudah lama. Perlu dikukus kembali untuk menjadikannya sebagai sokko lemma.
Selain itu, sokko tojo bisa diolah menjadi makanan lain. Setidaknya ada dua jenis makanan yang bisa dibuat dari sokko tojo; baje dan nasi aking. Dua makanan tersebut bisa sangat berguna di masa-masa sulit. Sebagaimana diketahui bahwa baje adalah makanan yang bisa bertahan lama.Â
Untuk itu, jamak diketahui bahwa baje atau makanan tradisional Bugis yang bahan dasarnya sokko dan gula merah ini sering kali dijadikan sebagai bekal bagi para perantau sebab ketahanannya luar biasa. Baje bisa bertahan beberapa hari hingga bulan, tergantung cara mengolahnya. Begitu pula, nasi aking. Ia dijadikan sebagai makanan alternatif saat musim paceklik. Jadi sokko tojo jika diolah dengan baik bisa menjadi penyelamat di masa sulit.
Lalu, apakah sokko lemma na sokko tojo hanya sebatas urusan makanan? Tegas, jabawannya tidak. Munculnya pembicaraan sokko lemma na sokko tojo di WA Group saya yang menjadi dasar munculnya tulisan ini pun bukan karena urusan makanan. Kami membicarakan isu nasional yang dinilai penanganannya lambat serta kurang tepat.Â
Tentu satu pihak justru menilainya benar dan itulah menjadikan diskusi kami menjadi lebih cair. Isu yang dimaksud adalah wabah virus corona (Covid-19) yang sedang melanda dunia dan juga Indonesia. Turunanya adalah wacana pembebasan tahanan yang digaungkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly untuk mencegah penularan virus corona yang berpotensi merambah lembaga pemasyarakatan (LP).
Iya, sebenarnya pembebasan tahanan bukan lagi sekedar wacana. Lebih dari 35 ribu tahanan sudah dibebaskan melalui program asimilasi sesuai keputusan Menteri Hukum dan HAM beberapa hari lalu.Â
Malah dalam beberapa laporan online, ada tahanan yang baru bebas melalui program asimilasi kemarin itu sudah kembali beraksi. Rudi Hartono namanya. Ia terpaksa kembali dijebloskan di LP Kelas II Sengkang, Sulawesi Selatan karena kedapatan mencoba mencuri motor di rumah tetangganya sehari setelah ia dibebaskan, Rabu 8/04/20 lalu. Rudi Hartono bukan satu-satunya napi yang baru bebas kembali beraksi, ada M Bahri dan Yayan di Surabaya. Mereka kembali ditangkap karena terlibat kasus penjambretan di Surabaya tanggal 9/04/20 lalu.
Memang, kebijakan pembebasan tahanan ini bukan karena mereka sudah menjalani semua hukuman akibat perbuatannya. Menteri Hukum dan HAM membebaskan mereka melalui program asimilasi dengan dalih untuk mencegah penyebaran Covid-19 di LP. Iya, LP yang kini melebihi kapasitas normal dinilai rentan terhadap penyebaran Covid-19.Â
Tidak tanggung-tanggung, ada LP yang over kapasitas hingga 300-400-500 persen dari kapasitas normal. Bisa dibayangkan bagaimana padatnya LP ketika dihuni tahanan hingga lima kali lipat dari kapasitas normal. Disini patut dipahami alasan pembebasan tersebut. Perlu langka-langka antisipasi untuk mencegah penyebaran Covid 19 di LP. Sebab, satu tahanan saja yang kena Covid-19, maka tahanan lainnya bisa dengan muda terpapar.
Untuk tujuan tersebut, setelah melewati penilaian yang konon ketat, puluhan ribu tahanan dibebaskan di berbagai LP di Tanah Air, 08/04/20 lalu. Tujuannya untuk mengurangi jumlah tahanan di LP. Hal ini dinilai perlu untuk mencegah penyebaran Covid-19 di LP. Dengan berkurangnya tahanan, berarti tindakan social distancing atau physical distancing bisa diterapkan.Â
Sejauh ini, social distancing atau physical distancing yang digalakkan oleh pemerintah dinilai ampuh untuk mencegah penularan Covid-19 meski penerapannya belum maksimum. Lalu, apakah kebijakan membebaskan tahanan merupakan kebijakan tepat? Disinilah konsep sokko lemma' na sokko tojo menemukan titik relevansi.
Dari sekian alternatif kebijakan, pembebasan melalui program asimilasi dipilih. Apakah ada pilihan lain? Tentu saja ada, pengetatan penerapan protokol kesehatan di lingkungan LP misalnya. Saya meyakini sebetulnya pilihan ini juga sudah dilakukan. Penggunaan hand sanitizer dan sabun, penyemprotan disinfektan, serta penggunaan masker jamak diketahui dan diberlakukan di semua tempat publik. Muarahnya untuk mencegah penyebaran Covid-19. Saya yakin di lingkungan LP pun dilakukan. Selain itu, ada pilihan lain yang sebetulnya bisa diambil di lingkungan LP yaitu menambah kapasitas LP.
Iya, menambah kapasitas LP bisa menjadi solusi untuk mengurangi kepadatan di lingkungan LP. Tentu pilihan ini bisa diambil juga. Sekiranya ini bisa dilakukan, niscaya kepadatan itu dikurangi. Permasalahannya, menambah kapasitas LP bukanlah pekerjaan mudah. Butuh sumber daya manusia, waktu, dan dana yang tidak sedikit.Â
Itulah sebabnya, di sini saya menempatkan pilihan menambah kapasitas LP sebagai sokko tojo yaitu pekerjaan yang sulit dilaksanakan. Pembebasan tahanan melalui program asimilasi merupakan pilihan yang mudah dan bisa dieksekusi dengan cepat. Oleh karena itu, pembebasan tahanan ibaratnya kita sokko lemma na santang manu, bisa dengan mudah dieksekusi sementara menambah kapasitas tahanan ibarat sokko tojo. Pengambil kebijakan lebih memilih sokko lemma dibanding sokko tojo yang memang jauh lebih sulit.
Nampaknya ungkapan sokko lemma na sokko tojo tidak hanya bisa menggambarkan kebijakan pembebasan tahanan di masa pandemi melainkan juga bisa melukiskan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diambil oleh pemerintah. Hal ini terkait dengan implikasi pembiayaan PSBB.Â
Tak kala PSBB diambil, maka kebijakan pembiayaan atas kebijakan tersebut dibebankan kepada pemerintah daerah. Lain halnya ketika pemerintah menerapkan kebijakan karantina untuk menangani penyebaran Covid-19, pemerintah pusat harus bertanggung jawab untuk membiayai akibat yang timbul dari pelaksanaan karantina. Jelas dari segi konsekuensi, ada upaya pemerintah lebih memilih sokko lemma dibanding sokko tojo.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa sokko tojo memang lebih sulit dibanding sokko lemma tetapi sebetulnya dalam hal tertentu sokko tojo justru lebih diperlukan dibanding sokko lemma. Sokko tojo bisa menjadi obat mujarap di masa sulit. Artinya, dalam hal-hal tertentu, sokko tojo sebetulnya lebih diperlukan dan memiliki manfaat jangka panjang dibanding pilihan sokko lemma. Meski demikian, apapun pilihan yang ditempuh, kita perlu mendukungnya demi tercapainya tujuan yang kita harapkan bersama; sesegera mungkin menghilangkan Covid-19 di Bumi Indonesia.
Mataram, 13 April 2020.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI