Di dalam karya tersebut terdapat dialog antara Socrates dan Theodorus yang bermaksud menyajikan pemikiran bahwa untuk memerintah diperlukan kemampuan khusus (gnosis) yang hanya dimiliki oleh negarawan, yaitu kemampuan mengatur dengan adil dan baik serta mengutamakan kepentingan warga negara. Sehingga sikap independen dan berintegritas adalah dimana sikap hakim MK lebih mengutamakan menjaga kepercayaan publik bahwa hakim MK independen dan berintegritas.
Pendapat demikian diperkuat dengan “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002”, yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem “Civil Law” maupun “Common Law”, disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku.
Bahwa “The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi (independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan (competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik hakim konstitusi beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolak ukur dalam menilai perilaku hakim konstitusi, guna mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai hakim konstitusi.
Bahkan menolak untuk menerima gelar tanda jasa yang diberikan dari kekuasaan eksekutif adalah bagian dari menjaga independensi dan integritas menghindari peluang lahirnya kepemimpinan yang otoriter akibat lemahnya pengawasan lembaga kekuasaan kehakiman seperti MK. sebab Kecenderungan yang terjadi pada setiap negara yang mengalami masa kepemimpinan otoritarian adalah diberangusnya taji pemegang kekuasaan kehakiman (judiciary).
Pola sama yang senantiasa dilakukan adalah dengan meminimalisasi atau bahkan mengeliminasi independensi yang dimiliki oleh lembaga kekuasaan kehakiman. Pengalaman negara-negara yang saat ini sedang berada dalam tahap transisi menuju demokrasi menegaskan argumentasi tersebut. Misalnya yang terjadi di Bosnia, Serbia, Montenegro, Macedonia, Afrika Selatan, Angola, Burundi, Afganistan, East Timor dan bahkan Indonesia.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi, Independensi hakim konstitusi merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan.
Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi Mahkamah sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.
Independensi hakim konstitusi dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim konstitusi, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.
MK hanyalah sebuah lembaga yang dibebani tugas dan kewenangan oleh Konstitusi dan Undang-Undang. Sebuah lembaga dapat diibaratkan tubuh manusia dan paling inti dari setiap diri manusia ialah segumpal daging yang bernama hati. Dengan kata lain, hakim konstitusi adalah “hati” dalam tubuh MK, ketika hakim konstitusi itu baik maka MK menjadi baik pula karena hati selalu bersentuhan dengan percikan dari sifat-sifat Tuhan (media.neliti.com).
Perlu diingat pula bahwa putusan pada pengadilan biasa hanya menentukan nasib para pihak yang bersengketa dalam kasus perdata, menghukum terdakwa satu atau lebih dalam hukum pidana tetapi putusan yang diambil oleh MK menentukan nasib bangsa dan negara. Oleh karena itu, dengan hati yang baik, para hakim MK akan selalu melahirkan putusan responsif dan preskriptif yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang tidak berbenturan dengan moralitas dan kebenaran (media.neliti.com).
Putusan itu menjadi matahari yang akan tetap bersinar dan menyinari sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Untuk menjaga hal tersebut, maka menolak pemberian gelar tanda jasa harusnya dilakukan oleh para hakim MK yang menerima gelar tanda jasa. Menerima gelar tanda jasa setelah tidak menjadi hakim MK atau setelah pensiun dapat menjadi pilihan yang paling baik.