Mohon tunggu...
Muhimmaturrohmah Laili
Muhimmaturrohmah Laili Mohon Tunggu... Guru - Trenggalek 28 November 2000

Trenggalek 28 November 2000

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Percakapan Dalam Konteks Teori Kesantunan

16 April 2023   14:01 Diperbarui: 17 April 2023   18:16 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"PERCAKAPAN DALAM KONTEKS TEORI KESANTUNAN"
A.LATAR BELAKANG
Bahasa adalah sarana yang digunakan oleh manusia dalam berkomunikasi. Seperti fungsinya, bahasa memiliki peran sebagai pengantar pesan antara manusia satu dengan lainnya. Bahasa dalam pengetian lebih mendalam adalah sistem atau lambang bunyi yang bersifat arbitrer, yang dipakai oleh  anggota atau kelompok dalam suatu masyarakat untuk bekerja sama, saling berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Jadi dapat dikatakan secara sederhana, bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau sebagai alat komunikasi, dalam arti bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi, perasaan, gagasan, ataupun konsep.
Kesantunan merupakan tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat atau budaya tertentu sehingga kesantunan menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut tatakrama. Berdasarkan pengertian tersebut, Kesantunan dapat dijelaskan sebagai perilaku atau sikap yang dilakukan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan bagian kultural atau budaya, namun apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur yang lain. Tujuan penutur mempergunakan kesantunan, termasuk kesantunan berbahasa adalah membuat suasana berinteraksi lebih menyenangkan dan efektif.
 Dalam berinteraksi, ada aturan-aturan yang mengatur penutur dan lawan tutur agar nantinya dapat terjalin komunikasi yang baik diantara keduanya. Aturan-aturan tersebut terdapat pada prinsip kesantunan berbahasa yang terdiri dari 6 (enam) prinsip kesantunan, yakni maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, dan maksim kesimpatian.
Manusia perlu memperhatikan adanya kesantunan ketika berinteraksi dengan manusia lainnya. Hal tersebut bertujuan agar manusia bisa menggunakan bahasa yang santun dan tidak melakukan kesalahan dalam berbahasa. Sebuah tuturan dapat dikatakan santun atau tidak, itu relatif pada takaran kesantunan berbahasa suatu masyarakat yang digunakan. Tuturan dalam bahasa Indonesia umumnya sudah dianggap santun jika penutur menggunakan kata-kata yang santun, seperti tuturan yang tidak mengandung ejekan secara langsung, tidak memerintah secara langsung, serta menghormati orang lain. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa ini perlu dikaji guna mengetahui seberapa banyak kesalahan atau penyimpangan kesantunan berbahasa pada manusia ketika berinteraksi satu sama lain. Penutur perlu memperhatikan beberapa aspek dalam mengolah sebuah tuturan. Keruntutan tuturan, pemilihan kata, kesepahaman dengan lawan tutur serta kesantunan berbahasa adalah beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam tuturan.
 Kesantunan berbahasa merupakan suatu hal yang memperlihatkan adanya kesadaran tentang martabat seseorang dalam berbahasa, baik pada saat menggunakan bahasa lisan maupun pada saat menggunakan bahasa tulis. Kesantunan berbahasa merupakan aspek yang sangat penting dalam bertutur dengan penutur lainnya. Penutur yang menggunakan bahasa yang santun menunjukkan penutur yang berpendidikan, beretika, dan berbudaya serta mendapat penghargaan sebagai penutur yang baik. Perlu diketahui bahwa bahasa yang santun tidak selalu menggunakan bahasa yang benar atau baku. Bahasa yang santun adalah bahasa yang baik, yakni bahasa yang sesuai dengan konteks. kesantunan pada dasarnya terkait pada siapa penuturnya, siapa lawan tuturnya, apa objek atau topik tuturannya, dan bagaimana konteks situasi.
B.RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah percakapan dalam konteks teori kesantunan?Jelaskan?
C.TUJUAN
Untuk memenuhi tugas ujian tengah semester mata kuliah pragmatik.
D.PEMBAHASAN
Pengertian Kesantunan
Keraf (dalam Sardiana, 2006:18) mengemukakan bahwa kesantunan berbahasa adalah memberikan penghargaan kepada orang yang diajak bicara, khususnya pendengar dan pembicara yang dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan.  Parera (dalam Sardiana, 2006:18) mengemukakan bahwa kesantunan berbahasa adalah perilaku berbahasa yang sesuai dengan konteks pembicaraan atau percakapan dengan memperhatikan status, umur, jenis kelamin, jabatan, dan etnik pembicaraan dan lawan bicara.  
 Kesantunan (politeness) merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur yang lain (Zamsani Dkk, 2011:35).  Yule (2014:82) mengatakan bahwa kesantunan dalam berinteraksi dapat dijelaskan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Sebagai istilah teknis, wajah merupakan wujud pribadi seseorang dalam masyarakat. Wajah mengacu kepada makna sosial dan emosional yang setiap orang memiliki dan mengharapkan orang lain untuk mengetahui. Dalam pengertian ini, kesantunan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk wajah orang lain ketika orang lain itu tampak jauh secara sosial sering dideskripsikan dalam kaitannya dengan persahabatan, camaraderie, atau solidaritas. Berdasarkan pendekatan semacam ini, hal tersebut berarti bahwa terdapat nada berbagai macam kesantunan yang berbeda berkaitan (dan secara linguistik ditandai) dengan asumsi jarak atau kedekatan sosial yang relatif.  Masinambouw (dalam Silalahi, 2012:3) mengatakan bahwa Etika berbahasa atau disebut juga kesantunan berbahasa merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, contoh etika berbahasa yang dimaksud disini ialah :
a.Apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu.
b.Ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan budaya tertentu.
c.Kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan  orang lain.
d.Kapan kita harus diam.
e.Bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara itu. Seseorang baru dapat disebut pandai berbahasa kalau dia menguasai tata cara atau etika berbahasa itu.
Teori Kesantunan Berbahasa
Chaer (2010:45-46) mengemukakan bahwa ada beberapa pakar yang telah menulis mengenai teori kesantunan berbahasa. Di antaranya adalah Robin Lakoff (1973), Fraser Brown (1978), Brown dan Levinson (1978), Leech (1983), dan Pranowo (2009).  
a) Robin Lakoff
Lakoff (1973) (dalam Chaer, 2010:46).menyatakan bahwa ada tiga kaidah yang harus dipatuhi ketika tuturan ingin terdengar santun di telinga pendengar atau lawan tutur. Ketiga kaidah kesantunan tersebut adalah formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie).
Rahardi (2005:70) menjelaskan formalitas, ketidaktegasan,atau persamaannya  yaitu sebagai berikut :
1)Formalitas dinyatakan bahwa agar para pembicara dapat merasa nyaman, tuturan yang digunakan sebaiknya tidak bernada memaksa dan angkuh.  
2)Ketidaktegasan menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak.  
3)Kesekawanan atau kesamaan menunjukkan bahwa agar dapat bersifat santun, haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak lain.
 Chaer (2010:46) menyatakan bahwa formalitas berarti jangan memaksa atau angkuh (aloof), ketidaktegasan berarti buatlah sedemikian rupa sehingga lawan tutur dapat menentukan pilihan (option), dan persamaan atau kesekawanan berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan lawan tutur Anda menjadi sama.
b) Bruce Fraser
Fraser (1978) (dalam Chaer, 2010:47) membahas kesantunan berbahasa bukan atas dasar kaidah-kaidah, melainkan atas dasar strategi. Fraser juga membedakan kesantunan (politeness) dari penghormatan (deference).
Kesantunan menurut Fraser (1978) adalah properti yang diasosiasikan dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya. Sedangkan penghormatan adalah bagian dari aktivitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan penghargaan secara regular.
Ada tiga hal pokok dalam definisi kesantunan yaitu sebagai berikut :
1)Kesantunan itu adalah properti atau bagian dari tuturan, jadi bukan tuturan itu sendiri.
2)Pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu terdapat pada sebuah tuturan.  
3)Kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta pertuturan. (Chaer, 2010:47)
c)Brown dan Levinson
Chaer (2010:49) menyatakan bahwa teori Brown dan Levinson tentang kesantunan berbahasa berkisar atas nosi muka. Semua orang yang rasional punya muka (dalam arti kiasan tentunya), dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia seperti kehilangan muka, menyembunyikan muka, menyelamatkan muka, dan mukanya jatuh, mungkin lebih bisa menjelaskan konsep muka ini dalam kesantunan berbahasa.    Umpamanya, kita suruh seseorang yang sedang duduk-duduk asyik membaca koran untuk mengerjakan sesuatu. Ini sama artinya dengan tidak membiarkannya melakukan dan menikmati kegiatannya itu. Tergantung kepada siapa dia ini dan juga kepada bentuk ujaran yang kita gunakan, orang itu dapat kehilangan muka. Mukanya terancam, dan muka yang terancam itu adalah muka negatif (Chaer, 2010:49-51).
Muka negatif itu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannnya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Bila tindak tuturnya bersifat direktif (misalnya perintah atau permintaan) yang terancam adalah muka negatif. Sedangkan yang dimaksud dengan muka positif yakni mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional, yang berkeinginan agar yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini, sebagai akibat dari apa yang dilakukannya atau dimilikinya itu, diakui orang lain sebagai suatu hal baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya (Chaer, 2010:51).
d)Geoffrey Leech
Pakar lain yang memberi teori tentang kesantunan berbahasa adalah Leech. Rahardi (2005:59) menyatakan bahwa Leech menjabarkan prinsip kesantunan menjadi maksim (ketentuan,ajaran). Maksim tersebut adalah maksim kearifan, kedermawanan, pujian, kerendahan hati, kesepakatan, dan kesimpatian.
1) Maksim kearifan menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan harus meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan orang lain.
2)Maksim kedermawanan menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan menimalkan keuntungan diri sendiri.
3)Maksim pujian menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan pujian kepada orang lain dan meminimalkan kecaman atau celaan kepada orang lain.
4)Maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kecaman/celaan pada diri sendiri, dan meminimalkan pujian pada diri sendiri.
5)Maksim kecocokan menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka, dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka.
6)Maksim kesimpatian mengharuskan semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya, (Chaer, 2010: 56-61).
e) Pranowo  
Pranowo seorang Guru Besar pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tidak memberikan teori mengenai kesantunan berbahasa, melainkan memberi pedoman bagaimana berbicara secara santun. Menurut Pranowo dalam Chaer (2010:62), suatu tuturan akan terasa santun apabila memperhatikan hal-hal
berikut.
1)Menjaga susasana perasaan lawan tutur sehingga dia berkenan bertutur dengan kita.
2)Mempertemukan perasaan penutur dengan perasaan lawan tutur sehingga isi tuturan sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan.
3)Menjaga agar tuturan dapat diterima oleh lawan tutur karena dia sedang berkenan di hati.
4)Menjaga agar dalam tuturan terlihat ketidamampuan penutur di hadapan lawan tutur.
5)Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat posisi lawan tutur selalu berada pada posisi yang lebih tinggi.
6)Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat bahwa apa yang dikatakan kepada lawan tutur juga dirasakan oleh penutur.
Adapun yang berkenaan dengan bahasa, khususnya diksi, Pranowo memberi saran agar tuturan terasa santun sebagai berikut.
1)Gunakan kata "tolong" untuk meminta bantuan pada orang lain.
2)Gunakan kata "maaf" untuk tuturan yang diperkirakan akan menyinggung perasaan orang lain.
3)Gunakan kata "terima kasih" sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain.
4)Gunakan kata kata "berkenan" untuk meminta kesediaan orang lain melakukan sesuatu.
5)Gunakan kata "beliau" untuk menyebut orang orang ketiga yang dihormati.
6)Gunakan kata "bapak/ibu" untuk menyebut orang ketiga,  (Chaer, 2010: 62-63).
Konsep di atas bukanlah suatu teori, melainkan petunjuk untuk dapat berbahasa dengan santun. Hanya saja Pranowo tidak menyebutkan petunjuk itu untuk siapa dterhadap siapa, sebab kesantunan juga terikat pada siapa penuturnya, siapa lawan tuturnya, apa objek atau topik tuturannya, dan bagaimana konteks situasi.
Konteks
 Alwi (2003:421-422) mengatakan bahwa konteks terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, bentuk, amanat, kode, dan sarana. Dalam tiga unsur yang terakhir, yaitu amanat, kode, dan sarana dijelaskan secara mendalam. Bentuk amanat dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman dan sebagainya. Kode ialah ragam bahasa yang dipakai seperti bahasa indonesia logat daerah. Sarana ialah wahana komunikasi yang dapat berwujud pembicaraan via telepon, surat, televisi dan sebagainya.  Sedangkan menurut Wijana (2009:10-11) konteks tuturan mencakup aspek-aspek: (1) penutur dan lawan tutur.
 (2) konteks tuturan.
 (3) tujuan tuturan.
(4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
 (5) tuturan sebagai produk tidak verbal.
Daftar Rujukan
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasan, Alwi., dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.  Jakarta: Erlangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun