Mohon tunggu...
Muhimmatul Ulya
Muhimmatul Ulya Mohon Tunggu... Tutor - Ibu guru, ibu 1 anak, dan penikmat puisi

Masa depan adalah milik orang-orang yang percaya dengan manisnya mimpi mereka..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Si Anak Paling Beruntung

4 Agustus 2023   19:30 Diperbarui: 4 Agustus 2023   19:33 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang aku adalah anak yang paling beruntung. Anak satu-satunya dari pasangan 'sempurna' dosen fisika dan guru matematika. Semua hal yang aku inginkan aku miliki. Kecuali satu, kebebasan.

Papa dan mama adalah kombinasi ideal dari mekanika kuantum dan logaritma, seharusnya mereka memiliki anak seperti Albert Einstein atau John Dalton. Tapi, kehidupan sepertinya memang suka bercanda. Seperti pelawak-pelawak yang sering kulihat di TV. Tuhan juga suka bercanda dengan menjadikan aku sebagai anak mereka.

 "Naila, kamu harus belajar matematika. Pelajaran itu sangat penting", kata mama.

"Tentu. Akan papa carikan guru les privat matematika terbaik", papa menimpali.

Ucapan orang tuaku seperti putusan hakim yang tak terbantahkan. Aku hanya bisa mendengarkan tanpa bisa memberikan penjelasan ataupun sanggahan. Sungguh, aku tidak mengerti deretan angka-angka itu tidak pernah masuk ke alam pikiran. Semakin aku mencoba memahaminya, semakin aku kehilangan arah dan tujuan hidup. Dalam kesunyianku, ingin sekali aku berteriak dan memberontak. Akan tetapi, teriakan itu hanya menggema dalam ruang kosong hatiku..

"Ma... Pa.. bisakah Naila ikut ekstrakulikuler lingkar pena? Naila sangat menyukainya. Kata bu guru, Naila bisa mengembangkan bakat Naila jika mengikutinya", tanyaku suatu kali.

"Untuk apa? Itu tidak berguna."

Aku sudah menduganya. Jawaban itulah yang akan aku terima. Sejak kecil orangtuaku hanya mengagungkan matematika. Apalah dayaku yang lebih menyukai puisi daripada logaritma. Apa aku salah jika aku lebih menyukai kata-kata yang penuh makna dari pada deretan angka? Bagiku puisi adalah bahasa jiwa. Melalui barisan bait-baitnya, aku menjadi diriku sepenuhnya. Namun, aku adalah Naila. Si anak yang paling beruntung. Semua kudapatkan, selain 'penerimaan'.

 "Naila.. kamu benar-benar mengecewakan!" ucap mama tanpa pengampunan. Berkali-kali tangan-yang setiap hari kucium itu-melayangkan cubitan di paha, lengan dan bagian lain tubuhku.

"Tapi Ma, Naila sudah berusaha..."

"Dasar anak bodoh!" ucap papa sambal mendaratkan sebuah pukulan di wajahku.

Aku tidak tau kenapa Tuhan sebercanda itu. Dia tidak sedikitpun membiarkanku mewarisi gen kecerdasan papa dan mama. Pun setelah ribuan kali les privat yang telah kulakukan. Nyatanya, hasil ulanganku masih sama. Tujuh Puluh Lima. 

Kertas ulangan matematika itu tergeletak begitu saja. Menyisakan butiran-butiran bening yang tak berhasil aku hentikan. Mengalir deras dari kedua mataku. Bukan karena rasa perih yang diciptakan oleh lebam biru di tubuhku. Melainkan karena sakit seperti dihujam ribuan sembilu di hatiku. Ah, apa ini keberuntungan yang orang-orang sering bicarakan? Terlahir sebagai gadis kaya keturunan tunggal dari orang tua yang konon paling sempurna? Rasa-rasanya aku ingin menggugat Tuhan karena memberiku 'keberuntungan' yang memuakkan.

Aku selalu iri melihat teman-temanku. Tak ada sedikitpun raut kekhawatiran ketika menerima hasil ulangan yang diserahkan bu guru. Bahkan Reni, teman sebangkuku datang dengan binar mata bahagia. Sempat kudapati ayahnya, Pak Normin, penjual cilok yang suka mangkal di depan sekloah mengecup pipinya dengan rasa bangga.

"Hai.. apa orang tuamu tidak memarahimu?", tanyaku menyambut kedatangannya.

"Untuk apa? Aku sudah berusaha. Lagian ini hanya sekedar angka. Abang cilok tidak membutuhkan logaritma untuk menghitung kembalian pembelinya" kelekarnya sambil tertawa.

Benar. Tidak memahami sinus-cosinus bukanlah akhir dari dunia. Reni juga tidak pandai matematika, tetapi hidupnya tetap bahagia. Ah, betapa beruntungnya dia!

 Diantara 360 hari, ini adalah hari yang paling aku benci. Seperti setiap tahunnya, hari ini adalah hari pengambilan rapor pembelajaran. Setiap orang tua antusias untuk mengambil hasil pembelajaran anaknya. Tidak terkecuali orang tuaku. Aku mengintip dari balik jendela. Dan kutemukan mama di sana. Bersama orang tua lainnya. Kutajamkan pendengaranku ketika ibu guru baru saja memanggil namaku. Entah apa yang mereka bicarakan karena tak berhasil kucuri dengar. Kulihat mamaku keluar dengan wajah merah padam. Ini artinya akan ada hal buruk terjadi. Aku tau itu akan terjadi.

"Dasar bodoh. Nilai matematikamu tetap tujuh lima!"

"Kau tidak berguna!"

"...."

Mama masih berjalan di depan dengan penuh umpatan. Seperti biasa, aku mengikutinya dari belakang dengan hati tak karuan. Hingga tak kullihat sebuah motor melesat begitu cepat menyambarku yang tak siap. Tubuhku terhempas, darah mengalir deras. Dan akhirnya kata-kata yang paling kuinginkan keluar dari bibir mama.

"Naila.. bangun, Nak. Kami menyayangimu..."

 

Seharusnya aku bisa mempelajarinya. Aku memiliki darah mereka. Tidakkah sedikitpun gen kejeniusan mereka menurun kepadaku? Nyatanya, tidak. Meskipun aku mempelajarinya, aku tidak pernah mengerti apa pentingnya logaritma.

Bagiku, angka-angka itu tidak berarti apapun selain

Aku sering bertanya-tanya apakah? Ataukah Pak Subur, petani di samping rumahku, mengunakan mekanika kuantum untuk menyiangi tanamannya? Kurasa mereka tak mengenal teori-teori itu. Tapi mereka mengenal kasih sayang. Setiap hari ketika papa dan mama ceramah tentang rumus-rumus panjang itu di jalan yang sama abang cilok dan Pak Subur mengecup kening anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun