“Ini uang jajanmu. 2ribu untuk jajan. 3ribu harus kau tabung,” kata Bapak menyodorkan uang 5ibu recehan. Dia menungguku memasukkan uang 3ribuku ke dalam celengan tanah liat berbentuk sapi coklat yang sangat besar.
“Ghani, kamu harus menabung untuk masa depanmu. Kamu harus belajar dan bekerja keras untuk meraih cita- citamu”
Kalimat itu ku hafal di luar kepala. Setiap malam, kalimat itu seperti tab recorder aktif yang berputar di rumahku. Aku tidak tau entah apa yang dipikirkan Bapak. Dia tidak pernah memberikan uang jajan lebih seperti ayah teman-temanku. Dia selalu menyuruhku untuk menabung, menabung, dan terus menabung. Kecuali di hari Jumat, karena di hari tersebut uang 3ribuku tidak masuk ke dalam celengan sapi yang kuberi nama “BUBU”, tapi masuk ke dalam kotak amal masjid di depan rumahku.
Awalnya aku tidak keberatan dengan segala perintah Bapak, tapi lama-kelamaan aku menjadi jengah. Aku ingin seperti teman-temanku yang bisa beli jajan sepuasnya. Nongkrong atau nge-game di playstation, atau bebas membeli barang-barang yang kuinginkan. Tidak kupungkiri bahwa dengan pertambahan jenjang sekolahku, uang sakuku juga semakin bertambah. Tapi peraturan Bapak tidak pernah berubah. Aku harus tetap melakukan rutinitas menyebalkan itu: belajar dan menabung!
Hingga suatu hari ide gila itu tiba. Di malam ketika Bapak menungguiku untuk memasukkan uang ke dalam celengan, ku selipkan sedikit uang itu. Kulirik Bapak yang tengah memejamkan mata, kemudian kembali kutarik uang yang belum sempat tertelan oleh bubu.
“Jangan curang. Masukkan uangnya kembali”, kata Bapak dengan mata yang masih terpejam.
“Tidak, ini uangku. Aku bebas menggunakannya”, kataku tersulut emosi karena tertangkap basah.
“Masukkan, Ghani”
“Bapak PELIIT… Aku benci sama Bapak”, teriakku kemudian membanting pintu.
Sekilas kulihat bahu Bapak bergetar. Tapi dia tidak menghentikanku. Ya, mungkin dia memang lebih menyayangi uang-uangnya daripada anaknya sendiri. Sampai detik ini aku masih berpikir bahwa Bapak adalah orang paling pelit sedunia. Sejak kematian ibu, aku sering mengintip Bapak memasukkan uang-uangnya ke dalam sebuah kotak yang besar hampir sebesar kotak amal masjid. Aku tau uangnya sangat banyak. Apalagi saat karirnya meroket karena keuletannya dalam bekerja. Dari cerita Budhe Ning (tetangga samping rumahku), banyak janda dan kembang perawan yang berniat mendekatinya, tapi Bapak bagaikan batu. Tak tersentuh.
Detik berganti, sekian purnama telah berlalu, gambaran Bapak di mataku tak pernah berubah. Hanya sesosok pelit yang mencintai uang-uangnya. Maka, wajar saja jika aku malas mengunjunginya apalagi setelah aku pindah ke Jakarta. Hingga sebuah telpon dari desa mengabariku bahwa aku harus kembali. Untuk orang pelit itu, Bapakku.