Mohon tunggu...
Muhimmatul Azizah
Muhimmatul Azizah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa IAIN Jember

Jadilah yang bermanfaat bagi yang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eksistensi Guru yang Dipandang Sebelah Mata

6 Maret 2020   22:54 Diperbarui: 6 Maret 2020   22:52 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seseorang tak akan mencapai keberhasilan tanpa adanya ilmu, ilmu tak akan ada tanpa adanya guru, ilmu juga tidak akan bermakna jika tidak didasari dengan adab. Namun realitanya pada era sekarang ini banyak orang yang berilmu namun tidak beradab. 

Telah dikatakan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani "aku lebih menghargai orang yang beradab daripada berilmu, kalau hanya berilmu iblis-pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia". 

Dari sini sudah jelas bahwa adab begitu dijunjung tinggi, namun mengapa pada era sekarang ini tidak sedikit anak bahkan orang tua yang berpendapat bahwa keberhasilan yang mereka raih bukan karena orang lain melainkan hasil dari kerja keras mereka sendiri. 

Padahal kita tahu kesuksesan yang diraih karena adanya ilmu, dan ilmu itu didapat dari guru. Seorang yang begitu mulia yang memberikan ilmunya dengan ikhlas tanpa mengharap suatu apapun, sabar dalam menghadapi berbagai macam karakter murid hingga beliau mendapat julukan pahlawan tanpa tanda jasa. Seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara "guru adalah seorang pejuang tulus tanpa tanda jasa mencerdaskan bangsa".

Guru sungguh mulia, segala sesuatu yang ada padanya dijadikan panutan, tapi mengapa saat ini banyak output yang berilmu tapi tidak beradab. Yang salah di sini siapa? Apa guru yang salah dalam mendidik, apa orang tua yang terlalu berambisi terhadap karir anaknya atau dari anak itu sendiri? 

Lebih parahnya ketika terjadi masalah sepele antara murid dan guru, tidak sedikit orang tua yang men-judge guru karena tidak becus dalam mendidik miridnya. Terlebih lagi ada orang tua yang merasa lebih hebat dari guru, karena mempunyai penghasilan yang lebih tinggi. 

Mereka lupa siapa yang telah menyalurkan ilmu kepadanya hingga ia bisa sukses seperti saat ini, mereka lupa siapa yang telah mengenalkan mereka pada kerasnya dunia, sehingga mereka dituntut belajar agar mampu menghadapi kerasnya dunia. 

Diajarkannya huruf demi huruf, dari yang tidak tahu menjadi tahu, itu semua dilakukan sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Namun mereka benar-benar lupa siapa yang telah mengajar dan mendidik hingga menjadi sukses. Mengapa jasa-jasa guru yang begitu tulus hingga tak terlihat oleh mereka. 

Ambisi yang begitu menggebu membuatnya terlena akan nikmatnya dunia yang fana ini, hingga mereka lupa terhadap siapa yang telah berjasa dalam hidupnya. 

Seseorang yang telah mengenalkan huruf demi huruf, mengenalkan sesuatu yang belum mereka ketahui, dengan sabarnya guru melakukan itu semua. Semakin berkembangnya zaman dan teknologi seakan membuat mereka lupa akan posisi mereka. Pemikiran semakin meningkat tetapi adab semakin lenyap. 

Bahkan Sayyidina Ali Radiallahu 'anh berkata "aku ibarat budak dari orang yang mengajarkanku walaupun hanya satu huruf" sudah jelas bukan, bahkan Sayyidina Ali begitu menghormati guru. 

Lalu mau jadi apa bangsa ini jika mempunyai ilmu tapi tidak mempunyai adab? Apa arti bangsa yang besar tetapi tidak menghormati guru. Karena sesungguhnya guru merupakan profesi yang sungguh mulia, tidak semua orang dapat menjadi guru terlebih menjadi guru sejati yang mengajar dan mendidik tanpa embel-embel apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun