MASUKNYA ISLAM DI SULAWESI SELATAN
Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan dibawa oleh tiga Ulama dari Minangkabau (Datu' TelluE), yaitu: Datuk Ribandang, Datuk Ditiro, dan Datuk Patimang.
Mereka datang ke Sulawesi Selatan pada abad ke-16 dan berhasil mengislamkan I Mallingkang Daeng Manyonri yang merupakan raja kerajaan Tallo.
I Mallingkang Daeng Manyonri mengubah namanya menjadi Sultan Abdullah Awwalul-Islam. setelah itu, Sultan Abdullah mengajak raja Gowa ke-14, I Manga’rangi, untuk menjadi seorang Muslim pada tahun 1605.
I Manga’rangi mengubah namanya menjadi Sultan Alauddin. Sejak saat itu, kerajaan Gowa berubah menjadi kerajaan Islam.
Corak perkembangan Islam selanjutnya diwarnai oleh situasi lokal dimana Islam itu berkembang.
SULAWESI SELATAN DALAM MASA PENJAJAHAN
Sejak zaman pemerintahan Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna, banyak orang asing yang datang dan menetap di Sombaopu, ibukota Kerajaan Gowa. Pada abad ke-17 Sombaopu merupakan bandar dan pelabuhan yang teramai di Indonesia bagian timur sehingga mendapat perhatian dari orang-orang asing.
Orang-orang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris berusaha mencari perhubungan dan ingin bersahabat dengan Raja Gowa. Diantara orang-orang tersebut Belanda (VOC), ternyata ingin memonopoli perdagangan dan menguasai Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa dengan keras menentang hak monopoli yang hendak dijalankan oleh VOC. Hal itu membuat hubungan antara Kerajaan Gowa dengan VOC makin lama makin tegang sampai akhirnya pecah dalam konflik terbuka pada peristiwa “Enkhuyzen” tahun 1615.
Setelah ditandatanganinya Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667, dan jatuhnya Sombaopu maka Kerajaan Gowa secara politik telah jatuh ke dalam kekuasaan Belanda.
Awal abad ke-20, pengaruh Belanda semakin kuat sehingga tidak menyenangkan bagi raja-raja di Sulawesi Selatan. Hal itu memicu terjadinya peperangan antara raja-raja Bugis-Makassar dengan Belanda pada tahun 1904-1906 yang dimenangkan oleh Belanda.